JADI pemain catur di sini sakit. Dapur bisa tak berasap," kata
Ardiansyah selepas mengikuti Turnamen Catur Grandmaster (TCG)
1982 di Denpasar, dua pekan lalu.
Pemain top domestik Master Internasional (MI) itu membandingkan
kehidupan atlet Indonesia dengan pemain catur jiran. Grandmaster
(GM) Eugene Torre dari Filipina, menurut Ardiansyah tiap bulan
mendapat tunjangan sebesar US$ 1.000. Di samping itu diberi
rumah dan kendaraan -- sedan Toyota Corolla. "Di sini cuma janji
melulu," ujarnya.
Menjelang PON X (1981), Ardiansyah dijanjikan KONI Jakarta akan
diusahakan mendapat rumah Perumnas sebagai imbalan atas
prestasinya membela panji daerah selama ini. Tapi usai PON X, ia
tetap saja tinggal di rumah kontrakan. Untuk membiayai
keluarganya, ia beternak ayam di Desa Ngesong, Surabaya, diurus
istrinya. Mereka sepakat akan berkumpul lagi di Jakarta bila
sudah punya rumah sendiri.
Ardiansyah, 31 tahun, semula mau diorbitkan Persatuan Catur
Indonesia (Percasi) untuk meraih titel GM dari TCG 1982. Tapi
gagal. Ia cuma mengumpulkan nilai 14-kurang 3,5 angka dari
syarat yang dibutuhkan. Alasan Ardiansyah: tak bisa
berkonsentrasi penuh selama kejuaraan. "Masak uang saku cuma
dikasih Rp. 10.000," katanya. Dia menduduki urutan ke-14 di
antara 26 peserta TCG, 1982.
TCG 1982, menurut Ardiansyah, merupakan pertandingan
terakhirnya. Kalau Percasi sudah memperhatikan nasib atletnya,
baru saya kembali ke dunia catur," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini