JALAN yang ditempuh Abdurrahman Wahid ke Senayan ternyata tak mulus. Batu sandungan datang dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kamis pekan lalu, kepada pers, juru bicara Tim 15—kelompok yang mengurusi 65 kursi utusan golongan MPR—Agus Miftach, didampingi Ketua KPU Rudini, telak-telak menyatakan sikapnya: menolak Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama yang biasa dipanggil Gus Dur itu menjadi salah seorang wakil utusan golongan.
Alasannya tentu bukan perkara penglihatan tokoh yang dicalonkan oleh sejumlah politisi Islam dalam "poros tengah" sebagai presiden mendatang itu. Kiai Ciganjur yang diutus PBNU ini dinilai partisan. Ia berperan sebagai deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang meraih kursi di urutan keempat dari pemilu lalu. Keputusan serupa dijatuhkan pada pendiri Partai Buruh Nasional, Muchtar Pakpahan, yang semula diusulkan mewakili Serikat Buruh Seluruh Indonesia.
Dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah Undang-Undang Nomor 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Pasal 1 ketentuan itu menyatakan bahwa utusan golongan dipilih dari organisasi yang mandiri dan tidak menjadi bagian dari suatu partai politik. Para petinggi KPU itu menilai bahwa NU itu tak bisa dipisahkan dengan PKB—seperti slogan yang didengungkan selama ini bahwa partai ini adalah "anak tunggal NU".
Tapi organisasi kaum nahdliyin itu bergeming. Mereka akan maju tak gentar mengusung sang Kiai Ciganjur. Katib Aam PBNU Said Aqiel Siradj tegas-tegas menyatakan tak bakal ada nama selain Gus Dur. Dan jika tetap "di-Tipp-Ex", mereka memilih mengosongkannya. "Ini sudah harga mati," katanya. Soal partisan, dia malah balik bertanya, "Siapa sih pengurus NU yang saat ini tidak berpartai?"
Kriteria nonpartisan itu memang sumir. Tak ada penjelasan rinci soal persyaratan yang satu ini. Apalagi arah bandul politik kebanyakan utusan golongan juga tak persis di tengah. Tengok, misalnya, wakil agama Buddha yang terus didemo, Siti Hartati Murdaya dari Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi). Anggota DPA yang dekat dengan Presiden Habibie ini disebut-sebut menjadi anggota tim pemenangan pemilu Golkar dalam pencoblosan lalu.
Susahnya mencari figur nonpartisan juga diakui anggota Tim 15 dari Golkar, Mahadi Sinambela. Tapi, dalam hal Gus Dur, persoalan menjadi lain. "Keterkaitannya dengan PKB dinilai amat mencolok mata," kata Mahadi. Cuma, keputusan itu belum final. Masih ada peluang buat si Gus untuk masuk Senayan. Jika PBNU tak mau melakukan rokade, KPU masih akan menyodorkan pilihan lain, yakni dibikin surat pernyataan yang intinya si Gus bersedia "menceraikan" PKB. Tegasnya, ia tidak punya hubungan struktural dengan partai sembilan bintang itu.
Jika bersedia meneken surat itu, Gus Dur bisa lolos. Jalur lain juga sebenarnya tersedia lewat utusan daerah. Dari Jawa Timur, misalnya. "Kalau perlu, suara Golkar untuk utusan daerah kita berikan untuk Gus Dur," kata Mahadi, setengah berkelakar. Jadi, meski berliku, tampaknya masih ada celah bagi si Gus untuk menuju Senayan.
GAM Diliput, Polisi Menyidik |
INI berita tak sedap bagi para jurnalis, apalagi bagi yang sudah memberitakan atau menayangkan wawancara khusus dengan para dedengkot Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka agaknya harus bersiap-siap berurusan dengan polisi. Itulah yang terjadi pada Manajer Pemberitaan AN-Teve, Bahtiar. Rabu pekan lalu, ia dipanggil Markas Besar Kepolisian RI sehubungan dengan liputan wawancara Panglima GAM Wilayah Pidie, Tengku Abdullah Syafii, dalam program Fakta yang ditayangkan Senin malam, 23 Agustus lalu.
Pemanggilan Bahtiar menyusul status tersangka yang dikenakan pada Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab AN-Teve, Azkarmin Zaini. Menurut kuasa hukumnya, Johnson Panjaitan dari PBHI, kliennya itu dikenai jerat yang menyeramkan: Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24/1997. Isinya tentang larangan menyiarkan hal-hal yang bersifat menghasut atau patut diduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa—sebuah pasal karet yang gampang disodokkan kepada siapa saja sekehendak penguasa. "Ini adalah undang-undang subversi bagi wartawan," kata Johnson Panjaitan.
Dalam pemeriksaan itu, penyidik sudah mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang disertai transkrip wawancara dengan Panglima GAM Syafii. Bagian tertentu yang dianggap menghasut dan membahayakan persatuan ditandai dengan gesekan Stabilo. Salah satunya ihwal pertanyaan, "Kenapa Anda tidak berunding dengan pemerintah?" Jawaban Abdullah Syafii, "Untuk apa kita berunding? Kami kan bukan bagian dari Indonesia. Kami kan dijajah oleh Indonesia." Pertanyaan soal janji Presiden Habibie juga ditandai.
Pihak AN-Teve merasa bahwa mereka sudah memberitakan dengan benar dan berimbang. "Tayangan fakta itu tertunda delapan hari karena kami belum mendapat wawancara Panglima TNI Jenderal Wiranto," kata Bahtiar. Masa tayangan untuk Wiranto memang tak sepanjang yang diberikan buat tokoh GAM tadi. "Tapi pengertian berimbang itu harus mengakomodasi semua pihak yang terkait," kata Azkarmin—bukan diukur dengan durasi tayang yang sama: kalau GAM sejam, TNI juga harus sejam.
Menteri Penerangan Mohamad Yunus Yosfiah agak kaget mendengar kabar ini. "Enggak tahu saya. Kalau hanya ditanya-tanya saja, kan tidak apa-apa," katanya. Ia mengaku tidak menonton acara yang menyiarkan wawancara dengan Panglima GAM tersebut. Apakah tayangan ini merupakan persoalan serius bagi sang Menteri? "Kalau menurut saya, tayangan Fakta itu tidak masalah. Itu kan fakta," katanya kepada TEMPO.
Polisi, yang kabarnya dalam waktu dekat ini akan memanggil pihak RCTI dan SCTV, tak ada salahnya memperhatikan pernyataan Menteri Yunus. Syukur-syukur bisa bersikap arif saat dipaksa harus membetot pasal karet itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini