Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Karena Salah Baca Data

Terapi sulih hormon sebenarnya ampuh mengatasi gangguan saat menopause. Sayang, informasi yang salah menurunkan pamornya.

20 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap wanita yang berusia panjang pasti mengalami menopause. Kata ini berakar dari bahasa Yunani: men (bulan) dan pausis (berhenti). Berhenti datang bulan, "Atau mati haid," ujar dokter spesialis kebidanan dan kandungan Rumah Sakit Umum Bunda, Taufik Jamaan, ketika ditemui awal Januari lalu. Secara klinis, wanita dinyatakan mengalami menopause ketika tidak mendapatkan menstruasi setelah satu tahun. Artinya, dia tidak produktif lagi. Selain tak ada lagi sel telur yang diproduksi, rahim perempuan menjelang menopause menipis dan mengecil.

Tapi menopause tidak hanya soal kesuburan. Ada perubahan hormon—terutama hormon perangsang folikel (FSH), Luteini­zing (LH), dan estrogen—yang terjadi dalam tubuh perempuan yang mengalami menopause. FSH dan LH bertugas membantu pertumbuhan sel telur dalam rahim. Adapun hormon estrogen bertanggung jawab dalam pertumbuhan seksual perempuan. Selain mempengaruhi kesuburan, ketidakseimbangan hormon ini mengganggu kehidupan perempuan secara umum. Gangguan kesehatan selama menopause, menurut Taufik, bisa berbeda-beda. Ada yang hanya hasrat seksualnya menurun, tapi ada juga yang mengalami pusing, gelisah, muntah, pengeroposan tulang, dan sebagainya.

Orang-orang di waktu lampau, kata Taufik, menganggap menopause adalah hal yang natural. Itu dianggap sebagai bagian dari penuaan yang dialami semua orang. "Jadi mereka happy-happy saja, mengisi waktu dengan pergi ke masjid atau aktif di PKK," ujarnya. Tapi, bagi wanita modern, masa menopause bisa menjadi masalah. Secara fisik, Taufik menyebutkan, mereka harus melawan semua gejala tersebut saat tetap sibuk bekerja. Sedangkan di rumah, ada tuntutan suami yang masih ingin berhubungan seksual. "Masalahnya jadi berkaitan dengan tuntutan sosial," ucap Pengurus Besar Perkumpulan Menopause Indonesia periode 2009-2012 ini.

Untuk mengatasi gangguan kesehatan itu, dokter memberikan sejumlah obat. Tapi obat-obat itu hanya mengatasi gejala, bukan sumber gangguan. Lalu muncullah terapi sulih hormon, yaitu menggantikan hormon yang hilang dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Hormon yang dimasukkan bisa kombinasi estrogen dan progesteron atau estrogen saja. "Sebab, kalau hormon hilang, ya, seharusnya diganti hormon," kata dokter spesialis kandungan dan kebidanan Sjarief Darmasetiawan. Terapi ini sempat menjadi primadona karena terbukti berhasil mengatasi masalah ketidakseimbangan hormon pada perempuan yang mengalami menopause.

Namun kisah itu berbalik pada 2002. Pemakaian terapi sulih hormon bagi perempuan yang mengalami menopause menjadi kontroversi sejak ada publikasi kajian klinis dari Women's Health Initiative (WHI), lembaga khusus perempuan di bawah Departemen Kesehatan Amerika Serikat. Awalnya, pada Juli 2002, mereka menemukan bahwa pada perempuan postmeno­pause yang melakukan terapi sulih hormon terjadi penggumpalan di pembuluh vena. Risiko penyakit yang mungkin adalah stroke hingga kanker payudara.

Kajian pun berlanjut. Pada 2010, WHI menyatakan bahwa terapi sulih hormon pada postmenopause meningkatkan risiko penyakit jantung. Di Eropa dan Amerika, terapi sulih hormon acap digunakan karena keluhan dominan ketika menopause adalah hot flashes atau serangan panas akibat pengubahan kadar hormon yang mempengaruhi pengaturan suhu tubuh. "Bahkan di tempat berpenyejuk udara pun perempuan bisa pingsan karena kepanasan," ucap Sjarief, yang juga wakil Indonesia di International Menopause Society (IMS).

Kajian WHI mengguncang dunia medis. Menurut International Menopause Society, rekomendasi WHI menyebabkan terjadi penurunan dramatis penggunaan terapi sulih hormon di seluruh dunia. Jurnal Kesehatan New England menurunkan data tentang efek WHI terhadap penggunaan terapi sulih hormon. Di Amerika Serikat, penggunaan terapi sulih hormon langsung turun 38 persen pada akhir 2002, tahun yang sama dengan peluncuran kajian WHI. Pada 2001, ada 61 juta resep terapi sulih hormon per tahun, akhir tahun 2002 berkurang jadi 47 juta, pada 2003 menukik jadi 27 juta resep, dan pada 2004 turun lagi jadi 21 juta.

Juli lalu, majalah Time dan Forbes melansir data penurunan itu. Menurut mereka, penggunaan terapi sulih hormon untuk perempuan usia 50-59 tahun pada 2001-2011 turun sebesar 79 persen. Pada tahun 2000, di Amerika Serikat, ada 22,4 persen perempuan menopause yang menggunakan terapi itu. Tapi, pada 2011, jumlahnya tinggal 4,7 persen.

Satu dekade dari temuan WHI yang menghebohkan tersebut, tepatnya tahun lalu, keluar konsensus global terhadap penggunaan terapi sulih hormon yang dibuat berbagai lembaga kesehatan internasional. Pernyataan itu menyebutkan bahwa terapi sulih hormon tetap terapi paling efektif mengatasi gejala vasomotor, denyut jantung tidak teratur, hingga gangguan psikologis. Terapi ini juga ampuh dan layak sebagai pencegahan masalah patah tulang selama osteoporosis akibat menopause.

Direktur Eksekutif The North American Menopause Society Wulf Utian dalam siaran pers yang dikeluarkan IMS pada 5 Juli 2012 mengatakan efek publikasi WHI sudah mengancam perempuan Amerika. Diperkirakan terjadi tambahan 43 ribu kasus patah tulang saban tahun di Amerika Serikat karena putus terapi hormon. Jumlah yang lebih besar lagi diduga terjadi peningkatan gangguan penyakit jantung. Belum lagi dampak bagi penurunan kualitas hidup karena seringnya mengalami hot ­flashes dan tidur tak nyenyak.

"Ini adalah dampak dari publikasi yang tidak seluruhnya betul," ujar Sjarief. Tidak seluruhnya benar? Sebenarnya kajian WHI tersebut dilakukan pada wanita postmenopause, perempuan 65 tahun. "Itu bukan usia semestinya terapi sulih hormon diberikan," ucap pria yang mendapat gelar doktor dari Universitas Gadjah Mada dari penelitian terhadap fitoestrogen untuk perempuan menopause pada 18 Desember 2013 itu. Padahal terapi sulih hormon tidak boleh dilakukan pada perempuan berusia di atas 60 tahun atau lebih dari 10 tahun setelah mengalami menopause. Bahkan, menurut Sjarief, terapi itu idealnya diberikan sebelum menopause atau masa transisi sehingga proses adaptasi tubuh lebih baik.

Selain itu, kata Taufik Jamaan, terapi ini sebaiknya dilakukan dalam jangka pendek. "Jangan diberi lebih dari enam siklus menstruasi," ujarnya. Setiap kali hormon diberikan, dokter harus mengevaluasi apakah penyulihan ini berdampak atau tidak. Kalau dari evaluasi diketahui pemberian hormon tidak memberi efek terhadap tubuh, tak ada gunanya produksi hormon ini dipicu dengan terapi sulih.

Apa yang disampaikan Sjarief dan Taufik sejalan dengan apa yang disampaikan WHI dalam siaran pers mereka pada Oktober lalu. Menurut WHI, terapi sulih hormon bisa jadi pilihan untuk mengatasi gejala awal menopause. "Khususnya bagi perempuan yang lebih muda dan dilakukan dalam jangka pendek," ucap Jacques Rossouw, MD, Ketua Cabang Women's Health Initiative, yang berkoordinasi dengan Institut Darah, Paru, dan Jantung Nasional (NHLBI).

Keputusan menggunakan terapi hormon memang tidak mudah. WHI, kata Rossouw, meminta setiap perempuan menanyakan semua faktor risiko yang mereka miliki ke dokter sebelum menjalani terapi sulih hormon.

Dianing Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus