Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
A.E. Priyono dikenal sebagai seorang intelektual muslim pro-demokrasi sekaligus editor andal.
Semasa hidup sebagai aktivis, A.E. Priyono terlibat dalam berbagai diskusi dengan tokoh-tokoh pegiat hak asasi manusia, termasuk Munir.
A.E. Priyono menolak Islamisme politik, termasuk penerapan syariat Islam, Daulah Islamiyah, apalagi jihad kekerasan.
AJAL menjemput Anang Eko Priyono di Jakarta, Ahad, 12 April lalu. Diawali infeksi telinga, diabetes, hingga tak sadarkan diri, A.E.—demikian saya menyapanya—dilarikan ke rumah sakit dua pekan sebelumnya. Ia sempat berstatus pasien dalam pengawasan Covid-19 di Rumah Sakit Hermina, lalu dirawat di Rumah Sakit Mayapada dan Rumah Sakit Polri. Pengujian polymerase chain reaction oleh Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta menunjukkan ia negatif SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia meninggalkan Anna Yuniarti, istrinya, dan lima anak: Alifa Karlina, Nina Fatima Rosania, Ranu Rahman Akhtar, Izat Satwiko, dan Nurul Fathia Maida. “Saya dan anak-anak bangga. Orangnya jujur dan rendah hati,” kata Anna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nina kerap mengabarkan kesehatan A.E., yang paru-parunya naik-turun akibat pneumonia. Beberapa pekan lalu, ucap dia, sang abah mengeluh sakit telinga, tapi menampik ditengok. “Tidak usah ke sini. Satu kesulitan akan mendatangkan kemudahan. Inna ma'al ‘usri yusroo.”
Sebagai peminat studi demokrasi dan Islam, saya melihat A.E. bukan editor biasa. Ia mewakili intelektual muslim pro-demokrasi. Ia membawa gagasan post-Islamisme Asef Bayat (2013) yang ia nilai setara dengan gagasan civil Islam Hefner (2001, 2017). Islam adalah aspirasi untuk membangun gerakan sosial berbasis demokrasi. Ia percaya Islam sipil “mampu mengatasi Islamisme politik dan kegagalan-kegagalannya”.
Ia menolak penerapan syariat Islam, Daulah Islamiyah, dan jihad kekerasan. Meyakini demokrasi, ia menolak Islamisme politik yang baginya bukan hanya eksklusif, tapi juga rentan menjadi totaliterianisme baru. Kewajiban muslim bagi dia adalah berjihad intelektual dan beraksi membela yang tertindas.
Pengalamannya panjang. Pada 1990-an, ia menyunting jurnal Prisma terbitan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tentang pemikiran Islam dan demokrasi, termasuk karya Ihsan Ali-Fauzi dan Saiful Mujani. Kerja editorialnya yang monumental adalah Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi karya Kuntowijoyo yang diterbitkan Mizan pada 1991.
Yang unik dari cerita itu adalah awal mulanya A.E. mengumpulkan makalah Kuntowijoyo, mendatanginya di seminar, merekam, hingga meramu pikirannya secara runut. Itu sebabnya, seperti diceritakan istri Kuntowijoyo kepada Putut Widjanarko, Kuntowijoyo memutuskan A.E. mendapat royalti lebih besar. Ali-Fauzi menduga jangan-jangan A.E. yang mengkonstruksi pikiran Kunto. A.E. yang menciptakan Kunto. Mungkin ini berlebihan.
Saat bersama saya menyusun buku tentang demokrasi pascareformasi, A.E. menyusupkan “Strategi Kuntowijoyo” (1991, 1997), yakni mengintegrasikan Islam politik dalam gerakan demokratisasi. Ia menolak dikotomi Islam dan demokrasi. Ia meyakini Islam mengajarkan nilai-nilai demokrasi, memuliakan martabat manusia, mewajibkan berlaku adil, melindungi kaum tertindas, tak saling membenci, dan menyayangi sesama.
Seperti Kunto, A.E. ingin menyaksikan Islam dan kelembagaannya menjadi penggerak profetik dan perubahan transformatif berbasis demokrasi dan hak asasi manusia. Meski ia aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), statusnya yang bukan kader Muhammadiyah ataupun Nahdlatul Ulama membatasi ruang gerak aktivismenya dalam membumikan misi Kunto.
Ia pendukung berat demokrasi. Munir Said Thalib kerap berdiskusi tentang gerakan demokrasi bersama A.E., Olle Törnquist, Asmara Nababan, dan Stanley Prasetyo. A.E. terlibat diskusi secara intensif. Memorinya mampu merekam obrolan yang melebar menjadi naskah yang runut. Ia bersama Arief Budiman dan kawan-kawan menerbitkan kajian gerakan demokrasi ala coffee table book setebal 700-an halaman.
Saat A.E. membahas 15 tahun demokrasi pasca-Soeharto bersama Hilmar Farid, Ita Nadia, Franki Budiman, dan saya, obrolan kedai kopi kami menjadi pengantar buku Merancang Arah Baru Demokrasi yang terbit nyaris 1.000 halaman (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014). Hanya ada satu error: ia menambahkan nama saya pada nama perempuan-aktivis yang ikut menulis. Penyematan nama suami pada istri menegasikan kesetaraan subyek perempuan.
A.E. adalah manusia biasa. Utopianya paradoks. Ia mengimajinasikan “runtuhnya politik elitis berbasis partai” dan naiknya “politik partisipatoris berbasis gerakan kewargaan”. Ini membingungkan ilmuwan politik karena jadi terlalu ideologis. Bagaimana mungkin demokrasi tanpa partai?
Paradoks lain adalah gagasannya agar aktivis go politics. Ini rekomendasi risetnya di Demos, setelah mewawancarai 700-an aktivis, buruh, petani, dan perempuan. Semua aktivis yang masuk politik dikritik. Selain “kepentingan jangka pendek”, ia tak melihat langkah “ideologis, strategis, dan organisasional” dari aktivis yang berpolitik.
Itu sebabnya ia menolak pandangan bahwa keterlibatan intelektual-aktivis dalam pemilihan umum akan mencairkan kekakuan ideologis dan dialogis antara kutub sekuler dan Islam. Ia mengklarifikasi, “go politics itu membangun blok politik, bukan secara individual masuk politik, apalagi ikut bohir”. Itu sebabnya ia menjadi asketik.
A.E. bukan anti-negara. Ia pernah menjadi asisten deputi di Kementerian Negara Urusan Hak Asasi Manusia (2000-2001). Ia membantu Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliaçao de Timor Leste. Ia meyakini politik partisipatoris warga bisa dikerjakan untuk merancang arah baru demokrasi menuju “trajektori anti-oligarki”.
Ia menjalani politik ini melalui organisasi yang berorientasi pada aksi, seperti Change.org Indonesia dan Public Virtue Institute (PVI). Di sana, ia menggalang petisi antikorupsi dan berorasi membela Komisi Pemberantasan Korupsi menjelang penangkapan Novel Baswedan.
Di PVI, ia merancang arah baru demokrasi bersama aktivis beragam spektrum, dari Andar Nubowo (Muhammadiyah), Anita Wahid dan Syafieq Alielha (NU), Edwin Partogi (HMI), John Muhammad (Masyumi), hingga sosiolog Tamrin Tomagola dan sejarawan Wilson.
Hasil risetnya tentang penggunaan media sosial dalam pemilihan Gubernur DKI dicurigai sebagai dukungan A.E. kepada Joko Widodo saat pemilihan presiden 2014. Padahal ia harus berdiskusi keras untuk melihat kekuatan teknologi dalam politik serta memproyeksikan kontestasi selanjutnya.
Bagi dia, Jokowi hanya pemimpin lokal yang “menyusup dalam struktur elite nasional, bukan pemimpin gerakan sosial”. Ia ragu Jokowi akan membangun demokrasi anti-oligarki karena lebih mewakili populisme berbasis revolusi simbolis (mental) ketimbang revolusi sosial.
Pada 2014, saat para aktivis mengulangi kesalahannya dengan masuk politik, ia memilih berkeliling Indonesia mewacanakan arah baru demokrasi. Seleranya hilang jika membicarakan demokrasi elektoral. Ia penganut ajaran Dahl, bukan Schumpeter yang demokrasinya memuja kompetisi elektoral bagi terpilihnya pejabat publik. Ia penentang demokrasi liberal dan proses elektoral yang berjalan seperti pesta.
Ia intelektual penapak jalan sunyi. Kemewahan aktivis berpolitik dan kecanggihan kota tidak membuatnya cemburu. Sehari-hari, ia mengendarai sepeda motor. Jika ke luar kota, barulah ia mengendarai mobil tuanya, Daihatsu Taruna. Mengutip Rousseau, bagi dia, negara harus “memastikan warganya tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin”.
Sewaktu bepergian bersama para aktivis PVI, ia berujar, “Mobil Anda enak ya, Mas John. Mas Usman, mobil Anda ke mana? Dan kenapa Anda enggan memakai klakson?” Saya jawab, “Memang tidak berfungsi, Mas.” Ia nyeletuk, “Ah, itu lebih baik. Semua bunyi, kecuali klakson. Mobil saya itu semuanya bisa dibuka, kecuali pintunya.” Saat menikmati pameran seni kayu jati di Yogyakarta, ia guyon setelah menanyakan harga: “Ternyata kemajuan demokrasi kita tak berjalan paralel dengan kemajuan menikmati kayu jati.”
Lima tahun sebelum wafat, ia memimpin LP3ES atas tawaran Dawam Rahardjo. Di sana, kami sering berdiskusi hingga pagi, mencari sarapan, sampai malam datang kembali. Dua pekan sebelum wafat, ia menemui saya untuk meneruskan lembaga yang kami dirikan. Sehari menjelang masuk unit perawatan intensif, ia menulis kritik atas buku Yuval Noah Harari: Sapiens dan Homo Deus.
Begitulah aktivis-pemikir yang bebas. Tak berhenti berpikir. Tak mau singgah lama di satu petilasan. A.E. menamai dirinya Langit Putih atau Kalatida. Ia pergi saat langit memutih, ketika tiba sebuah zaman tatkala kekuatan pikiran diremehkan.
USMAN HAMID, PEGIAT HAK ASASI MANUSIA DAN DIREKTUR EKSEKUTIF AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo