DI selatan Jembatan Waterloo, timbul sekerat wajah kumuh. Bagian kecil dari kebesaran London ini dikenal sebagai panggung drama Bull Ring. Siang, tampak megah dengan pilar-pilarnya menopang jembatan akbar ini. Sementara itu, jalan trotoar di kiri-kanan ditapaki lelaki berjas dan dasi, tergesa menuju gedung pencakar langit semacam IBM dan Shell. Jika malam turun, lalu Bull Ring menguak sisi yang mencekam. Beragam manusia (lihatlah: ada kakek, nenek, pasangan kekasih, para kanak berbaju musuh dan muka lusuh) mencari pojoknya masing-masing. Sebagian mendirikan rumah kardus, menggelarkan selimutnya, atau menyalakan api unggun, seraya menggosok-gosok tangannya yang nyaris beku. Dari letik api yang menyinari wajah pelaku utama, gelandangan, terlihat20 senyum mengembang. Bersit kehangatan tercipta. Mereka berbincang, tertawa, minum, sembari membandingkan penghasilan siang tadi: mengemis, entah juga ngamen, di sosok London yang penuh turis. Di sela percakapan terdengar radio, yang sesekali mengudarakan suara dari kerongkongan Perdana Menteri Margaret Thatcher yang mempidatokan rancangan kesejahteraan. Kesejahteraan? Ini nyata diciptakan pemerintahan Thatcher, meski di ketiak London masih terselip 116.060 penduduk tanpa rumah. Panggung Bull Ring saksinya. Gratis. Demikian pula di kompleks kuburan, juga di bawah tangga bangunan kota -- Leeds atau York -- drama ala Bull Ring mempertunjukkan adegan serupa. Sebagian dari pelaku utamanya anak muda. Di Inggris, setiap tahun hampir 100 ribu remaja minggat dari rumah. Alasannya berbagai. Misalnya bosan ditampar bapak, atau mengharap "kehidupan lebih baik" di jalan-jalan. Dan untuk menjadi buruh pabrik pun mereka harus bersaing. Anak-anak muda itu lalu memilih menjadi bagian Bull Ring, dan semacamnya. Gerincing pentas di panggung drama Inggris yang lebih nyata ini selalu diulang dari masa ke masa. Adegannya sama. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini