Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETENIS Priska Madelyn Nugroho menyukai lapangan rumput. Ia langsung jatuh hati ketika pertama kali menjajal lapangan rumput di grand slam Wimbledon Junior, Inggris, tahun lalu. “Lapangan rumput itu favorit saya, tapi di Indonesia enggak ada, ha-ha-ha...,” ujar Priska, 16 tahun, awal Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat bertanding di Wimbledon, ia datang seawal mungkin ke arena latihan agar bisa lebih lama menjajal lapangannya. Di lapangan rumput, kata dia, bola memantul rendah, tapi gerakannya lebih cepat. Ia menilai pola itu sesuai dengan gaya bermainnya. “Memukul bolanya enak banget,” ujar Priska, yang langkahnya di Wimbledon itu terhenti di perempat final.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, Indonesia sangat kekurangan lapangan rumput dan tanah liat. Padahal petenis harus berlatih di lapangan yang sesuai dengan turnamen yang diikuti. Priska kesulitan mencari lapangan yang menggunakan rumput asli. “Paling rumput sintetis, tapi jarang banget yang buat lapangan tenis,” kata petenis yang pada akhir Januari lalu menjuarai ganda putri Australia Terbuka Junior itu—berpasangan dengan petenis Filipina, Alexandra Eala.
Lewat sejumlah kenalan pelatih dan pemain, ia mendapat akses ke lapangan rumput sintetis di atap gedung di Jakarta. Kualitasnya, kata dia, memadai untuk latihan. “Bagus, tapi geregetnya masih jauh dibanding lapangan rumput asli,” ujar petenis peringkat ke-13 Federasi Tenis Internasional itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo