Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

SMP Kelas Dua Atau Bukan, Ini

Menteri P & K Daoed Joesoef meresmikan 5 SMP "terbuka". pengajaran sistim modul dalam beberapa kelompok belajar. Masalahnya, guru pembimbing tidak selalu siap ditemui, murid harus disiplin. (pdk)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSBA dilarang orangtuanya mclanjltkan ke SMP. Orangtua itu adalah buruh tani di Kecamatan Plumbon, Cirebon. "Tak ada biaya", demikian alasan si bapak. Ketiga kakaknya juga tak melanjutkan sekolah. Begitu lulus SD mereka langsung bekerja sebagai buruh di pasar. Tapi kini Musba merupakan salah seorang dari 800 lebih murid pertama SMP "Terbuka." Orang tuanya tak berkeberatan kali ini, karena "di SMP Terbuka buku-buku tak usah dibeli." Apa itu SMP "Terbuka"? Selasa pekan lalu, Menteri P & K Daoed Joesoef meresmikan SMP "T" itu di Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, sekaligus secara simbolis meresmikan sekolah yang sejenis di keempat kecamatan lain di Indonesia di Plumbon, Cirebon, di Kalisat, Jember, di Terara, Lombok Timur dan Kalianda, Lampung Selatan. Dan Daoed Joesoef menyatakan, bahwa SMP Terbuka "bukan sekali-kali sekolah 'kelas dua', atau sekolah yang mutunya kurang dibanding dengan SMP biasa." Kelas dua atau bukan, SMP-T ini dilahirkan dari kehendak memecahkan ledakan penduduk sebagaimana yang terlihat pada besarnya jumlah lulusan SD yang tak tetampung di SMP biasa. Idenya lahir di Yogyakarta tahun 1977 dan kemudian di lima kecamatan itu dikembangkanlah proyek-proyek perintis. Tujuannya bagaimana meratakan keempatan pendidikan dengan ongkos murah. Sudah diketahui bahwa pemerintah belum mampu membuka SMP biasa guna menampung semua lulusan SD. Kecuali harus mengadakan guru-guru, gedung sekolah pun harus didirikan. SMP-T mencoba memecahkan soal. Guru, bagi tiap kelompok belajar hanya dibutuhkan dua satu guru pembimbing dan satu guru pembina, sebab penyampaian pelajaran lewat apa yang disebut "modul". Sementara gedung memang tak diperlukan secara khusus, karena tiap kelas atau tiap kelompok belajar tidak harus satu lokasi, asal masih dalam radius 10 km dari sekolah induknya. Dan boleh di mana saja Balai Desa atau ruang sekolah yang ada. Administrasi diatur dari sekolah induk, ialah SMP Negeri setempat yang ditunjuk, yang kepala sekolahnya sekaligus memimpin SMP-T-nya. Dari peninjauan ke tiga pusat kegiaan belajar SMP-T Plumbon, rupanya hambatan pertama yang langsung bisa diketahui adalah kesulitan menggunakan itu "modul." Kesulitan itu terletak pada banyaknya istilah yang tak dipahami anak-anak. Misalnya saja kata-kata pola, struktur, elemen. Jelas bimbingan dari guru pembimbing sangat menentukan. Sebab guru pembimbing itulah yang bisa ditemui sehari-hari, sementara guru pembina (diambilkan dari guru SMP induk) tak setiap hari bisa ditemui, meski paling tidak seminggu sekali ada kesempatan tatap muka dengan dia. Zaenal, guru SD Plumbon III yang ditunjuk sebagai guru pembimhing salah satu kelompok belajar SMP-T Plumbon, nampaknya optimis: "Anak-anak banyak bertanya, dan rupanya mereka mulai senang belajar dengan modul." Tapi ada seorang guru pembimbing, yang mengakui kesulitan bahasa dalam petunjuk modul. Bahkan menurut pengakuannya sendiri dia pernah kebingungan ketika seorang siswa SMP-T yang diasuhnya menanyakan arti huruf kapital. "Untung, setelah saya hubung-hubungkan kalimatnya, istilah itu rupanya berarti huruf besar." Moegiadi, Sekretaris BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) -- instansi yang menyusun modul ini -- tak memberikan komentar ketika ditanya soal bahasa modul yang terlalu berbau kota itu. Ia hanya mengharap guru pembimbing bisa mengatasinya. "Memang akan repot kalau guru pembimbingnya juga tak paham," katanya. Was-was Betapa pun, SMP-T adalah jalan terbaik yang ada selama ini nampaknya di desa, banyak anak-anak putus sekolah karena si anak harus membantu orangtuanya bekerja. Dengan SMP-T, mereka tertolong: waktu belajar bagi SMP-T boleh ditentukan sendiri, sesuai dengan kebutuhan. Untuk sementara ini semua kelompok belajar SMP-T Plumbon misalnya ditentukan belajar dari jam 14.30 sampai 17.00. "Dan hari Sabtu mereka diliburkan, tapi Minggu masuk di SMP Negeri Plumbon, untuk tatap muka dengan guru pembina," kata Dana Supena, kepala sekolah SMP Negeri dan SMP-T Plumbon. Kebijaksanaan masuk hari Minggu untuk tatap muka dengan guru pembina, ini karena SMP-N Plumbon sang induk, kecuali pada hari Minggu, semua lokalnya terpakai dari pagi sampai sore. Di SMP-T Adiwerna Tegal, untuk sementara semua kelompok belajar (ada 14) dengan jumlah murid 170 masih harus bersekolah di sekolah induknya SMP Negeri Adiwerna, dari jam 14.00 sampai 17.00. Tapi agaknya penentuan waktu belajar tak begitu mengalami kesulitan, kalau melihat sebagian besar mereka yang duduk di SMP-T ternyata pernah juga mendaftar ke SMP biasa. Artinya mereka sudah siap untuk ditentukan jam sekolahnya. Masalahnya yang tak kurang pentingnya, ialah bagaimana menjadikan siswa-siswa SMP-T punya disiplin diri. Dengan jam sekolah yang sehari 4 jam (SMP biasa antara 5-6 jam), diharapkan di luar kelompok belajar mereka mau belajar sendiri. "Itu bisa diatasi dengan meminta orangtua untuk juga mengawasi anak-anaknya," kata Susilo Wardoyo, kepala sekolah SMP-N dan SMP-T Adiwerna. Tapi bagaimana caranya? "Ketika saya mengumpulkan para orangtua murid yang anaknya tak diterima di SMP Negeri ini untuk memberi penjelasan tentang apa SMP Terbuka, sudah saya singgung peranan orangtua atau masyarakat. Mudah-mudahan itu cukup," kata Susilo -- agak berhati-hati. Menteri P & K sendiri juga hati-hati: "Dengan dibagikannya modul dan brosur kepada anak-anak tidak otomatis akan timbul kegairahan membaca. Mereka masih sangat memerlukan bimbingan dan pengawasan." Bimbingan dan pengawasan dari orang tua tentu tak bisa diharapkan benar. Sebagian besar siswa adalah anak buruh tani dan pekerja kecil, misalnya tukang kayu. Tapi harapan memang tetap ada. "Teoritis, seorang siswa SMP biasa yang berhasil, dibanding dengan siswa SMP-T yang berhasil, yang terakhir tentu akan lebih mempunyai kesadaran belajar," kata Jusufhadi Miarso, Ketua Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan yang mengelola semua SMP-T itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus