"UNTUK main di tempat semacam Balai Sidang Senayan, kami cukup
bertujuh. Tak perlu berbondong-bondong seperti Guruh atau Iwan
Abdurrachman. Kalau pementasan di depan puluhan orang, cukup
berdua. Dan kalau yang nonton hanya seorang perempuan, cukup
saya sendiri," ujar Leo Imam Sukarno, 30 tahun, yang grup
musiknya 'Leo Kristi' 28 Januari lalu berpentas berlima di
Istana Wakil Presiden, Jalan Merdeka Selatan Jakarta.
Di penginapannya di Ancol, malam itu Leo berkaus hitam,
bercelana biru, tengah asyik menggulung tali pancing. "Iseng,
mancing di laut, katanya. Tentang undangan untuk pementasan cari
dana di Merdeka Selatan -- untuk pertama kalinya bagi Leo, juga
bagi gedung itu -- ia menyatakan "merasa bahagia bisa bertemu
bapak-bapak pejabat."
Berhasil mengumpulkan dana sekitar Rp 114 juta untuk korban
bencana alam -- Leo malam itu tampil tanpa Lita dan Jilly,
melainkan bersama Titi dan Sri Wahyu (yang baru 3 bulan ikut
grup tersebut) serta Mung dan Nanil. Mereka menyanyikan 13
lagu.
Masih tetap membujang, Leo anak nomor 2 di antara 4 bersaudara.
Keluar dari Institut Teknologi Surabaya 1972, Jurusan
Arsitektur, karena tak naik ke tingkat tiga. Dia lebih senang
disebut "orang biasa" saja, katanya. Memangnya apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini