Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Emosi

Antonia Yunus

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBICARAAN soal Timor Timur, terutama di saat-saat ini, membuat emosi istri Menteri Penerangan, Nyonya Mohamad Yunus, 39 tahun, meletup-letup. Air muka Antonia Jacinta da Costa Ricardo—demikian nama aslinya—akan menjadi sendu dengan mata berkaca-kaca bila ia menceritakan kekejaman perang saudara yang dialaminya pada 1970-an, tapi parasnya tampak geram saat ia berbicara soal kecurangan saat dilakukan jajak pendapat. Hasil referendum yang memenangkan kelompok kemerdekaan itu membuat air mata anak ketiga dari lima bersaudara blasteran Portugis-Timor Timur ini tak pernah kering. Sampai-sampai suaminya kerap menenangkannya dan menyuruhnya banyak salat.

Kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO, ibu empat anak ini menceritakan kegundahannya.


Bagaimana kabar saudara-saudara Anda di Tim-Tim?

Itulah, kontak terakhir kemarin pagi. Sebagian sedang mempersiapkan diri untuk segera mengungsi ke Atambua. Sampai sekarang, saya masih enggak punya berita apakah ibu, tante, dan sepupu saya sudah sampai atau belum (suaranya tersendat).

Mereka akan tetap di sana?

Ya, enggaklah. Saya melihat enggak ada jaminan hidup di sana. Saya dan keluarga saya sangat trauma saat Fretilin menguasai Kota Dili pada 1975.

Apa mereka semua pro-otonomi?

Oh ya dong. Kalau tidak, sudah saya jewer telinganya.

Anda percaya dengan hasil jajak pendapat?

Saya memang tak berada di lapangan. Tapi, dari teman-teman di daerah, mereka yakin bahwa 70 persen penduduk berada di belakang prointegrasi. Terus terang, saya kaget dengan hasil ini.

Masih ada harapan untuk suatu saat kembali ke Tim-Tim?

Ya. Biasanya 3-4 bulan sekali saya selalu ingin ke Tim-Tim. Tapi, kalau kita lihat situasi saat ini, rasanya susah. Hanya kalau pemerintahan nanti bisa menjamin warga negara lain untuk datang dengan aman, tentunya saya ingin melihat daerah kelahiran saya.

Dengan paspor tentunya...

(Tertawa) Memang. Jadi lucu, ya? Saya harus kembali ke kampung halaman saya dengan paspor.

Apa kesan paling mendalam bila mengingat Tim-Tim?

Saya pernah melihat masa-masa di mana nyawa itu begitu tidak berharga. Saya ingat Fretilin itu begitu kejam. Akhirnya, kami sekeluarga bisa mengungsi dengan bantuan konsul Indonesia saat itu. Selama tiga bulan dalam pengungsian itu, saya sering hanya makan gaplek kukus. Makanya, saya sering sengaja memasak gaplek ini di rumah, agar anak-anak tahu bagaimana saat dulu saya menderita. Saat ini pun saya melihat rakyat Tim-Tim itu hanya menjadi permainan para elite politiknya dan dunia internasional. Saya marah dan sedih atas ketidakadilan dunia internasional ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus