Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TARUNA Kusmaryuda Kusmayadi, 54 tahun, tak hanya piawai merancang busana. Nuna—nama sapaannya—juga pandai mengelabui tamu dalam setiap jamuan makan yang dihadirinya. Hampir dua tahun ini ia ketagihan produk bubuk cabai. Ke mana pun pergi, ia selalu membawanya.
Nuna punya trik agar terbebas dari teguran pelayan restoran. Botol bubuk cabai ia genggam di bawah meja makan dan secara hati-hati menaburkannya di atas makanan. Ia menempuh cara itu karena pernah tepergok sedang menaburkan bubuk cabai ke makanannya. ”Cara ini membuat saya aman dan bisa tetap bersantap dengan bubuk cabai favorit. Yuk, makan cabai bubuk bergerilya di bawah meja,” ujarnya diikuti derai tawa, Rabu malam pekan lalu.
Penasihat Indonesian Fashion Chamber ini menyukai cabai sejak sekolah menengah pertama. Pada 1990-an, ketika mulai wira-wiri di dunia mode, setiap ikut jamuan makan, Nuna selalu membawa cabai bubuk untuk ditaburkan di piza, steak, atau hidangan apa pun. Perancang berkepala plontos ini menjelaskan, saat itu ia membuat sendiri bubuk cabainya. Ia membeli cabai kering utuh di toko serba ada di negara yang ia kunjungi. ”Nah, ketika jamuan, saya haluskan. Digerus dengan sendok, lalu ditaburkan ke makanan yang akan saya santap. Kebiasaan itu berlanjut hingga kini,” katanya.
Tapi, menurut Nuna, rasa pedas pada cabai yang diraciknya kurang afdal. ”Rasanya enggak pedas. Mungkin dibikinnya dari paprika, bukan dari cabai setan,” ujarnya. Nuna bersyukur karena kini ada produk bubuk cabai dengan pilihan level kepedasan. Ia memilih cabai teri karena, selain pedas, ada sentuhan rasa terinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo