BERKAT keong emas, rezeki Omad, 60 tahun, terkerek naik cukup tinggi. Duit belanja tambahan yang dia dapatkan, dari empang 10 X 20 meter di belakang rumahnya, kini, bisa mencapai Rp 1 juta setiap bulannya. Enam bulan lalu, Omad -- penduduk Desa Iwul, Kecamatan Parung, Bogor, Jawa Barat -- menggusur ikan emas dan mujair yang menghuni empangnya, dan menggantikannya dengan sepasang keong emas. Dari sepasang siput yang bercangkang kuning keemasan itu, penangkaran keong Omad berkembang. Keongnya mulai bertelur, terus bertelur, yang menetas menjadi keong dewasa, dan dalam tempo dua bulan bertelur juga. Begitu seterusnya. Kini, empang 200 m milik Omad itu bisa menghasilkan keong 1 ton sebulan. Tak sulit membesarkan keong-keong itu. Mereka sama sukanya berada dalam empang air bening atau keruh. Soal makanan? Tak ada masalah. Daun pisang, rumput, bayam, kangkung, bahkan eceng gondok, mereka sikat habis tanpa pilih-pilih. "Kayak kambing Jawa, segala macam daun dimakan," ujar Omad sambil terkekeh. Memang, keong emas telah menjadi komoditi baru. Omad menjual keongnya seharga Rp 1.000 per kg. Diam-diam, langkah Omad itu kini menjamur di seputar Jakarta. Konon, sebagian dari keong itu diekspor, sebagian lainnya "naik gengsi" dibawa ke hotel-hotel berbintang, untuk dihidangkan sebagai menu Prancis escargot. Di situ, satu porsi escargot, berisi 3-4 keong berukuran 5 cm, dijual dengan harga sekitar Rp 15.000. Beberapa pasar swalayan di Jakarta juga menjual keong emas ini dengan harga sekitar Rp 3.500 per kilo. Demam keong emas itu rupa-rupanya telah berjangkit pula di Yogyakarta, hampir setahun belakangan. Di Yogya, keong emas ini didagangkan sebagai hewan hias, untuk dipajang di akuarium. "Saya bisa jual 70-an ekor sehari," kata Bu Atmo, pedagang ikan hias yang mangkal di Jalan Tentara Pelajar. Keong emas itu, oleh Bu Atmo dijual Rp 500 seekor untuk yang berukuran 5 cm dan Rp 300 untuk yang lebih kecil. Ketika pertama kali diperkenalkan di Yogya, seekor keong kuning itu bisa mencapai harga Rp 1.000. Bagi Han Tiong, seorang pemilik toko kelontong di Jalan Solo, Yogya, keong emas membawa pesona tersendiri. Dia memelihara enam ekor, dalam dua buah akuarium di rumahnya, dibaurkan dengan ikan hias. Setiap malam, Han berlama-lama memandang keongnya yang kuning berkilau merambat di kaca, dalam gerakan yang lamban tapi ritmik, sementara dua sungutnya berjuntai melambai-lambai. "Melihat itu, kok rasanya tenang, pikiran lepas," ujar Han. Dia pun percaya, keong emas itu bisa mendatangkan hoki dan menolak bala. Namun, di balik "hoki" itu, ada kemungkinan pula keong emas membawa bala. Maka pengurus Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), belakangan, gigih berkampanye untuk membatasi ruang gerak keong emas itu. "Sebab, hewan itu berpotensi berubah menjadi hama padi," ujar Sandra Moniaga, Koordinator Hukum dan Lingkungan Walhi. Bahwa keong emas itu menjadi hama, Sandra menunjuk contoh di Filipina. "Banyak persemaian padi hancur oleh mereka," kata Sandra. Bahkan, Hari Mulyanto, salah seorang anggota presidium Walhi, menyebut kerusakan sawah di Filipina akibat ulah keong emas mencapai 400 ribu ha. Oleh karenanya, "Departemen Pertanian Filipina telah melarang pembudidayaan keong emas sejak November lalu," kata Han. Di Filipina, kisah keong emas itu, menurut Hari, bermula pada 1986. Ketika itu pemerintah setempat gencar mengampanyekan budi daya keong asal Brazil itu untuk konsumsi keluarga. Alasannya, keong bercangkang kuning itu kaya akan zat gizi. Budi dayanya pun meluas. Alhasil, sebagian keong lepas dari penangkarannya dan masuk ke sawah, menggerogoti tanaman padi muda. Taiwan, konon, merupakan negeri pertama yang mula-mula mengadopsi keong Brazil itu ke Asia. Dari Taiwan, keong ini merambat ke Muangthai, Filipina, dan Indonesia. Pada 1986, Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Zoologi Bogor telah menerima sepasang, dan sepasang lagi diterima dari Dinas Perikanan Darat, Bogor. Kendati pembiakannya cepat, keong ini tetap dijaga agar tak keluar dari tempat penangkarannya. "Kami khawatir kalau keong ini mendesak keong lokal, keong gondang," ujar Ristiyanti M. Nurrachman, staf peneliti Moluska di Balitbang Zoologi Bogor. Tapi, tanpa sepengetahuannya, "Di luaran ternyata telah banyak sekali beredar," kata Ristiyanti. Keong emas (golden snail), menurut Ristiyanti, dalam khasanah biologi disebut Pomaceae sp. Dia termasuk binatang bertubuh lunak yang punya cangkang alias moluska. Kemampuan pembiakannya, memang, luar biasa. Betina keong ini menumpuk telurnya, yang berwarna merah jambu, pada tempat-tempat kering di pinggir kolam. Satu tumpukan telur jumlahnya bisa mencapai 800 butir. Dalam waktu 5-7 hari, telur itu menetas. Dari tumpukan telur itu, 90% di antaranya akan menetas. Dalam waktu dua bulan mereka telah siap bertelur, dan dalam umur 3-4 bulan mereka mencapai ukuran 4-5 cm, yang siap dipanen. Daging keong emas yang berwarna putih itu, kata Omad, lebih menarik ketimbang daging keong gondang yang kehitaman. Lagi pula, "Daging keong emas ini lebih enak, mirip cumi," tambah Omad. Dalam penelitian Risti di Bogor, memang, keong emas ini doyan menyantap tanaman padi muda. "Tapi, kalau ada yang lain yang lebih lunak, daun padi akan menjadi pilihan terakhir," ujarnya. Kendati demikian, bagi Sandra -- dari Walhi -- kenyataan itu bukan alasan untuk mengizinkan keong emas bebas berkeliaran. "Kami mesti pelajari dulu, apakah ekosistem siap menerima atau tidak," ujarnya. Putut Tri Husodo, Diah Purnomowati, dan Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini