Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beragam pasien sudah saya tangani selama menjadi dokter, tapi ada beberapa yang selalu saya ingat. Pada akhir Mei 1982, Letnan Jenderal (Angkatan Darat) dr Rubiono Kertopati, Ketua Lembaga Sandi Indonesia merangkap ketua tim dokter ahli kepresidenan, memperlihatkan dokumen medis seorang pasien berikut hasil tes laboratorium, sambil menceritakan keluhan si pasien, yang saat itu identitasnya anonim. Setelah melihat, saya bilang, "Operasi." Tim setuju. Sehari sebelum operasi, saya kaget sewaktu diberi tahu nama pasien anonim tersebut: "Kok, Pak Harto…."
Saya dipilih mengoperasi Pak Harto karena waktu itu saya satu-satunya urolog di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Toh, tim masih ragu terhadap saya, yang baru lulus enam tahun. Akhirnya, profesor yang membimbing saya, Pieter Donker, diundang. Juga guru besar saya dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Oetama. Dia melihat apa yang saya lakukan saat menjalankan operasi tersebut. Operasi reseksi transuretral prostat tersebut berhasil. Operasi dilakukan pada 14 Juni 1982 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.
Pak Harto bukan pasien yang rewel. Beliau juga menganjurkan semua menteri mau dioperasi di Indonesia. Saya pernah mengoperasi Pak Subroto (mantan Menteri Pertambangan dan Energi), juga Solihin G.P. (mantan Gubernur Jawa Barat). Belakangan saya baru tahu, beberapa bulan sebelum saya mengoperasi Pak Harto, keluarga saya diinvestigasi. Mereka pun ditanyai. Maklum, pada 1980-an, aturan "bersih lingkungan" masih sangat keras.
Setelah operasi 1982 tersebut, hubungan saya dengan Pak Harto dan keluarga akrab. Tak jarang Pak Harto memanggil saya untuk sekadar ngobrol. Beliau suka bercerita macam-macam, terutama saat bergerilya melawan Belanda. Pada Maret 1983, saya diangkat menjadi anggota tim dokter ahli kepresidenan khusus bidang urologi. Kemudian pangkat saya dinaikkan menjadi laksamana pertama. Kami tidak menerima gaji, tapi mendapat honor. Biasanya kami diperbolehkan membeli mobil secara angsuran dengan honor tersebut, tanpa pajak. Saya sempat kebagian empat mobil. Tapi saya selalu memilih mobil biasa, seperti Taft, supaya tidak nombok.
Selain itu, undangan kenegaraan selalu kami terima, misalnya perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka dan Idul Fitri. Biasanya, sebulan sebelum puasa Ramadan, kami menerima bingkisan yang isinya bahan setelan jas untuk saya serta selembar kain batik, selendang, dan bahan kebaya untuk istri saya. Toeti kurang senang pada "seragam", jadi tak dia pakai. Namun, pada 1995, ia mengenakan kebaya dari Cendana. Sewaktu bersalaman, Bu Tien langsung berkata, "Nah, begitu dong, dipakai bajunya, cah ayu."
Pada 1994, Pak Harto mengeluhkan sakit perut sebelah kanan. Saat itu anak-anaknya sudah berkuasa, sangat berbeda dengan situasi pada 1982. Tutut (Siti Hardijanti Rukmana), anak sulung Soeharto, sudah menjadi Ketua Golkar. Dia menentang operasi yang saya sarankan. Sedangkan saya ngengkel karena batu ginjal yang cukup besar dan beberapa yang kecil sudah mengganggu aktivitas beliau sehari-hari.
Namun saat itu operasi belum mungkin dilakukan karena beberapa hari kemudian, pada 16 Agustus, Pak Harto harus berpidato di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat. Saya kemudian menawarkan kepada tim dokter agar Pak Harto diberi obat antisakit, dan disetujui. Selain itu, sewaktu berpidato, ada kursi kecil yang tak tampak dari pandangan hadirin, sehingga Pak Harto tidak sepenuhnya berdiri, tapi setengah duduk. Setelah itu, kembali dibahas, apa yang harus dilakukan untuk kesehatan Pak Harto. Saya tetap mengusulkan operasi. Semua anggota tim, yang berjumlah 37 orang, setuju. Pak Harto juga setuju.
Kemudian tim dokter memberi tahu keluarga. Ketua tim, Dr Frans Pattiasina, datang ke rumah Tutut, dan anak sulung Pak Harto ini menyatakan belum bisa memberikan jawaban. Ia akan minta second opinion dari urolog Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Esoknya, tim dokter bertemu dengan putra-putri Pak Harto, juga empat urolog RSCM. Perdebatan seru. Tim urolog RSCM menyarankan pengambilan batu dengan endoskopi melalui kandung kencing ke saluran ureter.
Waktu itu, Tutut sampai marah kepada saya, yang ngotot mengusulkan operasi. Dia bilang, "Itu kan bapak saya, bukan bapak situ." Keputusan tak jadi dioperasi diambil. Sejak itu, setiap kali Pak Harto check up ke RSPAD Gatot Soebroto, saya menyingkir. Dan dokter RSCM mulai masuk tim dokter ahli kepresidenan. Tapi Pak Harto tak punya masalah dengan saya. Sehari sebelum tindakan endoskopi, Pak Harto memanggil saya. Dia bilang, "Frits, saya kira saya ikut usul anak-anak."
Pada 23 Agustus malam, sekitar pukul 22.00, Pak Harto masuk Paviliun Kartika. Saya bilang kepada beliau apa yang akan dilakukan. "Rambut kemaluan Bapak akan dicukur sebelum tindakan. Bapak mau mencukur sendiri atau ditolong suster?" Sambil tersenyum, beliau bilang suster saja yang melakukan.
Keesokannya, Pak Harto dibawa ke kamar operasi. Tak lama, perawat memberi tahu saya bahwa Pak Harto tak jadi dioperasi. Ketika saya melihat foto roentgen, tinggal ada satu batu kecil di ureter. Batu-batu lain sudah keluar melalui saluran kemih. Itu biasa terjadi secara alamiah. Sebagai ketua tim pelaksanaan tindakan, saya harus melapor ke Pak Harto mengenai kondisi tersebut. Beliau merespons: "Terima kasih. Jadi saya dapat pulang sekarang?"
Saat Pak Harto akan meninggalkan rumah sakit, kru TVRI dan radio telah siap untuk mendengarkan penjelasan. Pak Harto, yang mengenakan jaket, tampak segar. Juru kamera meminta Pak Harto tersenyum. Pak Harto menunjuk saya dan berkata, "Ayo, Frits, cerita yang lucu supaya kita semua tertawa." Saya berkata, "Ternyata Presiden Soeharto hari ini tidak jadi ada tindakan, meski Bapak sudah siap. Jadi anggap saja hari ini Bapak hanya mengunjungi tukang cukur." Juru kamera pun mengabadikan Pak Harto yang sedang terpingkal-pingkal.
Setelah itu, Tutut meminta saya dikeluarkan dari tim dokter ahli kepresidenan. Tapi tidak ada pencopotan. Saya baru dicopot pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. Saat itu ketua tim dokternya Umar Wahid. Pada masa kepresidenan Habibie, tim dokter tetap sama. Hanya, beliau tidak memanfaatkan kami. Presiden Habibie selalu berobat ke Jerman.
Soeharto sendiri kemudian lebih sering berobat ke Rumah Sakit Pertamina. Waktu itu ada isu bahwa ada sekelompok orang di Angkatan Darat yang berusaha membunuh Pak Harto.
Pasien lain yang merupakan orang penting dan tidak bisa saya lupakan adalah Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Pada 1970-an, kami sudah berkenalan dengan keluarga A.H. Nasution. Istri saya mengagumi istri Pak Nas, Ibu Johana Sunarti Nasution, yang aktif dalam berbagai institusi sosial.
Setiap Idul Fitri, kami selalu mengunjungi rumah mereka di Jalan Teuku Umar 40, Menteng. Biasanya kami ke Cendana 8 dulu, baru ke Teuku Umar. Kebiasaan ini tak berhenti meski pada 1980 Pak Nas menjadi anggota kelompok Petisi 50, yang mengkritik pemerintah dan membuat Pak Harto marah. Biasanya Bu Nas akan bercanda, "Wah, mau datang juga. Terima kasih masih mau datang. Kami ini kan sedang di-lepra-kan oleh pemerintah." Saya menjawab, "Wah, kami enggak mau ikut-ikutan politik."
Baru pada 1986, hubungan saya dengan Pak Nas menjadi hubungan dokter-pasien. Setelah Pak Nas dioperasi katup jantung di Rumah Sakit Walter Reed di Washington, Amerika Serikat, beliau mengeluh urinenya berwarna merah. Saya menemukan adanya batu kecil yang turun dan ada pembengkakan kelenjar prostat. Selain itu, karena baru dioperasi, beliau harus banyak mengkonsumsi obat pengencer darah, yang membawa akibat mudah berdarah bila luka. Saya pun membantu memberikan tindakan agar perdarahan berhenti. Beliau keluar-masuk rumah sakit.
Pada 13 Maret 1997, ketika saya baru keluar dari ruang perawatan Pak Nas dan akan pulang, saya dihentikan seorang caraka dan diminta kembali ke ruang Pak Nas. Ternyata di ruangan itu ada Pak Harto. Menurut Bu Nas, Pak Harto bertanya siapa yang merawat Pak Nas. Dijawab saya, yang baru saja ke luar ruangan, lalu beliau minta saya dicari. Pak Harto tertawa lebar. "Frits, ke mana saja? Kok, sudah lama enggak kelihatan?" Pak Harto juga berpesan, "Tolong jaga Pak Nas ya, Frits." Itu adalah pertemuan terakhir saya dengan Pak Harto.
Selama dirawat di rumah sakit, saya lihat Pak Nas berusaha merampungkan bukunya. Seorang pencatat selalu berada di sampingnya dan mencatat ucapan-ucapannya. Sekitar satu setengah bulan kemudian, ketika Pak Nas membaik, pencatatan untuk bukunya diteruskan dengan lancar. Dan buku tersebut terbit pada 2008, setelah Pak Nas wafat. Ketiga buku tersebut adalah Kenangan Masa Purnawirawan, Kepemimpinan Nasional dan Pemimpin Bangsa, dan Bersama Mahasiswa, "Aset Utama" Pejuang Nurani. Pak Nas wafat pada 6 September 2000.
Satu lagi pasien yang tak akan saya lupakan adalah mantan tahanan politik, Kolonel Abdul Latief. Tokoh yang dianggap penting dalam peristiwa 1965 ini saya periksa sekali di Rumah Sakit St Carolus. Pak Latief, yang terkena stroke, adalah pasien kelas 4, pasien yang tidak bisa membayar. Saat itu beliau tidak bisa kencing. Bukan main dia. Nasibnya bisa seperti itu, padahal nomor pokoknya dengan Pak Harto hanya berbeda satu.
Sebelumnya, saya sudah diberi tahu bahwa ada pasien tapol (tahanan politik) PKI. Jadi jangan banyak omong. Juga saat dia diperiksa, ada intel yang terus menjaga. Pak Latief adalah pasien yang sangat pendiam dan tidak rewel. Setelah saya periksa, kondisi kesehatannya secara umum sudah buruk. Hal ini bisa dimaklumi karena selama dalam tahanan ia telah dioperasi sembilan kali di RSPAD Gatot Soebroto.
Abdul Latief akhirnya diberi amnesti oleh Presiden Habibie pada Maret 1999 dan meninggal 6 April 2005 pada usia 79 tahun. Untung, Tuhan mengambil Latief dalam suasana bebas dengan dikelilingi orang-orang yang dicintainya: 5 anak, 17 cucu, dan 6 buyut. Saya tak bisa melupakannya. Pasien yang istimewa.
Saya lahir dari sebuah keluarga tua. Bapak dan ibu saya lahir pada 1800-an. Ayah saya, Alfaris Willem Kakiailatu, lahir pada 1882 di Nusa Laut, Saparua, Maluku Tengah. Sedangkan ibu saya, Augustina Anoi, lahir di Magelang, Jawa Tengah, pada 1895. Saya sendiri lahir di Magelang pada 17 Juli 1936, sebagai bungsu dari 12 bersaudara.
Pada 1901, ayah saya menjadi anggota Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL)—Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Saat itu banyak orang tidak mengenal nasionalisme, hanya mencari pekerjaan dan makan. Sebagai serdadu, dia mendapat lima gulden seminggu. Waktu itu, setengah sen saja bisa untuk membeli tiga butir telur. Beliau sempat ikut perang di Aceh, tugas ke Bandung, juga ke Batavia (sekarang Jakarta). Ayah saya pensiun pada 1923 dan kembali ke Magelang, bekerja sebagai tenaga administrasi di perusahaan Ijs en Limonade Fabriek, perusahaan es dan minuman ringan milik orang Prancis berkewarganegaraan Belanda, Robert Chevalier.
Pada masa perang kemerdekaan, tepatnya pada 1946, kami sekeluarga pindah ke Yogyakarta. Saya masuk sekolah Bruderan di dekat Radio Republik Indonesia yang berbahasa pengantar bahasa Indonesia. Ini agak menyulitkan saya karena, di rumah, Bapak dan Ibu berbicara dengan bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu logat Ambon. Kami kemudian pindah ke Bandung, dan saya masuk sekolah yang bahasa pengantarnya bahasa Belanda, Lagere School.
Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas Kristen di Bandung pada 1957, saya sebenarnya ingin mendaftar ke Akademi Militer Nasional di Magelang. Tapi terlambat. Kemudian saya ikut teman saya, Thung Liong Kie, berlibur. Ketika itulah saya mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia serta Fakultas Kedokteran Hewan dan Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Semuanya diterima, tapi saya memilih UI.
Pada tahun ketiga, saya mendengar informasi dari teman tentang adanya beasiswa untuk menjadi "tentara pelajar". Saya memilih Angkatan Laut karena salah satu kakak saya pernah mendaftar menjadi anggota Angkatan Laut Belanda tapi gagal. Saya berhasil mendapat beasiswa tersebut pada 1960. Saya mengikuti PTPAL (Pendidikan Tjalon Perwira Angkatan Laut) di Surabaya. Yang saya lakukan hanya melapor setiap bulan. Uang saku dikirim langsung. Jumlahnya tak begitu banyak, sekitar Rp 75, tapi bisa buat bayar indekos di daerah Salemba dan beli buku. Karena saya tidak merokok, uang saya gunakan untuk jajan, seperti makan soto di Paseban. Kalau naik kelas, uang saku juga naik. Ketika saya menjadi doctorandus medicinae, pangkat naik. Sewaktu lulus dokter, pangkat saya menjadi kapten.
Begitu lulus, saya ditempatkan di Kesatuan Komando Perawatan Kapal Cepat (Kapal Torpedo), kemudian ikut LKP (Latihan Kemiliteran Pertama). Dari sana, saya berpraktek di Landing Ship Transport (LST) Teluk Amboina, yang saat itu membawa KKO, Korps Komando Angkatan Laut (sekarang Marinir), untuk mengganti pasukan yang bertugas mengatasi pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi.
Kemudian saya ditarik ke Batalion III KKO pada 1964. Kebetulan saat itu sedang ada konfrontasi dengan Malaysia. Saya ditugasi ke Kalimantan Timur, ke Pulau Sebatik, sebagai kapten medis. Pulau Sebatik merupakan front timur dalam era Komando Dwikora ini. Komando Dwikora dikumandangkan Presiden Sukarno, yang isinya: memperhebat pertahanan revolusi Indonesia dan membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia.
Tidak ada pertempuran besar, tapi suasananya cukup tegang. Kadang kami melewati perbatasan, terjadi saling tembak, tapi mundur lagi. Di pulau yang penduduknya hanya sekitar sepuluh keluarga itu, kami makan seadanya. Kadang kami makan penyu besar, rusa, atau celeng yang kami tangkap. Saat air pasang, kami menemukan botol berisi surat. Tulisannya: anjing-anjing Sukarno kelaparan, sedang mencari kepiting di pantai.
Setelah konfrontasi berakhir, saya bertugas di Markas Besar KKO di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat. Tapi saya juga terlibat pembangunan klinik di Cirebon, Pontianak, Palembang, dan Lampung. Saat pembukaan poliklinik di Kompleks Transmigrasi AL di Lampung pada 1966, saya bertemu dengan Toeti Soewarti Soewardjo, wartawan Sankei Shimbun, yang bertugas di Wisma Warta (sekarang Plaza Indonesia dan Hotel Grand Hyatt). Enam bulan kemudian, kami memutuskan untuk menikah. Saat itu usia saya sudah 31 tahun. Kami meresmikan pernikahan pada 16 Juni 1967 di Gereja Paulus, Menteng.
Karena Toeti, saya mengenal Presiden Sukarno. Saya beberapa kali diajak ke acara di Istana. Misalnya untuk menonton wayang atau film. Menurut saya, Bung Karno itu pintar dan pandai ngomong. Dia santai. Kalau nonton bareng, kadang dia hanya mengenakan kaus oblong. Tidak resmi. Saat Toeti memperkenalkan saya ke Bung Karno, saya ditanya, "Apa itu Kakiailatu?" Saya jawab, "Latu berarti raja atau pemimpin. Kakiai berarti pengantar surat atau semacam postbode."
Ketika belajar pascasarjana di Ilmu Bedah Umum Fakultas Kedokteran UI, saya mulai tertarik pada bidang urologi. Saat itu di Indonesia belum ada pendidikan urologi. Demikian pula urolognya. Bahkan kini pun hanya ada sekitar 250. Saat itu saya berpangkat mayor dan menjadi dokter bedah di RSAL Dr Mintohardjo.
Hierarki kemiliteran membuat saya susah mencapai keinginan belajar urologi tersebut. Sampai kemudian saya bertemu dengan Profesor John Pieter dari Makassar, yang baru kembali dari belajar di Bedah Digestif Lanjutan di Academisch Ziekenhuis Leiden (AZL). Ia mengatakan Bagian Urologi di AZL di bawah Profesor Pieter J. Donker mau menerima ahli bedah dari Indonesia, tapi dengan biaya sendiri atau beasiswa yang dicari sendiri. Saya kemudian mendapat beasiswa dari Netherlands Universities Foundation for International Cooperation (NUFFIC), meski sempat dimaki atasan saya, Kepala Dinas Kesehatan AL Laksamana Pertama dr Azhar Zahir, karena salah paham soal beasiswa. Saya menjelaskan bahwa beasiswa saya bukan dari Angkatan Laut, melainkan dari NUFFIC.
Ketika tiba di Belanda, saya mendapat beberapa setel baju putih dan kelom model Belanda. Di baju dan kelom tersebut tertulis nama saya yang disingkat: "KAKI". Di sana, saya memulai dari kroco. Saya bekerja keras, bahkan ikut jaga malam. Baru setahun kemudian, saya diberi kebebasan melakukan operasi sendiri, dan Profesor Donker menjadi asisten. Saya kemudian membawa keluarga. Profesor Donker sempat mengomel: "Kamu hidup dari beasiswa, tapi membawa istri dan tiga anak. Kamu gila."
Tapi saya nekat. Ini kesempatan buat anak-anak saya tinggal dan belajar di Belanda. Untung, Chef de Poliklinik, dr Oderwald, mendukung saya. Dia bilang, "Dr Kaki, tidak usah takut. Kamu panggil istri dan anak-anak. Saya pinjami uang." Saya tanya kapan harus mengembalikannya. Dia menjawab, "Kapan saja, kalau kamu kaya."
Profesor Donker sebenarnya baik. Saat itu ekonomi memang sulit. Beasiswa yang saya dapat hanya sekitar 850 gulden. Tapi beliau tidak tahu orang Indonesia itu bisa makan hanya dengan nasi dan sambal pecel. Apalagi kemudian Toeti bekerja menjadi sekretaris bahasa asing. Gajinya seminggu sama dengan beasiswa saya untuk sebulan. Kami pun bisa bertahan dan pulang ke Indonesia pada 1976. Saya menjadi urolog pertama dan satu-satunya di lingkungan ABRI. Saya langsung diperbantukan di RSPAD Gatot Soebroto sambil tetap bertugas di RSAL Dr Mintohardjo. Saya susah mendapat kerja di rumah sakit lain. Mereka banyak dipegang dokter dari UI. Waktu itu urusan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) biasa menjadi masalah.
Sewaktu saya belajar di Belanda, bos poliklinik adalah orang yang paling pintar. Yang belajar di bawahnya mendapat ilmu dari yang paling pintar. Di Indonesia, kakak kelas yang kadang nilainya lebih jelek daripada saya yang mengajar. Jadi senioritas yang berlaku. Di sana, juga di negara-negara lain tempat saya pernah belajar, para pengajar mencintai muridnya. Mereka merasa bangga bahwa ada orang yang memilih disiplin ilmu yang mereka tekuni. Di sini, orang susah untuk belajar. Banyak guru pelit berbagi ilmu.
Satu contoh sewaktu saya mengambil S-3 di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Saya meneliti jalur neurotransmitter. Kalau laki-laki bernafsu di kepalanya, kok penis bisa ngaceng alias mengalami ereksi? Apa yang bikin itu? Di mana pusatnya? Ketika mau praktek, saya tidak memiliki alat. Guru saya ilmunya juga mentok. Padahal waktu saya tinggal setahun kalau tidak mau dropout. Saya harus lulus pada 1996. Saya pun menulis surat ke enam pusat penelitian neurotransmitter di seluruh dunia. Dua yang menjawab, Singapura dan Philadelphia.
Saya kemudian ke Veteran Hospital University of Philadelphia, Amerika Serikat. Profesor Doktor Robert M. Levin menyambut saya dan mengatakan, "Doctor, what do you want? Just write down." Kemudian saya buat, dia baca dan bilang, "Oke. Besok kita ketemu setelah saya tenis." Ketika saya datang ke rumah sakit, saya diberi kantor kecil. Ada lemari penuh buku. Semuanya gratis. Bahkan dia kemudian mencarikan saya hotel yang tarifnya hanya US$ 100 semalam. Kemudian, pada hari ketiga, dia bilang ke saya, "Coba bikin singkat apa yang kau mau bikin."
Besoknya kami ketemu. Dia bilang, "Kamu ubah ini, ubah itu." Problem selesai. Besoknya, saya kembali ke Jakarta. Jadi di sana hanya seminggu. Seorang guru besar yang terkenal di dunia, yang menciptakan banyak obat, justru tidak menyulitkan.
Dalam perjalanan pulang, saya mampir ke Singapura, ke National University Hospital. Ini karena di IPB tidak ada peralatan. Saya bertemu dengan Kepala Laboratorium Penelitian Neurotransmitter Profesor Ganesan Adaikan, yang kemudian membantu saya. Waktu itu, seminggu dua kali saya ke Singapura. Akhirnya, saya lulus dalam ujian terbuka pada 23 Desember 1996.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo