RUANG laboratorium fisika di sebuah sekolah menengah umum negeri favorit di Jakarta itu nyaris senyap. Dari 44 siswa yang hadir, hanya beberapa saja yang bertanya tentang materi praktikum. Dari tahun ke tahun, pemandangan semacam itu seolah tak pernah berubah. Bak laju kereta yang meninggalkan penumpangnya, metode pengajaran ilmu eksakta ini kian jauh dari siswa.
Di tengah kebisuan metode pengajaran seperti itu, lima remaja Indonesia tampil memukau dalam Olimpiade Fisika di Padova, Italia, Juli silam. Kemenangan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), yang terdiri dari I Made Agus Wirawan, Ferdinand Wawolumaya, Jerry Prawiharjo, Landobasa Lumbantobing, dan Ma'muri, menurut Ketua TOFI, Yohanes Surya, lebih didasarkan pada faktor kecerdasan peserta yang berada di atas rata-rata. Ia bukan sebagai hasil metode pengajaran yang ada. Kelima remaja ini baru saja lulus SMU dan kini semuanya duduk di bangku perguruan tinggi.
Metode pengajaran fisika yang ada sekarang ini terasa amat memberatkan para murid. Setiap murid dipaksa untuk menyerap target setoran yang ditetapkan silabus kurikulum dalam 80 menit setiap minggunya, sehingga materi itu tidak bisa diberikan secara mendalam. Bila tak tercapai, sang gurulah yang kena tegur atasannya. Jadi, murid diajak ngebut mencerna pelajaran. "Berbeda dengan di Singapura, selama satu minggu, sering kali mereka hanya menyelesaikan satu rumus. Bandingkan dengan di sini. Ekstremnya, dalam satu hari, guru harus menyelesaikan target 12 rumus," ujar Hariyanto, guru fisika SMU Katolik St. Albertus, Malang.
Tidak aneh bila kemudian banyak siswa yang tidak merasa menikmati fisika, tapi justru menganggapnya sebagai momok. Mereka lebih mengutamakan rumus jadi untuk dihafalkan. Mereka sering gagap bila diminta untuk menerangkan asal-muasal dan proses lahirnya sebuah rumus.
Sementara itu, waktu untuk praktikum cuma ada 240 menit setiap caturwulan. Tak mengherankan bila ada guru yang membuat rapel praktikum. Materinya pun sudah diformat dan umumnya dilakukan sebatas pembuktian teori yang mereka pelajari dalam buku teks. "Padahal, materi teori itu banyak yang tidak perlu. Buang waktu saja," ujar Jerry Prawiharjo, anggota TOFI yang kini kuliah di ITB.
Perubahan kebijakan di bidang pendidikan akibat pergantian menteri juga ikut berpengaruh. Misalnya penjurusan, yang semula dilakukan pada saat siswa naik kelas dua, diubah menjadi ketika sang murid duduk di kelas tiga. Begitu pun dengan lama belajar, yang tadinya setengah tahun, tiba-tiba dipangkas menjadi empat bulan. Slamet Riyadi, guru fisika SMU St. Angela, Bandung, almamater Landobasa Lumbantobing, berharap agar kurikulum dikembalikan menjadi per semester alias enam bulan. "Agar waktu belajar tidak banyak terpenggal dan para guru tidak terlalu disibukkan untuk mempersiapkan ulangan," katanya.
Pendapat berbeda dilontarkan ahli fisika ITB, The Houw Liong, yang menunjuk lemahnya sumber daya sang pengajar. Menurut dia, para guru kurang bisa menggali potensi siswa. "Pengajar yang ada sekarang kebanyakan hanya mengerti materi pelajaran yang dia pegang permukaannya saja, tidak mendalam," tutur The.
Itu terjadi karena para guru cenderung lebih mengarahkan pengajaran ilmu eksakta pada hafalan. Padahal, mata pelajaran ini lebih memerlukan penalaran yang kuat. Seharusnya siswa dibawa ke proses penemuan, sehingga dia ikut berpikir, menggali, dan berobservasi. Faktor pengajar memang sangat memengaruhi disukai atau tidaknya mata pelajaran yang satu ini.
Pada masa datang, The menaruh harapan bahwa perubahan status IKIP menjadi uni-versitas dapat menghasilkan tenaga pengajar yang baik. Cuma, nasib guru di negeri ini yang kurang bagus seyogianya juga jadi perhatian. Bagi guru, sekarang, jangankan memperbaiki kualitas, untuk memenuhi kebutuhannya saja mereka mesti pintar bikin rumus sendiri.
Irfan Budiman, Agus Hidayat, Rinny Srihartini (Bandung), dan Adi Sutaryono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini