Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang perempuan setengah baya memasuki ruang periksa Frits August Kakiailatu di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr Mintohardjo, Jakarta. Sambil melihat dokumen medis pasien tersebut, Frits menjelaskan isinya kepada sang pasien. "Ini, kalau ke saya, operasi," katanya. Mengoperasi pasien masih rutin dilakukan urolog berusia 77 tahun ini. Jadwalnya setiap Selasa dan Kamis. "Tak usah banyak, sehari satu saja," ujar Frits.
Selama kariernya sebagai dokter, bapak tiga anak dan kakek empat cucu ini banyak melakukan operasi. Tapi ada operasi "besar" yang dia anggap sebagai proyek kemanusiaan, yakni operasi untuk paraplegia korban Operasi Seroja di Timor Timur dan operasi transplantasi ginjal.
Ketika kembali dari pendidikan di Belanda, saya lebih banyak berpraktek di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Di rumah sakit tersebut, kami berencana melakukan dua proyek kemanusiaan, yakni implant penile prosthesis—penanaman bahan silikon ke batang penis—dan transplantasi ginjal.
Pada 1975-1976, RSPAD Gatot Soebroto menerima puluhan pasien korban Operasi Seroja—operasi militer di Timor Timur, yang saat itu menjadi provinsi termuda Indonesia (rakyat Timor Timur memilih menjadi negara berdaulat, bebas dari Indonesia, pada 1999). Mereka anggota ABRI yang ditugasi ke sana. Juga orang Timor Timur.
Yang menjadi perhatian kami adalah mereka yang terkena tembakan di punggung atau patah tulang karena jatuh kemudian lumpuh. Mereka mengalami paraplegia, kelumpuhan kedua tungkai bawah. Akibatnya, mereka menderita impotensi. Maka dipasang prosthesis alias ditanam silikon di batang penis. Jadi, meski kaki lumpuh, penis bisa mengalami ereksi. Waktu itu belum banyak obat untuk membantu mereka.
Saya kebetulan kenal dengan orang Istana Kepresidenan, yang juga seorang penyandang paraplegia yang pernah melakukan implant penile prosthesis (IPP) di Mayo Clinic, Rochester, Minnesota, Amerika Serikat. Dr B.R.M. Mardjono, dokter pribadi Presiden Soeharto, pun menganjurkan dibentuknya Yayasan Paraplegia di Tim IPP RSPAD Gatot Soebroto.
Mayo Clinic adalah tempat yang sangat terkenal untuk melakukan operasi IPP. Pada 1977, salah seorang profesornya, William Furlow, diundang berkunjung ke Indonesia dan melakukan operasi contoh di depan tim IPP di RSPAD. Ketika Furlow pulang, dipilih satu orang untuk belajar langsung ke Mayo Clinic, dan sayalah yang terpilih.
Itu pertama kali dokter Indonesia mempelajari operasi IPP. Saya bolak-balik ke Mayo sebanyak empat-lima kali untuk belajar masalah implan penis dengan bahan silikon ini. Saat itu biaya operasi IPP sangat mahal karena harga penile prosthesis saja sekitar US$ 4.000 per unit. Karena harganya mahal, Presiden Soeharto menyumbang 10 prosthesis silikon. Penderita paraplegia dari korban Operasi Seroja kira-kira 70 orang. Selain para korban Operasi Seroja, lama-lama orang bermasalah yang memiliki duit menjalani operasi ini.
Awalnya, yang digunakan adalah penanaman silikon dengan teknik pompa yang dijual di Amerika. Jadi penis bisa mengembang, dan kempis kalau tidak digunakan. Itu yang harganya sekitar US$ 4.000. Karena mahal, akhirnya mulai digunakan bahan dari Jerman yang kaku. Harganya sekitar US$ 1.000. Tapi yang rigid kurang bagus, karena penis dalam posisi ereksi terus. Jadi, kalau dalam keadaan tidak dipakai, harus ditekuk.
Waktu itu, saya ingin teknik ini diekspos. Tapi saya dilarang oleh tim. "Frits, yang soal seks-seks jangan, deh." Sebab, waktu itu sedang heboh soal operasi selaput dara dan gagal. Padahal yang melakukan operasi orang terkenal. Tapi teknik IPP sekarang juga sudah jarang digunakan. Selain mahal, ada keluhan terjadi infeksi, sehingga silikon harus dicabut dengan operasi lagi. Sekarang orang lebih banyak menggunakan obat.
Proyek kemanusiaan kedua adalah pendirian tim transplantasi ginjal. Tim Transplantasi Ginjal RSPAD mulai bekerja pada 1986. Sebelumnya, kami meninjau beberapa rumah sakit yang sudah melakukan operasi cangkok ginjal, seperti RS Cikini serta RS Telogorejo dan RS Karyadi di Semarang. Kami juga menjalani pelatihan untuk melakukan operasi, seperti autotransplantation ginjal pada hewan di Klinik Veteriner Institut Pertanian Bogor. Hewan yang kami jadikan percobaan adalah anjing.
Saya melakukan kampanye bersama dokter-dokter lain menentang pernyataan bahwa manusia tidak dapat hidup normal dengan hanya satu ginjal. Waktu itu ada bank yang menolak karyawan yang ketahuan memiliki satu ginjal. Operasi cangkok ginjal masih lebih murah ketimbang pasien harus menjalani cuci darah seumur hidup.
Pada 24 April 1988, kami—15 anggota tim—berangkat ke Belanda untuk mendapatkan pendidikan melakukan operasi transplantasi ginjal di Academisch Medisch Centrum, Amsterdam. Karena itu, kami mengikuti etika The European Transplant Society. Ini berarti kami harus mengikuti apa pun yang ditetapkan komunitas tersebut.
Namun tetap ada perbedaan aturan tentang siapa yang menjadi donor. Misalnya, di Belanda, boleh menerima ginjal baik dari donor yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Tapi di Indonesia saat ini hanya boleh menerima ginjal dari donor yang masih hidup.
Syarat menjadi donor ginjal yang utama adalah kecocokan golongan darah, yakni golongan darahnya sebaiknya sama dengan si penerima. Syarat yang kedua, ada kecocokan human leukocyte antigen. Kalau itu tidak cocok, tidak jadi, karena akan terjadi penolakan. Jadi, dengan syarat tersebut, memang sulit mendapatkan ginjal yang cocok bagi penerima. Dari sekitar seribu orang, bisa saja hanya satu yang cocok. Biasanya yang cocok adalah mereka yang punya garis keturunan yang sama.
Maka, meski banyak orang ingin melakukan transplantasi, banyak yang harus kecewa. Selain jumlah donor sedikit, sulit mendapat ginjal yang cocok. Menurut teori, dengan transplantasi, akan ada masa adaptasi selama setahun, kemudian mereka bertahan 5-10 tahun.
Pasien pertama kami adalah seorang pemuda berusia 19 tahun. Anggota keluarganya yang menjadi donor. Karena harus mendapat pengobatan anti-imun secara rutin, dia kami angkat sebagai karyawan di bagian penyakit dalam khusus untuk urusan transplantasi ginjal.
Namun kemudian ia menderita tuberkulosis akibat terus-menerus minum obat anti-imun. Fisiknya melemah dan ginjalnya berhenti bekerja. Pada 4 Januari 2002, pasien transplantasi ginjal pertama kami itu meninggal. Dia bertahan hidup dengan ginjal kakak kandungnya selama 16 tahun.
Dalam kurun 15 tahun, hingga 1991, kami menangani 46 kasus operasi transplantasi ginjal. Penanganan penyakit ginjal dengan transplantasi di Indonesia memang kurang berkembang. Di Amerika, dalam kurun 1986-1991, ada sekitar 100 ribu kasus cangkok ginjal. Ini karena perbedaan aturan. Di Indonesia, ginjal harus dari donor hidup. Selain itu, biayanya sangat mahal. Operasi untuk donor dan penerima pada awal 1990-an membutuhkan sekitar Rp 150 juta. Sekarang sudah pasti berubah.
Di RSPAD, penanganan kasus transplantasi ginjal juga terus berkurang karena kurangnya biaya dan langkanya donor ginjal. Dalam dua-tiga tahun belakangan, hanya ada satu kasus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo