MOCHTAR LUBIS, 57 tahun, tiba-tiba muncul sebagai juri lomba
baca sajak yang diselenggarakan Radio Arief Rachman Hakim
Jakarta, 24-26 Juli di TIM. Itu untuk pertama kalinya, dan ia
mau "karena penyelenggaranya Radio ARH," ujarnya. "Saya 'kan
punya kenangan tertentu dengan radio ini." Radio itu,
sebagaimana terlihat dari namanya, memang punya andil dalam
perjuangan Angkatan '66 silam.
Selain itu, Mochtar Lubis juga jadi juri Festival Film Indonesia
(1979 di Palembang). Tapi dalam acara diskusi 9 Juli di
Kuningan, Jakarta. Mochtar pun angkat bicara.
"Saya adalah juri yang tidak setuju dipilihnya November 1828
sebagai film terbaik," katanya. Kenapa? "Film itu tidak mendidik
generasi muda. Sebab, di film itu semua tokoh yang berjuang
untuk negerinya, yang berontak dan melawan penjajahan dan
kesewenang-wenangan, dimatikan. Itu gambaran buruk yang bisa
mematahkan semangat patriot," katanya lagi.
Kecuali itu, ia punya anggapan, bahwa Sentot Alibasyah
Prawirodirjo bukanlah pahlawan -- melainkan pengkhianat. Lho?
"Pada waktu dia menyerah kepada Belanda lalu pergi ke Sumatera
dan memerangi kaum Paderi, bukankah itu suatu pengkhianatan?"
katanya.
Namun menurut cerita sejarah, Sentot justru mencoba bekerja sama
dengan kaum Pidari -- dan dibuang Belanda ke Cianjur, lalu ke
Bengkulu dan meninggal di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini