MUSBA dilarang orangtuanya mclanjltkan ke SMP. Orangtua itu
adalah buruh tani di Kecamatan Plumbon, Cirebon. "Tak ada
biaya", demikian alasan si bapak. Ketiga kakaknya juga tak
melanjutkan sekolah. Begitu lulus SD mereka langsung bekerja
sebagai buruh di pasar.
Tapi kini Musba merupakan salah seorang dari 800 lebih murid
pertama SMP "Terbuka." Orang tuanya tak berkeberatan kali ini,
karena "di SMP Terbuka buku-buku tak usah dibeli."
Apa itu SMP "Terbuka"? Selasa pekan lalu, Menteri P & K Daoed
Joesoef meresmikan SMP "T" itu di Kecamatan Adiwerna, Kabupaten
Tegal, sekaligus secara simbolis meresmikan sekolah yang sejenis
di keempat kecamatan lain di Indonesia di Plumbon, Cirebon, di
Kalisat, Jember, di Terara, Lombok Timur dan Kalianda, Lampung
Selatan. Dan Daoed Joesoef menyatakan, bahwa SMP Terbuka "bukan
sekali-kali sekolah 'kelas dua', atau sekolah yang mutunya
kurang dibanding dengan SMP biasa."
Kelas dua atau bukan, SMP-T ini dilahirkan dari kehendak
memecahkan ledakan penduduk sebagaimana yang terlihat pada
besarnya jumlah lulusan SD yang tak tetampung di SMP biasa.
Idenya lahir di Yogyakarta tahun 1977 dan kemudian di lima
kecamatan itu dikembangkanlah proyek-proyek perintis. Tujuannya
bagaimana meratakan keempatan pendidikan dengan ongkos murah.
Sudah diketahui bahwa pemerintah belum mampu membuka SMP biasa
guna menampung semua lulusan SD. Kecuali harus mengadakan
guru-guru, gedung sekolah pun harus didirikan. SMP-T mencoba
memecahkan soal. Guru, bagi tiap kelompok belajar hanya
dibutuhkan dua satu guru pembimbing dan satu guru pembina, sebab
penyampaian pelajaran lewat apa yang disebut "modul". Sementara
gedung memang tak diperlukan secara khusus, karena tiap kelas
atau tiap kelompok belajar tidak harus satu lokasi, asal masih
dalam radius 10 km dari sekolah induknya. Dan boleh di mana saja
Balai Desa atau ruang sekolah yang ada. Administrasi diatur dari
sekolah induk, ialah SMP Negeri setempat yang ditunjuk, yang
kepala sekolahnya sekaligus memimpin SMP-T-nya.
Dari peninjauan ke tiga pusat kegiaan belajar SMP-T Plumbon,
rupanya hambatan pertama yang langsung bisa diketahui adalah
kesulitan menggunakan itu "modul." Kesulitan itu terletak pada
banyaknya istilah yang tak dipahami anak-anak. Misalnya saja
kata-kata pola, struktur, elemen.
Jelas bimbingan dari guru pembimbing sangat menentukan. Sebab
guru pembimbing itulah yang bisa ditemui sehari-hari, sementara
guru pembina (diambilkan dari guru SMP induk) tak setiap hari
bisa ditemui, meski paling tidak seminggu sekali ada kesempatan
tatap muka dengan dia.
Zaenal, guru SD Plumbon III yang ditunjuk sebagai guru
pembimhing salah satu kelompok belajar SMP-T Plumbon, nampaknya
optimis: "Anak-anak banyak bertanya, dan rupanya mereka mulai
senang belajar dengan modul."
Tapi ada seorang guru pembimbing, yang mengakui kesulitan bahasa
dalam petunjuk modul. Bahkan menurut pengakuannya sendiri dia
pernah kebingungan ketika seorang siswa SMP-T yang diasuhnya
menanyakan arti huruf kapital. "Untung, setelah saya
hubung-hubungkan kalimatnya, istilah itu rupanya berarti huruf
besar."
Moegiadi, Sekretaris BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan) -- instansi yang menyusun modul ini
-- tak memberikan komentar ketika ditanya soal bahasa modul
yang terlalu berbau kota itu. Ia hanya mengharap guru
pembimbing bisa mengatasinya. "Memang akan repot kalau guru
pembimbingnya juga tak paham," katanya.
Was-was
Betapa pun, SMP-T adalah jalan terbaik yang ada selama ini
nampaknya di desa, banyak anak-anak putus sekolah karena si anak
harus membantu orangtuanya bekerja. Dengan SMP-T, mereka
tertolong: waktu belajar bagi SMP-T boleh ditentukan sendiri,
sesuai dengan kebutuhan.
Untuk sementara ini semua kelompok belajar SMP-T Plumbon
misalnya ditentukan belajar dari jam 14.30 sampai 17.00. "Dan
hari Sabtu mereka diliburkan, tapi Minggu masuk di SMP Negeri
Plumbon, untuk tatap muka dengan guru pembina," kata Dana
Supena, kepala sekolah SMP Negeri dan SMP-T Plumbon.
Kebijaksanaan masuk hari Minggu untuk tatap muka dengan guru
pembina, ini karena SMP-N Plumbon sang induk, kecuali pada hari
Minggu, semua lokalnya terpakai dari pagi sampai sore.
Di SMP-T Adiwerna Tegal, untuk sementara semua kelompok belajar
(ada 14) dengan jumlah murid 170 masih harus bersekolah di
sekolah induknya SMP Negeri Adiwerna, dari jam 14.00 sampai
17.00.
Tapi agaknya penentuan waktu belajar tak begitu mengalami
kesulitan, kalau melihat sebagian besar mereka yang duduk di
SMP-T ternyata pernah juga mendaftar ke SMP biasa. Artinya
mereka sudah siap untuk ditentukan jam sekolahnya.
Masalahnya yang tak kurang pentingnya, ialah bagaimana
menjadikan siswa-siswa SMP-T punya disiplin diri. Dengan jam
sekolah yang sehari 4 jam (SMP biasa antara 5-6 jam), diharapkan
di luar kelompok belajar mereka mau belajar sendiri.
"Itu bisa diatasi dengan meminta orangtua untuk juga mengawasi
anak-anaknya," kata Susilo Wardoyo, kepala sekolah SMP-N dan
SMP-T Adiwerna. Tapi bagaimana caranya? "Ketika saya
mengumpulkan para orangtua murid yang anaknya tak diterima di
SMP Negeri ini untuk memberi penjelasan tentang apa SMP Terbuka,
sudah saya singgung peranan orangtua atau masyarakat.
Mudah-mudahan itu cukup," kata Susilo -- agak berhati-hati.
Menteri P & K sendiri juga hati-hati: "Dengan dibagikannya modul
dan brosur kepada anak-anak tidak otomatis akan timbul
kegairahan membaca. Mereka masih sangat memerlukan bimbingan
dan pengawasan."
Bimbingan dan pengawasan dari orang tua tentu tak bisa
diharapkan benar. Sebagian besar siswa adalah anak buruh tani
dan pekerja kecil, misalnya tukang kayu.
Tapi harapan memang tetap ada. "Teoritis, seorang siswa SMP
biasa yang berhasil, dibanding dengan siswa SMP-T yang berhasil,
yang terakhir tentu akan lebih mempunyai kesadaran belajar,"
kata Jusufhadi Miarso, Ketua Pusat Teknologi Komunikasi
Pendidikan dan Kebudayaan yang mengelola semua SMP-T itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini