Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Jim Adhi Limas: Aktor-aktor Asia Selalu Mendapat Peran Klise

SEJAK 1970-an, saya sudah berperan di lebih dari 50 judul film dan serial televisi.

7 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jim Adhi Limas: Aktor-aktor Asia Selalu Mendapat Peran Klise

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK 1970-an, saya sudah berperan di lebih dari 50 judul film dan serial televisi. Kebanyakan menjadi pemeran pendukung. Salah satunya dalam film La Femme de chambre du Titanic (Pelayan dalam Kapal Titanic) karya sutradara Spanyol, Bigas Lunas, bersama Aitana Sanchez-Gijon dan Olivier Martinez. Film itu bercerita tentang seorang perempuan yang tidak jadi ikut dalam perjalanan kapal Titanic. Di situ, saya berperan sebagai tukang foto keliling yang sempat memotret perempuan tersebut. Peran saya kecil, tapi menurut saya penting dan menentukan. Sebab, dalam film tersebut, foto hasil jepretan tukang potret itulah yang akhirnya terus dibawa oleh sang perempuan.

Selama bermain film dan serial televisi di Prancis, saya mencari peluang melalui agen. Di sana ada agen yang spesialisasinya mencarikan peran bagi aktor-aktor Asia. Namun saya sering jengkel karena peran-peran yang ditawarkan untuk aktor Asia selalu klise atau stereotipe, seperti anggota mafia, pelayan restoran, dan sejenisnya. Pernah saya kesal karena suatu kali berperan sebagai seorang keturunan Asia pemilik toko di daerah Paris 9, daerah yang mayoritas warganya keturunan Yahudi. Saya diharuskan ngomong bahasa Prancis yang salah-salah dan kaku-kaku, seperti orang baru belajar.

Saya bertanya mengapa orang Asia ini dianggap tak bisa berbahasa Prancis, bukankah dia sudah lama menjadi pemilik toko. Saya tak setuju karena dalam kenyataannya sudah amat banyak orang Asia di Paris yang berbicara bahasa Prancis dengan sangat lancar, fasih, dan tanpa kesulitan. Sang sutradara saat itu menjawab hal tersebut untuk lucu-lucuan saja. Saya menolak. Akhirnya dia membebaskan saya berbicara bahasa Prancis dengan benar.

Saya juga pernah bermain dalam serial televisi yang diangkat dari seri buku kriminal, pembunuhan-pembunuhan terkenal terbitan Gallimard yang laris, yaitu Serie Noire-seri yang populer sekali, yang kisahnya mirip-mirip dengan cerita karya Agatha Christie. Saya pernah dua kali bermain sebagai pemeran utama, yaitu menjadi anggota mafia dan sebagai komisaris polisi yang menyelidiki pembunuhan janda-janda tua. Untuk itu, ia harus menyamar sebagai janda tua. Saya dalam akting memakai pakaian janda Vietnam tua dengan rambut putih.

Di Prancis, memang banyak aktor asal Asia. Ada aktor asal Korea, Jepang, Laos, dan Kamboja. Sama halnya seperti saya, aktor-aktor itu memakai jasa agen. Jika ada rumah produksi yang membutuhkan aktor Asia, agen-agen ini pun menghubungi mereka. Untuk satu lowongan peran casting, agen ini bisa mengirim 10-15 aktor Asia. Itulah yang mengesalkan bagi saya. Tapi itu taktik para agen supaya sebanyak mungkin aktor yang dia tangani mendapatkan pekerjaan. Namun, bagi kami, langkah itu memunculkan persaingan.

Dulu, sistem kerja sama dilakukan berdasarkan bagi hasil. Misalnya, saya mendapatkan kontrak film dengan nilai 1.000 euro, maka si agen menerima 10 persen di antaranya. Tapi kini sistemnya berbeda. Jika saya mendapatkan 1.000 euro, si agen meminta 10 persennya di luar nilai itu kepada rumah produksi. Jadi totalnya 1.100 euro.

Tapi, bagaimanapun, memiliki agen sangat penting untuk menghindari sesuatu yang merugikan aktor. Misalnya, dalam kontrak kerja sama dengan rumah produksi. Agen saya selalu teliti melihat ada-tidaknya kesalahan dalam kontrak kerja sama itu, terutama dari segi hukum. Jika kontrak itu tidak benar, ia akan mencoret dan meminta rumah produksi memperbaikinya. Ia juga tahu jika rumah produksi berbohong soal uang. Misalnya mengaku punya uang sedikit, padahal banyak. Kalau terjadi seperti itu, agen saya akan bilang saya tidak akan main kalau mereka tidak sanggup membayar. Di sisi lain, agen juga mengerti ketika ada peran yang cukup menarik buat saya, tapi rumah produksi tak punya banyak uang untuk membayar. Agen lalu menjelaskan kepada saya. Jadi lebih aman memakai jasa agen.

Sebelum bekerja sama dengan agen, saya pernah punya pengalaman tertipu soal honor. Waktu itu saya bermain dalam film Diva karya sutradara Jean-Jacques Beineix pada pertengahan 1981. Itu adalah film pertama Beineix. Biayanya kecil dan para pemainnya tidak ada yang terkenal. Setelah menyutradarai film itu, Jean-Jacques Beineix menjadi terkenal sekali. Richard Bohringer, salah seorang pemeran utamanya, juga kemudian terkenal.

(Kisah di film ini diadaptasi dari novel Diva karya Daniel Odier di bawah nama samaran Delacorta. Disebut-sebut sebagai film yang mampu mengembalikan mood realis perfilman Prancis tahun 1970-an. Film ini bercerita tentang seorang soprano opera asal Amerika yang jelita bernama Cynthia Hawkins, yang tak pernah mau keindahan suaranya direkam. Suatu kali, saat dia menyajikan malam resital di Theatre des Bouffes du Nord, seorang anak muda bernama Jules, penggemarnya yang bekerja sebagai tukang pos, diam-diam merekam. Dua orang Taiwan kemudian berusaha mencuri rekaman ini. Kisah tambah seru karena ternyata tanpa disengaja seorang pelacur bernama Nadia menyusupkan sebuah kaset ke tas Jules. Kaset itu berisi kesaksiannya tentang petinggi polisi Jean Saporta yang sesungguhnya berbisnis narkotik dan pelacuran. Nadia dibunuh oleh anak buah Saporta. Dan Jules pun dicari-cari karena kaset itu. Dua orang Taiwan mengintai kaset rekaman sang Diva. Dua penjahat mencari rekaman kaset kesaksian sang pelacur. Semua ada di Jules.).

Nah, saya dalam film itu menjadi salah seorang penjahat Taiwan yang hendak mencuri rekaman suara sang diva. Saat itu honor saya tak banyak. Saya tak memakai agen. Anggota staf produksinya mengatakan kepada saya: terimalah, nanti kalau ada kesempatan lain saya akan bantu kamu, saya akan naikkan kamu.

Saya merasa tertipu karena belakangan saya tahu ternyata para pemain Prancis honornya lebih besar dan namanya juga disebut jelas-jelas di urutan atas. Sedangkan nama saya hanya ditaruh di bagian paling belakang, padahal tingkatan peran saya sama dengan mereka. Nama dalam credit title itu penting karena, apabila film itu disebarluaskan dalam bentuk cakram serba guna digital (DVD) akan mempengaruhi besar-kecilnya royalti. Dan kalau namanya kecil, berarti royaltinya lebih kecil. Royalti itu benar-benar kelas.

Nah, bila memiliki agen, agen itu bisa menegosiasikan penempatan nama kita kepada produser. Nama harus jelas apakah sebelum judul atau setelah judul atau ekstra. Agen berhak meminta hal itu. Ia mesti bernegosiasi bukan hanya soal pembayaran, tapi juga nama. Untuk masalah aktor Asia, Prancis tertinggal dibanding Amerika.

Dunia perfilman Amerika sudah memberi jatah peran yang banyak untuk orang kulit hitam dan Asia. Di Prancis, hal itu sama sekali tak ada. Karena itu, saya lebih senang dengan sistem Amerika. Kalau casting dengan sutradara Amerika, misalnya, karena melihat bahasa Inggris saya lancar, mereka selalu tanya saya belajar bahasa Inggris di mana. Kemudian, kalau cocok, saya akan langsung dinyatakan lolos. Tapi, kalau casting di Prancis, mereka akan meminta saya menunggu dan mereka berjanji akan memberi kabar. Namun, kenyataannya, sering kali saya yang mesti bertanya kepada mereka.

Seno Joko Suyono, Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus