Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toeti Heraty Roosseno, yang tengah pulang ke Bali, terkejut ketika Astari Rasjid meneleponnya pada suatu hari, Desember lalu. Astari menanyakan keputusan Akademi Jakarta yang hanya memenangkan seniman Bali, I Gusti Kompiang Raka, sebagai pemenang Penghargaan Akademi Jakarta 2013. Berita ini tentu sangat mengejutkan karena, dalam rapat terakhir pada 15 Desember 2013, dua nama sudah disepakati memperoleh penghargaan tersebut. Kedua nama itu adalah sastrawan Martin Aleida dan seniman tari-musik I Gusti Kompiang Raka. Hasil rapat ini pun dicatat oleh Sekretaris Akademi Jakarta Abuhasan Asy'ari.
Toeti, Wakil Ketua Akademi Jakarta, memang tak hadir dalam rapat yang membahas pemenang penghargaan itu. Dia kecapekan setelah tampil dalam acara konser untuk perayaan ulang tahunnya yang ke-80. Tak ada pemberitahuan tentang keputusan ini mampir ke ponsel atau sekretarisnya. "Karena keteledoran, tak ada pemberitahuan, jadi masalah. Semestinya kan bisa dibicarakan," ujar Toeti kepada Tempo melalui sambungan telepon.
Inilah awal kisruh pemberian Penghargaan Akademi Jakarta 2013. Penghargaan tahunan ini diberikan kepada seniman, budayawan, dan ilmuwan yang telah mengabdi di bidangnya. Penghargaan Akademi Jakarta bertolak dari penilaian lifetime achievement dari sang penerima, bukan sekadar penilaian atas sebuah karya yang mungkin dianggap monumental.
Mengetahui keputusan pemenang ini, tim dewan juri yang dipimpin Astari Rasjid berkirim surat ke Akademi Jakarta, memprotes keputusan Akademi Jakarta itu. Dia mengatakan tugas juri untuk memilih pemenang, bukan calon pemenang. Astari menilai Akademi Jakarta menerabas kewenangan juri. "Kami memberikan dua nama yang menjadi juara, bukan untuk dipilih salah satu oleh Akademi Jakarta," kata Astari. Menurut Astari, jika hanya diputuskan satu nama, mereka meminta agar tetap kembali kepada keputusan awal juri, pemenangnya Martin Aleida.
Setelah mendapat kabar dari Astari, Toeti menghubungi Taufik Abdullah. Dengan marah dia bertanya mengapa tak ada pemberitahuan tentang keputusan ini. Menurut dia, sudah bagus ada dialog antara orang-orang muda dan para sesepuh di Akademi Jakarta. Toeti sempat menegaskan, jika karena soal finansial, yakni tidak ada dana untuk hadiah pemenang kedua, dia bersedia menutupnya. "Saya habis ulang tahun, tak apalah menutup hadiah itu. Tapi Pak Taufik bilang prosesnya tak semudah itu," ujar Toeti. Apalagi saat itu waktu tinggal sehari sebelum penyerahan penghargaan.
Toeti menuturkan ihwal rapat dia dengan dewan juri. Dalam rapat terakhir, juri menetapkan sastrawan Martin Aleida sebagai pemenang. Dia mengaku hadir dalam rapat juri itu karena semula juri mengajukan tiga nama. Ketiga seniman itu dipilih juri lantaran selama berpuluh tahun mereka dipinggirkan karena orientasi politik dan organisasinya pada waktu lalu, yakni Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—yang didirikan tokoh Partai Komunis Indonesia, Njoto. "Saya merasa tiga nama ini seakan-akan mewakili orientasi tertentu, entah kubu kekiri-kirian atau apa," kata Toeti. "Saya tanya apakah ini kebetulan atau disengaja."
Toeti mendapat jawaban memang juri sengaja memunculkan para seniman ini. Lalu dia meminta juri sebaiknya tidak terjebak dalam urusan politik dan orientasinya, serta bisa diimbangi dengan nama seniman lain. Juri pun akhirnya menanyakan kemungkinan dua pemenang. "Saya bilang mungkin saja, dan saya ajukan ke Akademi Jakarta, sedangkan hadiah akan diusahakan," ujar Toeti.
Toeti lalu merujuk pada penghargaan yang sama beberapa tahun lalu, yang juga diberikan kepada lebih dari satu pemenang. Juri pun mencari nama lain dan muncullah I Gusti Kompiang Raka. Dengan konsekuensi, uang hadiah harus disediakan untuk dua pemenang. Pada 2006, Akademi Jakarta memberikan penghargaan kepada tiga pemenang, yakni Amir Pasaribu, Raden Pandji Soejono, dan Tenas Effendy.
Tapi rupanya masalah uang hadiah tidak didiskusikan dalam rapat. Abuhasan Asy'ari, yang ikut hadir dalam rapat Akademi Jakarta, mengatakan rapat berlangsung sangat singkat. Pertemuan pada Senin sore, 16 Desember 2013, itu digelar tanpa ditemani teh, kopi, atau makanan kecil.
"Pak Taufik (Taufik Abdullah, Ketua Akademi Jakarta) mengajak rapat sebentar. Merunut pada pertimbangan dewan juri, ya sudah, langsung diputuskan Kompiang," ujar Abuhasan kepada Tempo. Menurut Abuhasan, rapat para "orang tua" ini, selain tak berlangsung lama, tak ada debat panjang. "Ya, seperti itu, karena sudah pas dengan kriteria."
Akhirnya digelarlah acara penghargaan untuk I Gusti Kompiang Raka, seniman tari dan musik tradisional Bali, pada 28 Desember 2013. Sebuah karangan bunga ucapan selamat dari Wakil Ketua Akademi Jakarta, Toeti Heraty, mewakili si pengirim yang tak hadir pada malam itu.
Kompiang Raka dinilai pantas menerima penghargaan karena pencapaian prestasi hidupnya. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk berkesenian. Selama 45 tahun, dia berkarya dan mendirikan Lembaga Kebudayaan Bali, melahirkan ribuan penari kanak-kanak hingga dewasa. "Suatu rekor sepanjang hayat yang sulit ditandingi," demikian alasan penetapan Kompiang sebagai pemenang.
Acara penyerahan penghargaan itu digelar tanpa kehadiran dewan juri yang diserahi tugas mencari, menyeleksi, dan mengajukan nama pemenang. Padahal biasanya juri membacakan nama sang pemenang. Mereka adalah Sri Astari Rasjid (ketua juri) dan empat anggota, Leila S. Chudori, Arjuna Hutagalung, Marselli Sumarno, dan Jamal D. Rahman. Mereka mengundurkan diri sebagai juri karena dua pilihan pemenang tak digubris Akademi Jakarta.
Martin Aleida, yang kemenangannya dianulir, menganggap keputusan Akademi Jakarta ini terkait dengan aktivitas masa lalunya di Lekra. Martin juga menuding keputusan itu tak lepas dari pengaruh Ajip Rosidi, yang dinilainya membenci dia. "Ini sebagai politisasi kebudayaan," katanya.
Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah menampik jika dikatakan sewenang-wenang dan menerabas kewenangan juri. Menurut Taufik, kewenangan juri hanya memberi masukan kepada Akademi Jakarta. "Mereka sebagai fungsi kontrol agar anggota Akademi Jakarta tidak memilih teman sendiri. Keputusan tetap pada kami," ujar Taufik ditemui seusai rapat di kantor Akademi Jakarta, 10 Januari 2014.
Dia juga menampik alasan Martin Aleida sebagai bekas aktivis Lekra menjadi gara-gara sastrawan ini tak diberi penghargaan. Taufik mengatakan alasan juri untuk mengadvokasi para seniman yang terpinggirkan ini menimbulkan tanda tanya. "Penghargaan ini hanya mempertimbangkan karya lifetime achievement. Kami memilih yang bagus, tidak ada politik-politikan."
Ajip Rosidi, yang dihubungi secara terpisah, juga menampik tudingan Martin tak dipilih karena aktivitas masa lalunya di Lekra. "Tidak ada alasan kanan-kiri. Bagi saya, yang penting kerjanya bener. Dia pernah jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta atas usul saya," katanya.
Bagaimanapun, polemik Akademi Jakarta pada akhir Desember 2013 itu mengundang kritik, seperti yang disampaikan sekelompok seniman yang diprakarsai pematung Dolorosa Sinaga. "Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak melaksanakannya. Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang," ujar Dolorosa.
Dian Yuliastuti, Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo