Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Film indonesia, seperti hewan jinak

Profil asrul sani yang lahir di rao, utara sumatera barat, 10 juni 1926. bersama chairil anwar dianggap sebagai pelopor angkatan 45 dalam sastra. bersama djajakusuma & usmar ismail mendirikan atni.

3 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Film Indoensia seperti hewan jinak. Sejarah film Indonesia adalah sejarah kompromi besar dalam kebudayaan. Film Indonesia dulu di tangan orang-orang film, sekarang di tangan pedagang," kata Asrul Sani. Lahir di Rao, utara Sumatera Barat, 10 Juni 1926, dokter hewan ini, putra kedua Sultan Marah Sani. Bersama Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 dalam sastra. Pernah menjadi anggota DPR. Bersama Djajakusuma (almarhum) dan Usmar Ismail mendirikan ATNI. Penulis skenario yang produktif dengan beberapa Citra. Buatnya: dua seniman dalam satu rumah bisa berbahaya. Sebagian kisah hidupnya ini, atas permintaan TEMPO, dituturkan kepada wartawan kami: Sri Pudyastuti R. ORANG sering menghubungkan kecenderungan masa kecil dengan apa jadinya dia sekarang. Saya tidak tahu, apakah teori Freud tentang masa kecil memang ada. Tetapi, tanpa mencoba menghubungkan itu, ada hal-hal dalam kehidupan saya, yang kalau saya bolak-balik, suatu kebetulan atau karena memang lingkungannya memungkinkan, ternyata, saling berkait. Orangtua saya, kalau dilihat dari pendidikannya, bukan termasuk kalangan terpelajar. Ayah tidak pernah mau menulis dalam huruf Latin. Dia selalu menulis dengan huruf Arab Melayu. Di daerah saya -- saya lahir 10 Juni 1926 di Rao, suatu daerah di bagian utara Sumatera Barat -- agak lain struktur adat-istiadatnya. Di sana, ada raja. Raja ini, kebetulan, ayah saya. Ia bergelar Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Sakti Rao Mapat. Saya pun mesti pelan-pelan menyebutnya satu per satu supaya lengkap. Di bawah struktur pemerintahannya, masih ada empat raja. Karena setiap tahun memberikan upeti, mereka disebut Raja Upeti. Ketika Ayah menjadi raja, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan yang dibuang. Misalnya, kewajiban membayar upeti. Sebelum ia memerintah, sekali setahun, setiap raja upeti menghantarkan emas. Menjelang Raja, namanya. Di dalam upacara resmi, kalau berjalan, Ayah harus dipayungi dengan payung berwarna kuning. Itulah payung kebesaran yang selalu mengikuti ke mana Ayah pergi. Di sebelah kanan dan kirinya. Menjelang sembahyang lohor, sering diadakan perlombaan menembak sasaran. Perlombaan itu diadakan di tengah lapangan yang sangat luas dan dihadiri oleh pemuka-pemuka adat. Yang ditembak adalah kendi berbentuk ayam, yang digantungkan di sebuah tiang. Kendi itu berisi air. Kalau tembakannya tepat, kendinya bocor. Panas sangat terik. Tetapi, orang banyak menonton atraksi itu. Raja hadir pula, ia berdiri di bawah payung. Tiba-tiba saya dipanggil, "Sssttt... kau saja yang berdiri di bawah payung ini," kata Ayah seraya menunjuk tempatnya berdiri. Saya terlongong. Belum sempat beranjak, saya lihat para pengawal kocar-kacir mengikuti arah kepala Ayah yang tiba-tiba melesat dari payung kebesaran. Tapi, Ayah lalu menunjuk saya. Meski masih bingung, akhirnya, mereka paham maksud Ayah. Payung pun lantas berpindah ke atas kepala saya. Sejak itu, kebiasaan payungan itu hilang. Dari sudut agama, Rao sangat konservatif sekali. Agama di sana tidak seperti yang diajarkan Muhammadiyah. Agama, pada masa itu, sangat kuno dan fanatik. Dalam lingkungan seperti itu, Ayah mempunyai pandangan lain. Bacaan agamanya adalah buku-buku yang dikarang oleh Ustad Hassan, seorang tokoh agama dari Bandung, yang berpikiran sangat modern. Ayah kerap meminjamkan buku itu kepada imam mesjid. Setiap kali buku itu dikembalikan, selalu kotor. Rupa-rupanya imam membawa buku itu ke mana-mana. Termasuk ke ladang cabai atau ke sawah. Pengaruh agama kuno dan ilmu-ilmu gaib pada masa itu, memang, kuat. Saya masih ingat, di tengah kampung, ada makam raja-raja yang meninggal pada zaman Jahiliah. Di tengah pemakaman, terdapat pohon beringin. Menurut cerita, di sanalah seorang raja dan kedua belas dayangnya dikuburkan. Nah, orang suka memasang kain kuning di pohon itu. Entah untuk maksud apa. Jadi, tanpa banyak omong, perlahan-lahan Ayah mengikis pengaruh lama itu. Misalnya, ia menetapkan syarat, penggantinya harus orang yang terpelajar. Keputusan itu ditulisnya dalam surat wasiat, yang kemudian menimbulkan pertentangan besar, ketika beliau meninggal. Karena pada masa itu, di Rao, ada dua keluarga raja yang berpengaruh. Kalau raja dari keluarga yang satu meninggal, maka penggantinya diambil dari keluarga yang satunya. Sedangkan keluarga pertama diberi pangkat Sutan Muhammad, semacam Mangkubumi, kalau di keraton Yogyakarta. Meski Ayah tidak sekolah dan tidak mau menulis huruf Latin, ia tidak mau menyekolahkan saya ke sekolah Belanda. Jadi, dia ini punya dua pendirian. Di satu pihak, dia tetap bertahan pada nilai-nilai kedaerahan dengan cara melindungi diri dari bermacam pengaruh luar, tetapi di lain pihak, dia memasukkan pikiran-pikiran modern. Sedangkan ibu saya lain. Dia termasuk orang yang terbuka. Dia tidak membaca buku agama, seperti ayah saya. Agama dipelajarinya dari syekh-syekh dan dari buku kuning, buku agama kuno yang berisi tafsir dan fikih. Ibu juga seorang pemain harmonium yang baik. Ibulah yang menghendaki saya sekolah, meskipun Ayah menghalangi. Pertentangan mereka memberi arti yang besar buat saya. Terus terang, secara batin, memang, saya lebih dekat kepada Ibu. Tetapi, pada usia 6 tahun, saya sudah berpisah dengannya. Saya disekolahkan di Bukittinggi. Waktu itu, satu-satunya sekolah hanya ada di kota tersebut. Jaraknya kira-kira 100 km dari Rao. Tapi, saya tidak sendiri. Kakak saya, Chairul Basri -- yang kelak jadi perwira tinggi TNI menjabat Sekjen Depnaker -- sudah lebih dulu sekolah di sana. Kami, memang, cuma dua bersaudara. Selama enam bulan pertama, saya indekos di rumah keluarga di Kota Gadang. Ditemani nenek saya. Dari situ, kemudian saya dipindahkan ke asrama, sebab paman mendirikan Institute voor Social Arbeid (Sekolah Pekerja Sosial) di Bukittinggi. Saya kira, sebagai anak kecil, tidak ada yang luar biasa dari saya. Ketika naik ke kelas IV Hollands Inlandsche School (HIS) -- sekarang SD -- orangtua saya pindah ke Bukittinggi. Barangkali, pada waktu itulah, saya mulai berkembang. Ibu mempunyai kebiasaan memberikan uang jajan sekian sen sehari. Tapi, di samping uang jajan, Ibu juga memberi uang khusus untuk membeli buku. Uang itu tidak boleh dibelikan permen, karena permen sudah dibelikan Ibu. Maka, saya mulai dibiasakan membaca buku. Hadiah buku yang pertama dari Ibu berjudul: Kancil Yang Cerdik terbitan Balai Pustaka. Sore hari, saya belajar agama di sekolah bernama Dar el Ashar. Pemimpinnya, kemudian saya temui setelah dewasa, sebagai salah seorang syuriah NU. Di samping itu, saya semakin rajin membaca. Saya diperbolehkan memilih sendiri buku-buku yang akan saya baca, karena Ibu tidak lagi membacakannya untuk saya. Sekitar 1937, di kota kecil itu, mulai muncul perpustakaan. Saya betul-betul takjub melihat koleksi buku yang begitu banyak dan bervariasi. Dengan uang dua sen, saya boleh meminjam buku selama dua hari. Pada waktu itu, sudah ada buku-buku cerita yang ditulis dalam bahasa Indonesia, seperti Tiga Panglima Perang saduran dari Alexandre Dumas, Pacar Merah saduran dari Hugh Monte Cristo. Ada pula karangan yang dibuat oleh pengarang Indonesia, semacam Sengsara Membawa Nikmat, Karena Mertua, dan lain-lain. Saya semakin gemar membaca, karena di asrama, Paman juga punya perpustakaan pribadi. Sehingga, di rumah, ada dua sumber informasi yang menarik sekali. Sumber informasi yang satu, boleh dikatakan diperoleh dari Belanda, seperti buku Sejarah Dunia terbitan Balai Pustaka, yang diterjemahkan oleh Haji Agus Salim. Sedangkan informasi dari Paman berasal dari kaum kebangsaan. Jadi, saya mendengar nama Sukarno segala, dari paman saya itu. Selain membaca, ternyata, saya -- namanya saja anak-anak -- suka merusak barang. Gramafone masih bagus, saya bongkar. Melihat ini, Ayah mengira saya berbakat jadi ahli teknik. Jadi, setelah lulus HIS, pilihan saya bukan sekolah umum, melainkan STM -- waktu itu namanya Koningin Wihelmina School (KWS). Itu sekolah Tehnik lima tahun. Gedungnya masih ada di Jalan Budi Utomo, Jakarta. Nah, pada 1939, saya dikirim ke Jakarta. Ibu ikut bersama saya, karena tak lama sebelum kami berangkat, Ayah meninggal. Di Jakarta, kami menemui Bang Chairul, yang sudah lebih dulu sekolah di Betawi. Ia tinggal di internaat Jan Pieterzoen Coen, yang sekarang jadi Markas CPM di Jalan Guntur. Dulu, di situ asrama elite. Setelah Ibu datang, kakak saya keluar dari asrama. Kami kemudian tinggal bersama di daerah Sawah Besar. Maka, mulailah hari-hari saya sekolah di KWS. Saya sama sekali tidak bisa bertukang. Di kelas II, angka saya buruk. Saya pun serta-merta menderita inferiority complex. Bayangkan saja, kawan-kawan sekelas bisa mendengar bunyi mesin rusak, saya tidak. Bagi saya, bunyi mesin rusak dan tidak, sama saja. Saya mulai tidak betah bersekolah. Keinginan pindah sekolah terus menari-nari di kepala saya. Tetapi, abang saya mengatakan, "Sekolah di mana-mana kan sama saja...." MENULIS SAJAK Tetapi, suatu ketika, keadaan berubah. Pada 1941, Jepang masuk. Ibu, karena takut hubungan Sumatera-Jawa terputus, minta pulang. Saya dan Abang mengantar. Sampai di sana, abang saya langsung kembali ke Jakarta, sedangkan saya tetap tinggal di Bukittinggi. Selama di rumah, tak banyak yang bisa saya kerjakan. Cuma, suatu ketika, saya tertarik pada tumpukan buku di kamar. Saya menemukan buku sejarah kesusastraan Yunani, yang memuat beberapa sajak. Dengan penuh rasa ingin tahu, saya baca sajak-sajak itu. Itulah permulaan saya membaca sajak. Saya membacanya berulang-ulang. Saya tertarik pada sajak yang ditulis Sappho. Salah satu sajaknya yang sangat berkesan adalah tentang courtisan -- pelacur. Dia menyanjung-nyanjung seorang courtisan yang berjalan dengan sandal beledu. Sebagai pemula, tentu, saya tidak bisa menangkap makna dari semua sajak yang ditulis di situ. Tetapi imij yang satu itu, courtisan yang berjalan memakai sandal beludru, sangat berkesan sekali. Selesai membaca buku itu, entah kenapa, saya merasa ada dorongan dalam diri saya untuk menulis. Saya lalu memesan buku ilmu karang -- mengarang yang ditulis Adinegoro. Adinegoro, seperti pengarang-pengarang pada masa itu, menyebut banyak nama pengarang yang tidak pernah dibacanya sendiri. Tapi, ada foto-foto di buku itu, seperti Goethe, Rabindranath Tagore. Merekalah idola saya yang pertama. Suatu hari saya ditegur Ibu, "Mau jadi apa kamu di sini?" katanya. Saya disuruh kembali ke Jawa. Waktu itu, usia saya 16 tahun, dan Jepang masih berkuasa. Situasi kacau tidak menentu. Perbatasan Jawa dan Sumatera sulit diterobos. Tapi, itulah Ibu. Ia mempunyai pikiran yang modern. Sangat jauh berbeda dengan nenek saya. Waktu saya mau berangkat, ia menyerahkan sepucuk surat. Di dalamnya ia katakan, "Jangan tundukkan kepalamu karena jabatan atau uang." Saya juga dianjurkan sering-sering berpuasa. Nasihat itu saya jalankan sampai sekarang. Di Jakarta, saya tinggal bersama abang saya. Saya tidak lagi melanjutkan sekolah teknik, melainkan masuk sekolah Taman Siswa. Saya masuk dengan cara yang agak luar biasa. Di hari Minggu, saya pergi ke rumah Pak Said -- Mohamad Said -- guru yang kemudian jadi tokoh Taman Siswa itu. Rumahnya menyatu dengan asrama Taman Siswa. Saya lihat ada tulisan di depan asrama: Soli Deo Honor (yang saya hormati hanya Tuhan). Ketika saya sampai, ia sedang duduk-duduk di depan. Ia memakai kemeja dan sarung. Saya kemudian dipersilakan masuk. Lalu, saya utarakan keinginan masuk sekolah itu. "Baik," jawabnya spontan. Saat itu, mata saya tak sengaja melirik sebuah buku berwarna hijau di atas meja. Setelah agak lama saya amati, ternyata, itu buku kumpulan sajak karya penyair Jerman: Schiller. Bukan main senangnya saya melihatnya. Saya sudah mulai aktif membaca dan menulis puisi ketika itu. Jadi, bayangkanlah ketika bertemu orang yang juga suka puisi, sosok orang itu di matanya jadi luar biasa. "Wah sekampung, nih" begitu kata hati saya. Pertemuan itu memang, kemudian, membuahkan perasaan dekat dengannya. Pak Said sendiri, menurut saya, bukanlah guru SMP yang baik, sebab yang diajarkannya bukan hal yang bisa ditelan anak SMP. Ia mengajarkan teori Mendel. Bagaimana anak kelas II SMP bisa mengerti teori genetika? Di kelas, saya duduk sebangku dengan Pramoedya Ananta Toer. Pram ini, saya kira, bukan termasuk orang yang solider. Dia terlalu single fighter. Padahal, dia ikut dalam grup penggemar sastra, bersama saya. Dulu, di Taman Siswa, ada kelompok penggemar sastra. Seorang teman, Sandjaja namanya, rajin sekali mengetik dan mengumpulkan sajak-sajak. Waktu itu, puisi saya, Kekasih Prajurit sudah dimuat dalam koran Pemandangan. Tentu, gengsi saya dalam kelompok tersebut jadi naik. Pada perjalanan pulang sekolah, kami -- para pencinta kesusasteraan ini -- suka menguntit Pak Marah Sutan. Dia juga guru di Taman Siswa. Umurnya sudah 80 tahun, tapi pikirannya masih bagus. Beliau orang pergerakan, yang sering menulis artikel tentang pergerakan di koran milik H.R. Rasuna Said, dengan nama samaran. Kalau pulang jalan kaki ke rumahnya di Pecenongan, dia mengoceh sepanjang jalan. Apa saja dia bicarakan. Suatu hari, dia bercerita tentang sastra kuno, buku induk berjudul Cindur Mato. Itu cerita tentang bunda kandung. Di dalamnya antara lain berisi: ampun hamba beribu kali ampun ampun hamba bunda kandung. Lalu, dia bercerita tentang asal bunda kandung. "Semua ini tidak masuk akal. Jadi, apa kesimpulan kalian?" tanyanya. Pertanyaan itu, akhirnya, dijawabnya sendiri. "Kesimpulannya, raja itu tidak ada. Jadi, buku itu adalah pengingkaran terhadap hak raja. Itu sangat revolusioner. Artinya, ada pengarang entah abad keberapa, menulis buku hanya untuk menunjukkan bahwa kekuasaan raja tidak ada," ujarnya di sela-sela langkahnya yang tegap. Saya, memang, pernah membaca buku itu. Tetapi, saya mengartikannya secara harfiah saja. Ternyata, penafsirannya lain sama sekali. Jadi, tanpa saya sadari, itulah pertama kalinya saya belajar menafsirkan bacaan. Tanpa terasa, dunia sastra semakin menarik buat saya. Pada hari-hari tertentu, saya mengunjungi perpustakaan Museum Gajah. Di situ, saya mengenal sajak-sajak Marsman dan Slauerhoff. Ketika tiba masa Proklamasi, saya lalu bergabung dengan Lasykar Rakyat. Dulu, belum lengkap rasanya jadi pemuda kalau belum bergabung dengan Lasykar Rakyat. Saya masuk pasukan 301, yang ditugaskan di belakang garis musuh. Komandan saya Kolonel Zulkifli Lubis. Tapi, setelah penyerahan kedaulatan, saya tidak melapor lagi. Saya keluar. Saya menganggap perjuangan sudah selesai. Kalau tidak, mungkin saya termasuk mereka yang bersama Kolonel Zulkifli Lubis dituduh terlibat penggranatan Cikini. CHAIRIL ANWAR Saya bertemu dengan Chairil Anwar di Pasar Senen waktu zaman Jepang. Saya pernah membaca sajak-sajak Chairil dari buku yang dipinjamkan oleh seorang mahasiswa sastra. Bahrum Rangkoeti namanya. Sajak-sajak itu masih diketik dan diberi judul: Deru Campur Debu. Chairil, dalam pandangan saya pada pertemuan pertama itu, sangat lusuh. Wajahnya kotor, bajunya kumel, matanya merah. Tapi, kelihatannya, dia tipe pelahap buku. Saya menegurnya. Dia spontan menjawab. "Kau suka baca juga, ya? Kau suka sajak? Mana sajakmu?" Kebetulan, saya bawa. Lalu, saya kasihkan sajak saya. Agaknya, dia melihat bahwa di antara kami ada semacam kesamaan dan kedekatan, dalam hubungannya dengan Pujangga Baru dan sastra modern. Lantas, kami akrab saja. Dulu, ada dua toko buku di Jalan Juanda, Toko Buku van Dorpi, yang sekarang dipakai kantor Astra, dan Toko Buku G. Kolffi. Koleksinya luar biasa. Saya dan Chairil suka juga mencuri di situ. Suatu kali, kami melihat buku Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. Wah, itu buku yang mutlak harus dibaca. Chairil bilang sama saya, "Kau perhatikan orang itu. Aku mau mengantungi Nietzsche ini," katanya sambil menunjuk buku. Ia memakai celana komprang dengan dua saku lebar. Cukup besar untuk menyembunyikan buku. Karena itu buku filsafat, diletakkan di antara buku-buku agama. Hampir sama besar dengan kitab Injil. Hitam juga warna kulitnya. Saya mulai memainkan peran saya, sementara Chairil cepat-cepat mengantungi buku. Hati saya, jangan dikata lagi, deg-degan setengah mati. Dalam sekejap, buku itu sudah berpindah tempat. Lantas, dengan tenang, kami melangkah ke luar. Sesudah sampai di luar, tiba-tiba Chairil bilang, "Kok, ini? Wah, salah ambil aku." Tangannya membolak-balik buku. Jadi rupa-rupanya Injil yang dia ambil. Wah, kami kecewa sekali. Bicara soal Chairil, orangnya termasuk pengecualian. Dia datang ke rumah saya seenak perutnya. Kadang-kadang pukul 3 pagi, pada saat sedang lelap-lelapnya tidur. Dia tarik tangan saya, lalu diajaknya jalan. Dia kuat jalan, dari pagi sampai pagi. Ngomooong... terus sepanjang jalan. Bayangkan betapa penatnya. Kadang dari mulutnya keluar sajak-sajak penyair baru. Dia itu cepat sekali menghafal sajak. Seperti karet busa. Cepat meresap. Cuma beberapa menit baca, langsung hafal. Jadi, kalau dalam puisinya kita temui unsur-unsur puisi lain, tidak bisa dikatakan, dengan sadar dia mengambilnya. Sebab, dia itu ibarat kutu buku yang kena racun. Chairil mempunyai rasa bahasa yang luar biasa untuk memberi nama pada kosa kata Indonesia baru. Itu bisa dilihat dalam sajak-sajaknya. Dalam penulisan puisi, dia pun sangat profesional. Teknik penulisan sajaknya baik sekali. Dia melepaskan bahasa dari kekuasaan kaum guru. Bukankah guru menuntut tulisan sesuai dengan tata bahasa? Chairil tidak acuh pada aturan itu. Buat dia, bahasa adalah alat untuk mengutarakan sesuatu. Jadi, kalau perlu, kita bengkokkan bahasa itu untuk menjelaskan apa yang ingin kita utarakan. Kami berdua, akhirnya, saling mempengaruhi. Tapi, tidak jelas bentuknya seperti apa. Sebab kalau kami sudah bicara soal puisi, malah kami bertengkar. Pernah kami bertengkar hebat di jalan raya. Dia berteriak dari Jalan Gajah Mada, dan saya menanggapi teriakannya dari seberangnya, di Jalan Hayam Wuruk. Kedua jalan itu dipisah oleh Kali Ciliwung. Dia marah karena saya menulis artikel yang mengkritik sajaknya di majalah Mimbar Indonesia. Saya bilang, isi sajaknya kosong. Terlalu emosional. Tapi, sampai di ujung jalan, amarah kami mereda. Kami salaman. Baikan lagi, hahaha... kemudian semakin akrab saja. Pada waktu itu, kami bertiga -- Chairil, Rivai Apin, dan saya -- mempunyai banyak kesamaan berpikir. Kami betul-betul seiring sejalan. Sampai lahir kumpulan puisi kami, Tiga Menguak Takdir, yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1950. Tentang puisi Rivai Apin, menurut saya, sangat amusikal. Datar saja. Tetapi, penghayatan puisinya dalam. Kalau dibaca satu per satu akan terasa kedalaman imij-imijnya. Satu setengah tahun kami merancang cita-cita untuk membuat kumpulan puisi itu. Gagasan itu muncul pada saat kami akan menegakkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Semula, kami akan menjadikan Gelanggang sebagai suatu kumpulan kesenian (kunstkring). Tetapi, pada pertukaran pikiran selanjutnya, terasa bahwa yang dibutuhkan bukan cuma satu kumpulan, tetapi juga satu angkatan. Angkatan yang tidak saja harus ada, tetapi juga harus mempunyai pandangan hidup. Suatu tujuan. Memang, kemudian, orang menyebut kami pelopor Angkatan 45 dalam kesusastraan Indonesia. Tapi, akhirnya, kami bertiga berpisah. Chairil Anwar meninggal. Sedangkan saya, karena waktu itu sudah tinggal di Bogor, tidak sempat ikut ke pemakaman. Hubungan saya dengan Rivai juga menjauh akhirnya, karena di antara kami ada perbedaan pendirian politik. SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG Surat Kepercayaan Gelanggang selesai kami susun 18 Februari 1950, tetapi baru dimuat di majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950. Kurang lebih setahun setelah Chairil meninggal. Gelanggang merupakan wujud sikap budaya kami. Dokumen itu antara lain berbunyi: Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan. Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh pernyataan hati dan pikiran kami. Gelanggang menjadi penting karena, pada waktu itu, masih terdapat banyak perbedaan pendapat. Kebudayaan Indonesia, misalnya, dirumuskan sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah. Itu kan rumusan yang sampai sekarang masih berlaku? Itu nonsen. Sebab, kebudayaan bukan semacam sintesa yang dicampur dari sana-sini. Kebudayaan adalah produk. Kebudayaan tidak lain dari cara suatu bangsa mengatasi masalah yang lahir dari zaman dan tempat. Jadi, kalau kita hidup di abad ke-20, tantangan yang dihadapi, ya, tantangan di abad ke-20 juga. Tidak mungkin tantangan abad Borobudur. Lembaran budaya "Gelanggang" menentang chauvinisme, kesempitan dalam pandangan kebudayaan. Kami menemui banyak kemunafikan. Misalnya, ada slogan yang mengatakan, kalau berjalan haruslah dengan lenggang ketimuran. Kalau teknik berjalan baru boleh meniru cara Barat. Itu semua omong kosong. Jadi, banyak perubahan nilai yang disebabkan perubahan tatanan hidup, yang tidak bisa dihambat. Dan harus dihadapi sebagai hal yang kongkret. Sekarang, banyak orang ngomong melestarikan tradisi, sedangkan yang ngomong jauh dari tradisi. Kemunafikan itu yang menghambat kita berpikir. Persis seperti orang Indonesia yang pakai peci di luar negeri, supaya kelihatan identitasnya. Sedangkan di tanah air, peci itu tak pernah sekali pun nyangkut di kepalanya. Jauh sebelum lahir Gelanggang, Armijn bahkan sudah bicara tentang perubahan tatanan itu dalam Belenggu. Di situ, Armijn menulis bahwa seorang dokter bisa saja berhubungan dengan pelacur. Tulisan itu membuat wanita Indonesia marah sekali. Tidak ada orang yang sekolah tinggi, yang berkelakuan begitu, kata mereka. Balai Pustaka sendiri menolak menerbitkan karangan itu. Majalah Pujangga Baru yang kemudian memuatnya pada tahun 1940. Banyak orang menganggap bahwa kaum terpelajar itu berbudi tinggi. Jadi, kalau ada orang yang berhubungan dengan pelacur, dia pasti tidak sekolah. Itu salah. Sebab, kalau baju manusia dibuka, semua akan kelihatan sama. Tukang becak dan dokter bisa saja sama-sama jadi pembunuh. Chairil selalu menyebut "Gelanggang" sebagai "Gelanggang Seniman Merdeka". Jadi, seperti orang naik kapal, pada suatu saat, orang mengambil posisi di tengah, seperti itulah Surat Kepercayaan Gelanggang. Gelanggang ditulis oleh saya, sedangkan yang menandatangani Rivai Apin, Chairil Anwar, Usmar Ismail, Basuki Resobowo, saya, dan lain-lain. Kami bukan berupa organisasi yang tetap, tetapi lebih merupakan paguyuban. Tidak ada ketua, tidak ada iuran. Tetapi kami terdiri dari orang-orang yang sependapat. Seni yang kami bicarakan, waktu itu, lebih kongkret. Saya tidak tahu, kenapa sekarang urgensi untuk mengetahui produk terakhir dari pemikiran kebudayaan tidak terasa lagi. Tidak ada desakan batin atau kegairahan yang bisa disamakan dengan dulu -- tatkala saya sambut dengan jalan kaki dari Tanah Abang ke Kota, hanya untuk mencari buku. Setelah masa revolusi, saya sekolah di Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor, yang sekarang jadi IPB. Kenapa saya memilih sekolah ini? Kejadiannya persis seperti ketika saya masih kecil merusak gramafon, sehingga saya dikira bakal menjadi insinyur itu. Waktu kecil, saya mempunyai empat ekor bebek. Setiap pagi, saya pergi ke kandangnya. Kalau saya menemukan telur, telur itu saya jual kepada Ibu. Barangkali Ibu memang sengaja berbuat begitu, agar saya menyukai binatang. Dunia mahasiswa saya masuki sebagai dunia baru. Di fakultas saya, ada dua perpustakaan. Yang satu berisi buku-buku tentang ilmu kedokteran hewan, sedangkan perpustakaan yang satu lagi berisi buku-buku semacam sosiologi, psikologi, dan filsafat. Tapi akhirnya saya lebih banyak melahap buku-buku filsafat dan sebangsanya ketimbang membaca buku tentang peternakan dan kedokteran hewan. Sejak saya tinggal di Bogor, saya tidak lagi menulis puisi. Pada suatu saat, saya merasa puisi tidak lagi memenuhi kebutuhan. Seolah-olah ada yang mau disampaikan, tetapi begitu mau dituangkan dalam puisi, hilang saja. Barangkali ada hubungannya dengan situasi politik di tanah air waktu itu. Tapi, saya masih terus menulis esei. Setelah esei Tjatatan Atas Kertas Merah Djambu disusul esei-esei lainnya. Menurut saya, esei merupakan hasil pemikiran spekulatif yang sangat subyektif. Jadi, kadang-kadang saya mengatakan esei tidak berbeda dengan puisi. Beberapa cerpen, seperti Museum, Sahabat Saja Cordiaz dan Djembatan Tanah Abang juga saya tulis di Bogor. Di sana pula saya mendirikan koran Suara Bogor. Pada 1955, saya lulus sebagai dokter hewan. Saya belum lagi tahu apa yang akan saya lakukan dengan gelar saya itu, tahu-tahu, saya ditawari program doktor. Promotornya Prof. Soetisno dan seorang profesor Jerman, Fisher namanya. Tetapi, disertasi itu tidak sampai selesai, karena ketika sedang disusun, Pak Soetisno meninggal dunia. Tidak ada yang harus disayangkan, sebab sejak semula saya memang tidak berniat menyelesaikannya. Pada awal tahun 50-an, sebulan sekali, para seniman berkumpul di rumah Pak Takdir. Termasuk sekjen Lekra Umar Ayub dan Nyoto, tangan kanan Aidit. Kami berbicara dan berargumentasi tentang kebudayaan. Waktu itu, Nyoto masih mengatakan bahwa, "Buat kami, tidak soal siapa yang mencipta, yang penting hasil ciptaan itu dibagikan kepada kami." Dalam hal itu, tidak ada perbedaan pendapat. Tetapi, makin lama garis mereka makin jelas. Mereka mulai membedakan lawan dan kawan, dan mulai pula merumuskan realisme sosialis. Mereka menganggap politik adalah panglima. Sedangkan kami berpendapat, politik ditentukan oleh kebudayaan. Itu kan soal strata atas, strata bawah. Cuma, pada saat itu, Lekra berada di atas angin, karena backing politiknya sangat kuat, agresif, dan dinamis. Dan mereka tahu di mana kebudayaan mesti ditempatkan. Pada waktu Pemilu I 1955, saya belum masuk politik. Tapi, saya tahu, sebagian besar seniman bersimpati kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ketika itu, Lekra sudah berkampanye di mana-mana. Lalu, saya bersama musikus Syaiful Bachri datang ke PSI. Kami mengatakan, mau menyokong PSI. "Bung Syaiful ini akan mengadakan konser di Taman Suropati bersama kawan-kawan. Cuma, kami tidak punya modal untuk mengurus penampilan. Kalau PSI mau, silakan manfaatkan," kata saya. Mentoknya sama Soedjatmoko. Dia bilang, "Tidak bisa. Kita harus merumuskan dulu kebudayaan Marxisme itu seperti apa." Ya, sudah. Pada waktu pemilu, partai itu anjlok, PSI kalah total. Satu-satunya kelemahan kelompok nonkomunis adalah tidak bisa berorganisasi, karena mereka memang tidak mau diatur. Sedangkan Lekra sangat kukuh. Kedudukannya sama dengan organisasi Pemuda Rakyat. Di partai lain, tidak ada organisasi semacam itu. Baru kemudian, Partai Nasional Indonesia (PNI) mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Ketuanya Sitor Situmorang. Nah, Sitor ini seorang yang kenes. Kalau dikipas, dia lupa diri. Dan komunis cepat sekali melihat ini. Mereka langsung merangkul Sitor. Setelah ada gejala begitu, kemudian NU mendirikan Lembaga Seniman Budayawan Indonesia (Lesbumi). Para seniman berkumpul. Anggotanya kebanyakan orang-orang film. Termasuk saya. Dengan adanya Lesbumi, orang nggak bisa ngomong sembarangan lagi. Kami menentang tujuan mereka untuk membubarkan Parfi yang, katanya, tidak berafiliasi pada salah satu partai. TEATER DAN FILM Saya mengenal dunia film, ketika saya masih mahasiswa. Tidak sengaja sebetulnya. Suatu hari, saya menengok Usmar Ismail yang sedang syuting film Long March di Purwakarta. Lalu, Usmar minta tolong supaya dibuatkan skenario. Film itu, cerita aslinya ditulis dengan tulisan tangan oleh Sitor Situmorang. Tapi, tidak selesai. Cuma sampai 3/4 halaman. Long March adalah film Usmar yang pertama. Karena ia tidak sabar, skenario belum selesai, syuting sudah dimulai. Dulu, orang menulis skenario tidak seperti sekarang. Shot demi shot. Sejak itu, saya mulai punya perhatian terhadap film. Saya melihat sesuatu yang lain. Lewat film, penonton bisa melihat puisi. Jadi, ternyata, puisi tak cuma diutarakan dengan kata-kata, juga bisa lewat gambar. Pada 1952, saya mendapat beasiswa dari Lembaga Kebudayaan Indonesia-Belanda, belajar drama di Akademi Seni Drama di Amsterdam. Saya ingin memperdalam drama, karena saya berpendapat bahwa puisi Indonesia pada dasarnya adalah puisi lisan. Bagi orang Indonesia, puisi bukan untuk dibaca, melainkan untuk didengarkan. Saya ingin memadukan antara puisi yang diucapkan dan lakon drama. Setelah mulai belajar, ternyata, perkiraan untuk menggunakan teater sebagai media pendukung puisi meleset sama sekali. Bagaimanapun, puisi itu ditulis dan teater dimainkan di panggung. Pengetahuan teater saya, ketika itu, memang sangat terbatas sekali. Semula, misalnya, saya menganggap dalam drama, sesudah menghafal teks, pemeran boleh berlaku seenaknya di atas panggung. Sehingga terjadi seperti yang dilakukan Rosihan Anwar dalam grup sandiwara Maya. Waktu itu, kata Pak Rosihan, kalau sudah mulai bicara, dia jalan dari sudut ke sudut atas kemauannya sendiri saja. Ini dibenarkan oleh Usmar Ismail, pimpinan Maya karena dia mengira memang begitu seharusnya. Mereka belum pernah melihat seperti apa teater yang sebenarnya. Nah, di Belanda saya mendapat kesempatan untuk melihat teater yang sebenarnya. Saya tak cuma melihatnya dari dekat, tetapi juga dari belakangnya. Itulah pertama kalinya saya mengenal istilah blocking. Dalam teater, ada teori akting Stanislavsky, yang antara lain mengajarkan persiapan batin seorang pemain. Dunia teater jadi makin menarik. Dari situ, saya melihat puisi tak cuma kata-kata, ia juga bisa berbentuk drama Kebun Cherry-nya Anton Chekov. Ada unsur kata, unsur gerak, unsur cahaya, dan macam-macam. Selama belajar teater, saya punya kesempatan menonton film, yang tadinya cuma saya lihat di literatur. Misalnya, film Eisenstein yang terkenal, Potemkin, lalu film Ibu karya Pudovkin. Juga karya-karya sutradara Douschenko. Saya membaca buku karangan H. Menno Ter Braak, tentang estetika dan kritik film. Juga bertemu dengan dokumentaris-dokumentaris Belanda. Hingga, akhirnya, film dan teater menjadi bagian yang tak terpisahkan dari saya. Sampai sekarang. ATNI Pada 1953, saya kembali ke Indonesia. Setahun di tanah air, kemudian berangkat lagi ke Amerika. Pada 1954, saya diundang Universitas Harvard untuk menghadiri seminar internasional tentang kebudayaan. Setahun saya tinggal di sana. Sepulang dari Amerika, 1955, bersama Usmar Ismail dan Djadoek Djajakusuma, saya mendirikan Akademi Teater Nasional (ATNI). Kami lalu berbagi tugas, Usmar mengetuai Yayasan ATNI, saya mengetuai akademinya. Gagasan mendirikan akademi teater itu sebetulnya datang dari Usmar. Sejak Usmar meninggalkan Maya dan sibuk di Perfini, teater mati. Sehingga pertunjukan di Gedung Kesenian, di Pasar Baru itu, sudah tidak ketulungan lagi. Gedung itu disewakan kepada siapa saja. Sehingga ceritanya pun ajaib-ajaib. Ada Nurnaningsih Hamil, karena waktu main, Nurnaningsih memang sedang hamil, Nurnaningsih Gila, dan cerita-cerita sebangsa itulah. Di bagian belakang gedung, sudah jadi perumahan DKI. Tukang sekoteng masuk sampai ke dalam gedung sambil mendentingkan mangkok ting-ting-ting.... Jadi, sambil menonton, mereka menjajakan dagangannya. Sebagian besar penonton tak mau membayar karcis, karena mereka teman-teman para pemain juga. Jadi, si pemain ngomong keras, penonton ngomong lebih keras lagi, mencaci-maki apa yang dilihatnya. Kalau pada 1950, di depan gedung masih diparkir mobil-mobil menteri, mulai 1952, sudah tidak ada lagi. Sudah jadi tempat jualan sekoteng. Inilah yang mendorong kami mendirikan ATNI. Kurikulum ATNI kami buat sangat hebat. Bahasa Inggris dan Prancis diajarkan. Saya masih ingat, yang mengajarkan bahasa Prancis adalah Ny. Woworuntu. Dia fasih sekali bicara, sampai pusing murid-muridnya. Tarian balet juga diajarkan. Pada saat itu, dosen yang secara teknis punya latar belakang pendidikan teater memang baru saya. Tetapi, bukan berarti bahwa dosen lain tak bisa mengajar. Usmar, meski belajar film, adalah lulusan UCLA. Jadi, mulailah saya memperkenalkan teori blocking, teori Stanislavsky, dan kerja kolektif. Saya mengajar mereka mendesain gerakan di panggung. Sebelum itu, dalam seni panggung, selalu ada primadonanya. Kalau si primadona datang, yang lain mundur. Dia selalu berdiri di tengah, di tempat yang menguntungkan. Dalam sistem kolektif, pemain bergerak sesuai dengan perannya. Jadi, kalau ada dialog penting diucapkan, walaupun dia bukan pemeran utama, maka pemeran utama mesti disingkirkan, supaya perhatian penonton jatuh pada si pemeran kecil ini. Ada ucapan Stanislavsky yang terkenal: "Tidak ada peran kecil, yang ada adalah aktor yang berjiwa kecil." Orang sering menolak diberi peran kecil. Dalam teori Stanislavsky, itu tidak dibenarkan. Sebab, setiap peran kecil bisa menentukan seluruh pertunjukan. Tapi, aktor yang berjiwa kecil menolak memainkan peran kecil. Angkatan ATNI yang pertama, seperti Tiar Muslim, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Alex Leo, Galeb Husen, sekarang sudah jadi 'orang' semua. Padahal, kalau diingat, ATNI serba kekurangan pada masa itu. Dosen tidak dibayar. Buku-buku tidak lengkap. Mahasiswa, jangankan disuruh bayar uang sekolah, untuk makan pun susah. Gedung ATNI pun berpindah-pindah. Betul-betul sekolah petualang. Tapi, semangat mereka bukan main. Tiar Muslim contohnya, sebelum kuliah, dia mampir dulu ke PMI Salemba. Jual darah. Supaya dia bisa makan semangkok kacang hijau. Jadi dia ini, dari rumahnya, di Kramat, jalan kaki ke Jalan Imam Bonjol. Pertunjukan ATNI yang pertama diadakan di aula UI Salemba. Kami melakonkan Pintu Tertutup, karya Sartre. Itu drama berat. Tetapi, rupa-rupanya pertunjukan itu berhasil. Saya yang menyutradarainya. Yang main waktu itu Soekarno M. Noor, Tatiek Malyati, dan ada satu perempuan Indo, Ryona van Kraaienoordt. Seorang penonton mengatakan bahwa pertunjukan itu betul-betul satu peristiwa kebudayaan. Memang, banyak yang baru dikemukakan. Seperti penggunaan lampu. Di dalam pertunjukan drama di Indonesia, belum pernah digunakan dimmer secara efektif. Padahal, cuma membesarkan dan mengecilkan lampu saja. Dalam Pintu Tertutup, untuk pertama kalinya, dimmer dipakai. Layar tidak ditutup. Sehingga seluruh panggung terbuka. Ada tiga kursi di sana. Di belakang kursi, ada patung dan satu pintu. Lalu, ada lampu yang menyorot terus ke arah kursi. Waktu penonton masuk, mereka bingung. Mereka tanya, apakah pertunjukan sudah main. Sebab panggung sudah terang-benderang. Lalu, mereka ribut. Eh, eh... sudah mulai, sudah mulai.... Padahal, pertunjukan baru dimulai setengah jam kemudian. Setelah itu, kami bikin pertunjukan lagi di Gedung Kesenian. Kami melakonkan karya Anton Chekov, Burung Camar. Di sini, untuk pertama kalinya, blocking kelihatan. Majalah Aneka menulis: Terasa sekali campur tangan sutradara. Sejak di ATNI, saya memang mulai menerjemahkan drama-drama Barat. Sebab, waktu itu tidak ada repertoar. Pengarang drama Indonesia hanya Utuy Tatang Sontani, Trisno Sumardjo. Karena mereka belum pernah mengenal teater, karya mereka tidak lebih dari sketsa tentang suatu cerita saja. Tidak mengeksploitasi kemungkinan teater. Bagi mereka, main drama hanya ada angan-angannya saja. Jadi, tidak ada jalan lain kecuali menerjemahkan drama-drama Barat sebagai bahan pelajaran. PERSARI & PERFINI Pada 1956 saya mendapat kesempatan belajar di University of Southern California. Selama setahun saya belajar dramaturgi dan sinematografi. Sepulang dari Amerika, 1957, saya bergabung dengan Persari (Persatuan Artis Republik Indonesia) yang diketuai Djamaluddin Malik, bapak penyanyi Camelia Malik. Di situ saya mengepalai bagian penulisan skenario. Pada saat itulah saya merintis kerja sama Persari dan Perfini melalui film Lewat Jam Malam. Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik adalah dua manusia yang berbeda sifat. Mereka berkawan tetapi selalu berkelahi. Djamal adalah pedagang yang sangat praktis. Sebaliknya, Usmar seorang seniman yang kaku. Buat Djamaluddin, kalau mengundang seorang pembesar, maka dia akan membukakan pintu mobilnya. Usmar nggak betah melihat begituan. Maka, dia langsung ngomel. Djamal memang tipe orang yang pintar mencari sumber uang, tetapi tidak punya gagasan artistik. Pada masa itu Perfini dan Persari adalah dua perusahaan film milik pribumi yang cukup besar. Namun, suasana di kedua studio itu sangat bertolak belakang. Di Perfini berkumpul orang yang penuh idealisme. Film-film yang dibuat selalu artistik. Sedang Persari terdiri dari para bekas pemain sandiwara yang berpikiran sempit. Mereka takut sekali pada saingan-saingannya. Sehingga, Soekarno M. Noor, misalnya, nggak bisa masuk ke situ. Tapi Djamal ini banyak juga jasanya di dunia film. Dialah yang gigih menempatkan film Indonesia di tanah airnya sendiri. Semboyan "Menjadikan film Indonesia tuan rumah di negeri sendiri" itu kan dari dia. Pernah dalam setahun Studio Persari membuat 32 film. Jasanya memang lebih banyak mengalir di bidang bisnis film daripada isinya. Kalau isinya, hampir-hampir merupakan kelanjutan dari produk yang dibuat Golden Arrow dan Tan And Wong Bros. Sebab, orang-orangnya memang begitu. Pemainnya masih seperti pemain-pemain sandiwara, yang jiwanya sama dengan jiwa cerita Merah Delima. Melalui kerja sama dengan Usmar Ismail, diharapkan muncul tradisi baru. Sebab itulah pertama kalinya artis luar bergabung dengan pemain-pemain Persari. Artis Persari yang ikut dalam Lewat Jam Malam di antaranya Netty Herawati, Awaluddin, Titin Sumarni. Dari luar ada Bambang Hermanto. Tidak banyak skenario yang saya tulis selama di Persari. Selain Lewat Jam Malam, yang kemudian mendapat penghargaan dari FFI. Saya kemudian menulis skenario dari cerita pendek Guy de Maupassant. Judul aslinya Kalung. Setelah difilmkan, judul itu diubah jadi Pegawai Tinggi. Itu cerita tentang seorang pegawai biasa, yang istrinya ingin hidup seperti istri pegawai tinggi. Suatu hari mereka diundang pesta. Si istri, karena nggak punya perhiasan, meminjam kalung dari temannya. Tahu-tahu, kalung itu hilang. Ia pun terpaksa mengganti dengan kalung yang serupa, yang dibelinya di toko emas dengan cara mencicil. Harganya mahal sekali. Sehingga, selama mencicil, keluarga hidup susah. Sesudah lunas, dia bilang pada yang punya kalung. Baru ketahuan kalung yang dipinjamnya dulu itu kalung palsu. Film itu laku keras. Setelah itu, saya mengalami hal yang lucu. Tidak lama setelah film itu diedarkan, ada surat pembaca di harian Indonesia Raya, mau menuntut film itu. Katanya, "Adalah suatu kebohongan bahwa cerita film itu didasarkan pada karya Guy de Maupassant. Sebab, pada kenyataannya cerita itu adalah cerita curian karangan istri saya." Surat itu datang dari Solo. Cerita itu saya terjemahkan pada 1948. Sudah lama sekali. Jadi, rupanya nyonya itu membaca terjemahan tersebut dan ditulis kembali dalam bahasa Jawa dan diterbitkan lagi atas nama dia sendiri. Si suami tidak tahu. Jadi, dia bangga sekali istrinya menulis cerita pendek yang begitu bagus. Maka, begitu melihat film saya, dia marah luar biasa. Pekerjaan saya kemudian lebih banyak ke penulisan skenario serta penyutradaraan teater dan film. Pertama kali saya menyutradarai film pada 1961, dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh. Waktu itu masih film hitam putih, yang karena kesalahan pengusaha tidak sempat beredar. Pada 1983, film tersebut dibuat lagi. Kemudian menyusul film-film lain seperti Apa Yang Kau Cari Palupi. Terus terang, jika mau membandingkan film, teater, dan sastra, maka dari yang terakhir itu kita nggak bisa hidup. Saya tidak mungkin 24 jam menjadi seniman. Saya menjadi seniman waktu saya menulis, menyutradarai film, dan menyutradarai panggung. Selebihnya, saya adalah ayah dari anak saya yang harus saya kasih makan, dan ada orang lain yang saya jadikan istri, yang juga harus saya kasih makan. Ada satu hal tentang pengalaman saya membaca. Kalau kita membaca sampai umur 35, kita jadi kreatif. Barangkali yang ditangkap cuma sedikit. Dari satu buku, misalnya, cuma 10 kalimat yang kita ingat. Tetapi dari 10 kalimat itu bisa dibangun 10 dunia. Sedang kalau kita membaca sesudah 40 tahun, kita bisa menangkap 100 kutipan, tetapi dari 100 kutipan itu akan lahir 100 kutipan juga. Jadi kalau sampai umur 35 kita tidak banyak membaca, kesempatan habis. Nggak bisa diulangi. Bagi saya, membaca bukan lagi keharusan, tetapi sudah berupa kebutuhan, kenikmatan. ISTRI Saya menikah dua kali. Perkawinan, kata orang, untung-untungan. Barangkali kedengarannya terlalu kasar. Tapi kalau dikaji ucapan pengarang H. Menno Ter Braak, "... dan di samping saya berbaring istri yang bukan pilihan saya," terlihat bahwa istrinya itu tidak dipilih secara rasional. Ketika saya ketemu Siti Nuraini, saya masih mahasiswa. Dia penggemar sastra. Mungkin, karena kami punya kegemaran sama, hubungan kami menjadi serius. Dia tidak pernah mengatakan kagum pada saya, tetapi secara tersamar pernah dia ucapkan, ada sesuatu yang saya berikan. Apakah itu buku atau pendapat. Ada perempuan yang menghargai laki-laki cerdas, tapi ada juga perempuan yang tidak keberatan kagum pada laki-laki yang bodoh. Dia adalah tipe perempuan yang senang pada laki-laki intelektual, yang bisa membicarakan persoalan-persoalan. Kebetulan saya juga orang yang seperti itu. Lalu jadilah.... Pada 29 Maret 1951 kami menikah di Bogor. Kami kemudian membuat komitmen, istri tidak harus di dapur dan melayani keluarga. Kami adalah kawan yang sama derajatnya. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang kurang. Memang, itu diucapkan secara teoretis. Sebab, pada prakteknya memang lain keadaannya. Setelah perkawinan, baru saya sadari bahwa dua seniman dalam satu rumah, menurut saya, sering malah berbahaya. Bisa membuat rumah itu pincang. Manusia itu tidak luput dari rasa iri. Sekarang saya mengerti kenapa Sartre menolak diberi hadiah Nobel. Ia tidak mau Simone de Beauvoir, pengarang wanita yang hidup bersama dengannya, merasa iri. Jadi, orang yang intelijensinya tinggi sekalipun, tidak lepas dari rasa iri. Apalagi kaum seniman yang peka perasaan dan kekenesannya. Dalam rumah tangga, menurut saya, suami dan istri lebih baik tidak punya perhatian yang sama. Sebab, dengan begitu, masing-masing punya kekayaan pembicaraan sendiri untuk dibicarakan dengan yang lain. Kalau punya perhatian sama, dalam pembicaraan justru sering bertentangan, yang jika diteruskan akan meruncing. Sebab, kritik yang paling sakit adalah yang datang dari orang yang kita sayangi. Tapi justru orang yang disayangi itu yang perlu menyampaikan kritik, sebab dia kepingin bangga atas orang yang disayanginya. Jadi, kalau suami-istri berada di satu bidang, bermacam salah paham bisa timbul. Kami bercerai ketika pernikahan kami menginjak tahun kesepuluh. Ketiga anak kami ikut saya, karena Nuraini tidak mau dibebani anak. Perceraian, bagaimanapun, bagi saya sangat traumatik. Saya memerlukan waktu yang panjang untuk melupakannya. Setelah 10 tahun sendiri, saya baru bisa memutuskan untuk menikah kembali. Terlalu banyak cacat yang saya lihat pada wanita yang saya kenal. Kadang-kadang gaya bicara dan caranya memberikan reaksi mengingatkan saya pada istri yang lama. Nah, sesudah 10 tahun... itu pun tidak saya rancang. Rupanya, memang sudah waktunya. Saya pertama kali bertemu dengan Mutiara Sarumpaet pada acara apresiasi seni dan budaya di TVRI. Dia pengelola acara tersebut, dan saya termasuk yang diwawancarai. Tapi tidak ada perasaan apa-apa waktu itu. Setelah itu, lama sekali kami nggak ketemu. Kami bertemu lagi ketika nonton film di bioskop Star TIM. Dia sudah bukan peragawati lagi, sudah menjadi anggota Teater Populer. Sementara itu, saya dosen di Institut Kesenian Jakarta. Dari pertemuan sekali itu, kami jadi lebih sering ketemu. Memang ada getar aneh setiap kali ketemu Muti, begitu ia sering dipanggil. Tuntutan wanita tahun 70-an, saya tidak tahu apa. Perbedaan usia juga menjadi hal yang menakutkan. Perbedaan usia kami lebih dari 20 tahun. Tetapi, seperti saya katakan tadi, perhitungan rasional tidak selalu jalan. Dan kalau akhirnya saya memilihnya dan orang bertanya kenapa, saya tidak tahu jawabannya. Saya menikah untuk yang kedua kalinya pada 29 Desember 1972, di Jakarta. Muti juga terlibat dalam dunia seni, tetapi bidang kami berbeda. Kalau saya menulis cerita buat dia, itu karena saya yakin akan bisa mendiskusikannya dan dia akan berusaha memainkan peranannya dengan baik. Tapi ini tidak berarti dia cuma mau main dalam cerita yang saya tulis. Muti juga bersedia main dalam cerita yang ditulis orang lain. Lalu bagaimana dengan perbedaan latar belakang dalam satu rumah tangga bisa dijalin. Nah, ini adalah suatu ilusi lagi tentang fungsi istri membantu suami. Dalam bentuk apa seorang istri membantu suaminya. Orang cenderung mengartikannya secara konkret. Jadi, kalau suaminya pengarang, maka istrinya membantu mengetikkan karangan suaminya. Itu bisa saja. Tetapi tentunya bantuan istri kepada suaminya adalah secara tidak langsung. Dia memberikan tempat kepada suaminya untuk tumbuh. Itu sebetulnya. Jadi, bukan tiba-tiba si istri belajar entah apa supaya bisa membantu suaminya. Saya anggap tidak menjadi soal, apakah suaminya tamatan universitas dan istrinya cuma tamatan SD. Yang penting, istri memiliki intelijensia, sehingga bisa mendampingi suaminya. Dari perkawinan yang kedua ini, kami dikaruniai tiga anak. Semuanya laki-laki. BINATANG MEMAMAH BIAK Belakangan ini saya memang agak sakit. Ada infeksi di kantung empedu. Kini saya lebih banyak di rumah, sebab saya tidak mau membuat semacam keterikatan dengan kegiatan di luar. Saya lebih banyak menulis skenario, tetapi itu bukan berarti saya tidak punya perhatian lagi pada bidang lain. Saya tidak lagi menyutradarai film, karena saya melihat film Indonesia sudah seperti hewan jinak. Dari tahun ke tahun tidak berkembang. Sebab, kemungkinan dia melangkah dihambat oleh banyak faktor. Sehingga kultur film tidak tumbuh. Dalam tiap diskusi film, yang dibicarakan selalu soal kebijaksanaan film. Tentang film menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tentang sinepleks, tentang peredaran film, tetapi tidak bisa bicara tentang karya seorang sineas. Karya sineas sama sekali tidak menunjukkan suatu garis merah. Dia jadi bengkok atau bahkan terpisah sama sekali, akibat kompromi yang terus-menerus dilakukan. Mungkin dalam satu hal sutradara tidak kompromi, tetapi dalam film berikutnya dia terpaksa kompromi. Sehingga, sejarah film Indonesia adalah suatu sejarah kompromi besar dalam bidang kebudayaan. Dan saya anggap ini kemunduran. Sebab, dulu, film ada di tangan orang film, sedang sekarang film ada di tangan pedagang film. Ini bedanya. Saya jadi ingat ucapan Bung Sjahrir. "Kalau persoalan sudah ada kesimpulannya tetapi tidak dilaksanakan, maka yang ada adalah suatu perasaan rendah diri. Suatu rasa tidak sanggup mengatasi masalah." Ini yang dialami film Indonesia. Karena, dalam setiap diskusi, yang dibicarakan dari itu ke itu saja. Persoalan 10 tahun yang lalu dibicarakan lagi sekarang. Seperti binatang memamah biak. Begitu juga halnya dengan sastra. Coba, kita duduk dalam suatu pertemuan sastra, pernahkah para pengarang membicarakan karya pengarang dari kulit sampai ke isinya? Tidak ada. Tidak ada percakapan sebuah buku dengan baik. Sebab, pengarang-pengarang itu tidak lagi membaca.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus