PAKU BUWONO XII: Keraton Meniti Arus Zaman Raja ke-12 Keraton Surakarta Hadiningrat, Sinuhun Amardika, menyatakan sejak berdirinya Republik Indonesia, pihak keraton selalu aktif membantu tegaknya negara kesatuan. Toh sempat dicap membela Belanda, lalu keratonnya dianggap tidak punya pamor lagi. Pada 1985 keraton Solo terbakar, tetapi dua tahun kemudian sudah tegak lagi kembali dengan biaya Rp 4 milyar. Berikut sebagian riwayat hidup raja yang memiliki 6 istri dan 35 anak itu, seperti yang dituturkan kepada wartawan Tempo Kastoyo Ramelan. -- SEBAGAI RAJA yang ke-12 di Keraton Surakarta Hadiningrat, saya memperoleh gelar dari masyarakat Indonesia, Sinuhun Amardika. Gelar itu jelas tak dipunyai oleh ayahanda saya Pakubuwono XI maupun kakek dan moyang saya. Mengapa Sinuhun Amardika, karena saya dinobatkan menjadi Susuhunan Pakoeboewono XII, pada 12 Juli 1945, selapan hari (tiga puluh lima hari) kemudian, pada 17 Agustus 1945, di istana berlangsung Tingalan -Jumenengan Dalem. Hari itu pula, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Saya menyadari adanya perubahan dan kemajuan baik dalam diri saya maupun pada masyarakat dan bangsa saya. Tatkala menunggui ayahanda gerah (sakit), para penasihat istana mengingatkan saya bahwa tugas susuhunan, tugas raja, memberikan pengayoman pada para kawula (rakyat). Saya berharap ayahanda (PB XI) bisa sembuh, hingga saya bisa pula merenungkan lebih menep (mendalam) lagi arti pengayoman itu. Ibunda Kanjeng Ratu Pakuboewono, ibu saya, juga berharap, Ayahanda memerintah Kasunanan dalam tempo yang panjang, seperti Susuhunan Pakoeboewono X (1893-1939), selama 46 tahun. Tapi PB XI wafat pada 2 Juni 1945, jadi hanya memerintah selama enam tahun (1939-1945). Saya sebagai anak permaisuri, anak lelaki yang tertua, menjadi terjaga, dari semua rencana dan harapan. Kala kecil saya bernama B.R.M. (Bandoro Raden Mas) Gusti Suryo Guritno. Pada waktu menjadi pangeran, Kanjeng Gusti Purboyo. Pada 4 Juni 1945, jenazah ayahanda (PB XI) siap diberangkatkan ke makam Imogiri. Para pengusung keranda berhenti di bangsal Sri Manganti. Diumumkanlah saat itu juga, saya menjadi putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Aryo Hamengkunagoro Sudibyo Rojoputro Narendro Mataram. Kemudian, setelah 40 hari, pada 12 Juli 1945, saya duduk di atas dampar kencana, dengan pakaian kebesaran busana raja. Hari itulah saya dinobatkan sebagai raja di Keraton Surakarta Hadiningrat Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakoeboewono Kaping Kalih Welas (PB XII). Para pejabat tinggi tentara Dai Nippon juga hadir, memberi pula nama kehormatan dengan sebutan "Sinuhun Solo Ko II". Dalam suasana penobatan, dihidangkan macam-macam daharan dan tarian. Kala itu saya menyadari bahwa umur saya baru 21 tahun, masih muda (lahir 14 April 1924). Pada usia 17 tahun, saya lebih menggiatkan latihan pencak silat. Tujuannya, keperkasaan dan kekesatriaan. Seorang satria harus tegak membuka dada jika ada musuh yang masuk ke keraton. Siapakah musuh kami? Jelasnya, apakah Keraton Surakarta kalah perang dengan Belanda kemudian dijajah Belanda? Saya renungkan sekarang, Keraton Surakarta adalah penerus Kerajaan Mataram yang pada akhirnya terbagi menjadi empat pemerintahan, Surakarta Hadiningrat, Keraton Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, Pura Mangkunegaran dan Pura Pakualaman. Pada masa Belanda di Indonesia, keraton kami -- juga keraton penerus Mataraman lainnya -- tidak pernah benar-benar dijajah Belanda. Keraton Surakarta tak pernah kalah perang dengan Belanda. Saya punya pegawai di bagian Sasonowilopo (sekretariat keraton) yang bernama K.R.M.T. Wirodiningrat. Dia adalah pegawai yang loyal pada keraton, mendampingi saya sejak muda. Ia menerangkan, "Dikuasainya sebagian besar daerah Surakarta oleh Belanda disebabkan adanya kontrak sewa yang akhirnya menjadi apa yang dikenal dengan istilah politiek contract." "Itulah sebabnya, pihak Belanda berkewajiban membayar uang ganti rugi sesuai dengan berapa banyak penghasilan daerah yang mereka kuasai. Hal ini lazim disebut Civiele Lijst. Jadi bukan pemberian yang cuma-cuma." Pada 1670, tanah milik Pakuboewono II, yang disewa Gubernem Belanda, seluas 138.422 karya, meliputi daerah di Banten, Cianjur, Malang, Brebes, Tegal, Semarang, Pemalang, sampai Banyuwangi. Pemberian ganti rugi itu sampai Belanda pergi, kemudian tatkala Jepang berada di Indonesia, pihak Jepang tetap memberikan ganti rugi pada pihak keraton. Jangan dilupakan, meskipun daerah milik Keraton Surakarta disewa oleh Belanda, daerah tersebut tetap milik keraton. Keraton Surakartalah yang tetap menguasai daerah itu. Nah, sebagai bukti saya bacakan surat Sinuhun Pakoeboewono IX yang ditujukan pada Gubernur Jenderal Willem Baron Sloet van de Belle: "Soesoehoenan Pakoebowono kaping sanga, hingkang hangadaton nagari Surakarta Hadiningrat, hingkang handarbeni tah-talatah hing nusa Jawi sedaya." (Susuhunan Pakoeboewono IX yang berdomisili di Keraton Surakarta Hadiningrat yang memiliki seluruh wilayah di Pulau Jawa). Di istana, waktu kecil, banyak kegiatan yang saya lakukan. Antara lain mempelajari tarian-tarian. Saya menggemari tari Handoko dan Garuda. Belajar mengaji. Guru-gurunya Prodjowiyoto Condrowuyoto dari Mambaul Ulum. Di luar istana sekolah ELS (Europesche Lagere School), selama 7 tahun, tamat tahun 1938. Lalu masuk HBS (Hogere Burger School) di Solo, kemudian pindah ke andung, mencari hawa yang sejuk di kota itu. Pernah juga, saya belajar di UI Jakarta di fakultas ekonomi. Di UI itu, setelah Indonesia merdeka, setelah saya jadi susuhunan. Yang paling mengesankan bagi saya kehidupan remaja. Kala itu, jalanan di Solo masih (lengang). Dengan kereta atau mobil istana, bersama teman-teman saya keliling kota. Itu jalan sore-sore. Kegemaran saya yang lain, duduk di lapangan, konsentrasi merentangkan tali busur, membidikkan anak panah untuk pas pada sasaran. Itu olahraga panahan. Tiga puluh lima hari setelah saya mulai memimpin keraton secara resmi, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Secara jujur saya katakan, dan silakan meneliti bukti-bukti kejadiannya, sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pihak keraton selalu aktif membantu kelangsungan hidup dan tegaknya negara kesatuan kita ini. Pada masa revolusi, saya dan pemuda-pemuda lainnya mengepung Markas Kempetai di Timuran, untuk memaksa Kempetai menyerah. Upaya perjuangan berikutnya, saya dengan anggota KNI (Komite Nasional Indonesia) Surakarta berhasil melucuti Jepang di markas Kempetai di wilayah Kelurahan Kemlayan dan di Kidobutai, Mangkubumen, tanpa terjadi pertumpahan darah. Dua hari setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, tepatnya pada 19 Agustus 1945, saya memperoleh piagam dari Pemerintah. Tentu kami masih menyimpan piagam itu. Bunyinya, "Kami Presiden Repoeblik Indonesia, menetapkan, Ingkang Sinoehoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing Ngalogo, Abdoerahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII ing Surakarta Hadiningrat. Dengan kepertjajaan pada kedoedoekannja, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia. Djakarta, 19 Agoestoes 1945. Presiden Repoeblik Indonesia: Ir. Soekarno. Piagam itu memberikan kepercayaan, tapi sekaligus juga minta pengabdian kami pada negara. Jadi, itulah dasarnya, bahwa kami juga berpartisipasi pada perjuangan negara Indonesia yang baru dilahirkan itu, kala itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini