Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIM Adhi Limas adalah salah seorang tokoh teater modern Indonesia. Bersama rekan-rekannya, ia mendirikan Studiklub Teater Bandung (STB) pada 1958. Jim rajin menerjemahkan atau menyadur naskah-naskah drama Inggris, Prancis, Belanda, dan Jerman untuk dipentaskan STB. Saduran Jim sering dikontekskan dengan alam tradisi Indonesia.
Ketika berusia 30 tahun, pada 1967, Jim mendapatkan beasiswa teater ke Prancis. Ia kemudian menetap di sana dan menjalani karier sebagai aktor. Ia akhirnya menjadi warga negara Prancis. Setelah 50 tahun "menghilang", Jim, yang sudah berusia 80 tahun, akhirnya pada awal Desember lalu muncul di Bandung. Sebagian besar teman seangkatannya telah wafat atau sakit-sakitan. Hingga akhir Januari mendatang, ia akan berada di Bandung dan melakukan perjalanan untuk mengadakan sejumlah pertemuan dengan kalangan teater di Jakarta, Solo, serta Yogyakarta. Berikut ini kisah pengalaman teater "si anak hilang" itu.
JIM Adhi Limas akhirnya pulang ke Bandung. Pada 9 Desember lalu, aktor 80 tahun pendiri Studiklub Teater Bandung (STB) itu kembali ke Indonesia setelah 50 tahun menetap di Prancis dan tak sekali pun pernah pulang. Beberapa hari menginjak kediaman orang tuanya dulu di Jalan Kartini Nomor 19, Bandung, Jim masih kerap sejenak berdiri mematung memandangi suasana sekitar. Mungkin Jim termangu menyaksikan suasana Jalan Kartini yang dikenalnya sejak zaman Jepang demikian berubah.
Teman-teman lamanya di STB satu per satu sudah meninggal. Di Bandung, ia masih bisa bertemu dengan Saini K.M. dan Mohamad Sunjaya. Jim berangkat ke Paris pada 1967 untuk mengikuti program beasiswa teater di Prancis. Seharusnya program itu hanya sembilan bulan. Tapi, selepas program tersebut, Jim mendapatkan kesempatan-kesempatan untuk tetap melakukan studi dan bekerja sebagai aktor.
Pada 1992, Jim memutuskan menjadi warga negara Prancis. Alasannya supaya lebih mudah ketika harus bermain teater di luar Prancis. Sebab, waktu itu, sulit untuk keluar-masuk dari satu negara ke negara lain di Eropa jika menggunakan paspor Indonesia. Pernah Jim memperoleh pekerjaan sebagai aktor di Portugal. Tapi ia dilarang masuk ke Portugal lantaran ketika itu tengah terjadi konflik di Timor Timur-kini Timor Leste. "Itu sebetulnya supaya praktis. Pakai paspor Eropa lebih gampang," ujar Jim.
Sebelum ke Prancis, Jim telah banyak menerjemahkan atau menyadur naskah drama Barat untuk dipentaskan. Pada 1958, bersama mahasiswa Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, ia memanggungkan lakon Jayaprana karya penulis Belanda, Jef Last, yang bercerita tentang seorang pahlawan Bali. Jim menjadi sutradara sekaligus memerankan Raja Anak Agung Gde Agung. Pementasan itulah awal terbentuknya Studiklub Teater Bandung, kelompok teater modern tertua di Indonesia yang masih bertahan sampai kini.
SAYA lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 23 Maret 1937. Saya anak pertama dari empat bersaudara keturunan Tionghoa generasi kelima. Awalnya ayah saya memberi nama Jim Lim. Jim dipilih karena ibu saya gemar menonton film-film Amerika Serikat. Sedangkan Lim merupakan nama Cina saya. Tapi, setelah peristiwa 1965, Ayah mengganti nama saya menjadi Jim Adhi Limas.
Ayah saya, Lim Kian Kie (Agustinus Limas), lahir di Kudus, Jawa Tengah. Ibu saya, Thung Kiat Nio (Teklarati Tirtasikra), lahir di Bogor, Jawa Barat. Ayah bekerja di perusahaan asuransi Lloyd Indonesia. Ia kepala cabang di Bandung. Sedangkan Ibu mengurus rumah sambil kadang-kadang menjalani hobi menjahit.
Ayah saya menggemari wayang orang. Setiap Sabtu malam, ia sering mengajak saya menonton pertunjukan wayang orang di daerah Pasar Kosambi, Bandung. Dari situ, saya menyukai wayang wong karena merasa seperti melihat dunia lain dan rasanya ingin berada di sana. Saya mengenal teater ketika bersekolah di Hoogere Burger School (HBS), sekolah menengah atas zaman Belanda di Bandung. Saya ikut bermain dalam beberapa pementasan kecil sekolah, misalnya pementasan beberapa bagian dari naskah Julius Caesar karya William Shakespeare. Di sekolah itu pula saya belajar bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.
Saya masuk di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1958. Saya memilih jurusan itu karena memang senang menggambar. Bakat ini menurun dari ibu saya. Di rumah, ia sering menggambar wajah wanita menggunakan pensil. Selain itu, saya senang melihat Ibu ketika menjahit pakaian. Saya senang sekali melihat pakaian. Bahkan, kalau menonton film, saya selalu mencatat model pakaian yang dipakai para pemerannya. Saya juga sering memberikan masukan model pakaian kepada adik perempuan saya sebelum Ibu menjahitkannya.
Pada 30 Oktober 1958, setelah mementaskan lakon Jayaprana, saya bersama sejumlah teman, antara lain Tin Srikartini, Suyatna Anirun, Gigo, dan Soeharmono Tjitrosoewarno, mendirikan Studiklub Teater Bandung (STB). Karena teater menyita banyak waktu, saya sampai memutuskan keluar dari ITB pada 1960. Ayah sempat kecewa terhadap keputusan saya itu. Ia sangsi saya bisa mendapatkan uang dari berteater. Tapi belakangan ia melunak setelah saya mendapatkan beasiswa teater ke Prancis.
Antara 1959 dan 1967, saya membuat sejumlah pementasan. Saya menjadi aktor, sutradara, dan penerjemah. Beberapa lakon Barat yang naskahnya saya terjemahkan dan saya sutradarai atau saya mainkan adalah Teh dan Simpati (Tea and Sympathy) karya Robert Anderson, Pinangan karya Anton Chekov, Di Pantai Baile (On Baile’s Strand) karya W.B. Yeats, Androcles and the Lion karya G.B. Shaw, Ayub karya Archibald Macleish, serta Jerat (Rope) karya Patrick Hamilton.
Selain itu, saya pernah mementaskan naskah-naskah drama penulis dalam negeri, yakni Masyitoh karya Ajip Rosidi, Bung Besar karya M. Yusa Biran, Penggali Intan karya Kirjomulyo, Sangkuriang karya Utuy T. Sontani, serta Geusan Ulun karya Saini Kosim. Khusus untuk naskah drama Prancis, saya pernah mementaskan Caligula karya Albert Camus, Badak-Badak (Le Rhinoceros) karya Eugene Ionesco, Biduanita Botak (La Cantatrice Chauve) karya Eugene Ionesco, serta Perang Troya Tidak Akan Meletus (La guerre de Troie n’aura pas lieu) karya Jean Giraudoux.
Naskah-naskah Ionesco dan Jean Giraudoux itu saya terjemahkan sendiri. Dalam menerjemahkan naskah Ionesco, saya setia terhadap naskah asli, tapi saya cari ekuivalen kalimatnya dengan situasi di sini. Saya cari padanan absurdismenya dengan situasi yang terjadi di sini. Ada, misalnya, teriakan-teriakan yang tidak masuk akal dalam naskah yang saya ganti dengan teriakan "manikebu, manikebu". Saya juga menyukai karya-karya Albert Camus. Saya ingin memainkan tokoh Caligula setelah menonton film The Rope tentang orang-orang Kristen di zaman Romawi. Saat pementasan sendiri, saya menampilkan serdadu Romawi mengenakan sepatu bot. Saya mau menunjukkan bahwa cerita Caligula itu juga kisah modern. Itu terjadi bila militer mengambil kekuasaan, bukan hanya di Indonesia, melainkan di mana-mana.
Saya pernah mengadaptasi naskah Hamlet karya Shakespeare menjadi Jaka Tumbal. Sudah lama saya tertarik mementaskan Hamlet. Pementasan itu pun saya persiapkan dua tahun. Saya menjadi sutradara dan memerankan Jaka Tumbal dalam pementasan tersebut. Setting-nya saya ubah menjadi lingkungan keraton Jawa pada abad ke-19. Semua nama saya ganti, termasuk Hamlet, yang menjadi Jaka Tumbal. Ceritanya pun saya sesuaikan sehingga menyerupai situasi politik dalam negeri waktu itu. Tapi di situ Hamlet diwujudkan sebagai pangeran yang menjadi tumbal kekuasaan.
Pementasan tersebut digelar beberapa kali di gedung Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung pada Agustus 1965, satu bulan sebelum peristiwa September 1965. Saat itu situasi politik mulai gawat. Semua yang dari Barat, terutama oleh Lekra, dianggap tidak sesuai dengan Indonesia. Saya sendiri pernah dikritik dan dimaki-maki kalangan kiri. Itu terjadi saat saya menulis resensi sebuah film Soviet dan Cina di koran Pikiran Rakyat. Antara 1961 dan 1967, saya diminta Sakti Alamsyah, pemimpin redaksi koran, menulis satu-dua kritik film dan teater setiap pekan dengan bayaran per bulan. Saat saya menulis resensi film Soviet, saya diserang karena dianggap menulis resensi film yang berpandangan revisionis. Saat saya dalam sebuah ulasan memuji sebuah film Cina tapi menganggapnya masih sangat berbau propaganda, saya dimaki-maki.
Nah, para anggota STB ngeri kalau memainkan Hamlet nanti STB akan diserang. Ini membahayakan kelompok. Saat saya sudah mulai menganalisis naskah, rupanya sebagian anggota STB meminta saya tidak melanjutkannya. Saya bilang saya akan melanjutkan bila mereka tak berani. Shakespeare juga dimainkan di Cina dan Soviet, mengapa di sini tidak. Akhirnya saya mengganti aktor yang tidak berani. Saya terpaksa memakai nama teater lain karena STB tidak setuju, yakni Teater Perintis. Pada pementasan terakhir, kami diundang main di Jakarta oleh Angkatan Bersenjata. Dan saya melihat Jenderal A.H. Nasution beserta istri menonton. Malah istri Nasution yang mengasih karangan bunga pada akhir pementasan. Ada juga yang bilang Pierre Tendean datang dan memuji pertunjukan. Ini membuat saya kemudian agak merasa "aneh" sendiri karena kita tahu Nasution dan Tendean kemudian (sebagaimana Jaka Tumbal) menjadi korban.
SUATU waktu saya bertemu dengan Pierre Labrousse, seorang Prancis yang sering menonton pementasan teater saya. Ia menyarankan saya supaya mencari beasiswa teater di negaranya. Saya kemudian memilih beasiswa di Universite Internationale du Theatre de Paris, yang disponsori Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Beasiswa itu sebenarnya merupakan workshop teater selama sembilan bulan. Pesertanya mereka dari berbagai negara yang sudah punya pengalaman dalam teater.
Awalnya saya sempat ragu menerima beasiswa tersebut. Sebab, saat itu saya bersama STB akan mementaskan Perang Troya Tidak Akan Meletus (La guerre de Troie n’aura pas lieu). Saya lalu meminta izin untuk datang terlambat ke Prancis. Sebab, saya mesti mementaskan lakon itu terlebih dulu di Indonesia. Pada akhir 1967, saya berangkat ke Prancis.
Saya sampai di Paris pada November 1967. Lima bulan di Paris, saya kaget sekali karena Paris pada Mei 1968 dilanda demonstrasi besar-besaran para mahasiswa dan buruh. Saya sampai bengong dan syok. Saat itu saya diberi penginapan sebuah hotel kecil yang lokasinya persis di kawasan yang sedang dilanda demonstrasi besar-besaran. Ketika saya bangun pagi, ada pohon ditebang, mobil dibakar, dan batu-batu di jalan ditumpuk dijadikan barikade. Malam-malam ketika tidur, kadang ada gas air mata yang masuk ke kamar.
Untuk situasi perteateran di Prancis sendiri, saya merasa tidak terlalu asing dan ketinggalan. Malah, saat menyaksikan berbagai pertunjukan teater, saya merasa ada hal-hal yang telah kami lakukan di Bandung tanpa kami sebelumnya melihat kelompok Prancis mana pun. Misalnya saat saya mementaskan Perang Troya. Semua kostum para aktor tidak menggunakan kostum ala Romawi atau Yunani, tapi orang modern. Ada adegan pintu gerbang yang bila dibuka ada tulisan "damai", sedangkan saat ditutup terdapat tulisan "perang". Juga tembok dan pintu yang dipenuhi tulisan grafiti yang saling menghina. Pada waktu itu inspirasi saya, saya melihat sebuah foto tentang grafiti di New York, Amerika Serikat, di majalah Life.
Selama program beasiswa, saya mengikuti berbagai diskusi teater, termasuk mendengarkan ceramah dari para sutradara dan aktor terkenal. Setelah belajar sembilan bulan, masa studi saya diperpanjang hingga tiga tahun lantaran seorang perempuan yang menjadi penanggung jawab beasiswa itu senang sekali kepada saya. Program beasiswa tersebut selesai saya ikuti pada 1970. Sebagai tugas akhir, saya mementaskan sebuah lakon mengenai istri Marquis de Sade, sastrawan liar Prancis, La marquise de Sade (Sado Koshaku Fujin/Nyonya Sade) karya penulis Jepang, Yukio Mishima. Lakon itu bercerita mengenai istri Sade ketika suaminya berada di penjara Bastille. Naskah itu mengolah tema agama melawan erotisisme.
Lulus pada 1970, saya mendapatkan tawaran mengikuti workshop teater di Venesia, Italia. Setelah itu, saya banyak mendapat tawaran bermain teater dari Direktur Universite Internationale du Theatre de Paris, Andre-Louis Perinetti, yang kemudian menjadi Ketua International Theater Institute dan Direktur Teater Cite Internationale di selatan Prancis. Hampir 10 tahun Perinetti membantu saya bermain teater. Salah satunya pementasan lakon Richard III karya William Shakespeare. Lepas dari Perinetti, saya bermain bersama beberapa kelompok teater dan berkeliling ke sejumlah kota. Salah satunya kelompok Chantier Theatre.
Sejak itu saya terus aktif berakting di teater dan film. Lakon teater yang pernah saya mainkan di antaranya Slimane ou L’homme-caillou karya Jean Pelegri dan disutradarai Jean-Luc Combaluzier. Di situ saya tampil bersama teater kota Aubervilliers dan Teater Kaleidoscope. Dalam lakon itu, saya berperan sebagai Slimane. Selain itu, saya pernah bermain dalam lakon Les Bas-fonds (Sampah Masyarakat) karya Maxim Gorky bersama kelompok Theatre de la Ville. Untuk film, saya sudah bermain dalam lebih dari 50 judul film dan serial televisi sejak 1970-an.
Saya pernah mencoba bergabung dengan Peter Brook, tapi tak diterima. Itu saat pertama-tama Peter Brook pindah dari Inggris ke Prancis. Jauh sebelum dia membikin pementasan Mahabharata. Waktu itu banyak aktor yang mendaftar. Lalu Peter Brook menyuruh dua orang-dua orang untuk berimprovisasi. Saya berhadapan dengan seorang aktor terkenal yang orangnya agak aneh, dan orang itu membuat saya gelisah. Saya seperti lumpuh karena dia begitu agresif. Peter Brook bilang dia tidak melihat apa-apa dari saya. Saya jelaskan saya bisa improvisasi tapi dengan orang yang saya kenal dulu.
Saya juga banyak sekali bermain dengan kelompok teater kecil. Saya berkali-kali berpindah kota dan ikut tur-tur kecil. Juga saya sering ikut pentas pembacaan teks atau dramatic reading. Banyak kelompok teater sekarang mengadakan program pembacaan naskah-naskah baru di depan penonton, semalam atau dua malam. Bagi saya itu menarik. Sederhana.
Sekarang saya sudah pensiun. Uang pensiun saya sebagai aktor kecil, 850 euro. Ya, mungkin itu cukup untuk hidup di sini, tapi di sana tidak. Jadi saya harus tetap bekerja. Maka sampai kini saya masih berhubungan dengan agen yang mencarikan pekerjaan bermain teater atau film. Tiga hari bermain film berarti menyambung hidup saya selama tiga-empat bulan. Tapi sekarang kompetisi untuk teater sangat tinggi. Makin banyak mereka yang ingin bekerja di bidang teater dan film, sementara pekerjaan yang ada tidak sebanyak permintaan.
Saya ingin sekali mementaskan kembali Jayaprana. STB lahir dari Jayaprana. Di Paris, Ketua Asosiasi Prancis-Indonesia Pasar Malam Johanna Lederer pernah memberi saya naskah asli Jayaprana berbahasa Belanda yang dibelinya di sebuah toko kecil di Belanda. Saya baca kembali dan saya bandingkan dengan naskah Jayaprana versi Indonesia yang diterjemahkan Rosihan Anwar. Ternyata ada satu adegan yang menurut saya tidak diterjemahkan Rosihan, yaitu saat Jayaprana dibunuh di hutan dan pelayannya menangis seraya memanggil binatang-binatang di hutan. Para satwa itu turut berdukacita. Adegan itu tragis sekali. Saya tidak tahu mengapa Rosihan Anwar menghapus adegan itu. Kalau Jayaprana saya pentaskan lagi di Indonesia, adegan itu harus dikembalikan.
Saya sudah tua. Kedatangan ke Indonesia kali ini barangkali juga menjadi ujian untuk mengukur kesanggupan saya. Jayaprana seperti memanggil kembali. Apakah saya sanggup?
Seno Joko Suyono, Prihandoko, Aminuddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo