AGAKNYA Prof. Dr. Bahder Djohan, 79 tahun, termasuk tokoh
yang jarang. Ia pernah mengundurkan diri dari jabatan rektor
Universitas Indonesia, 1958, karena tak menyetujui sikap
pemerintah dalam peristiwa PRRI dan Permesta yang meletus 1957
itu.
Tentu saja bukan karena itu kalau Sabtu 6 Desember lalu ia
menerima Bintang J asa Pratama Kelas 11 dari Pemerintah Rl. Itu
tanda jasa bagi usahanya merintis berdirinya Palang Merah
Indonesia, 17 September 1945.
"Sebenarnya PMI sudah dicoba dilahirkan tahun 1938, "
tuturnya bersemangat - meski dalam dada kirinya mendekam alat
pacu jantung. Waktu itu ada Kongres Palang Merah Indonesia
cabang Hindia Belanda. Bahder dan seorang temannya (almarhum dr.
Senduk) hadir, dan mengusulkan berdirinya PMI. Tapi ketua
kongres menjawab dengan ketus: "Kalian inlande tak tahu arti
perikemanusiaan," kata Bahder menirukan.
Kontan Bahder berang. Lantas dalam kongres itu ia
menuturkan pengalamannya: Tahun 1932, baru beberapa tahun
menjadi dokter, Bahder mengadakan perjalanan Jakarta-Semarang.
Di sekitar Tegal bisnya terguling, dan beberapa orang luka.
Sebuah mobil yang dikemudikan seorang Belanda diminta berhenti,
untuk membawa dua orang yang luka parah ke rumah sakit. Si
Belanda menolak. Nah, inl.
Kini Prof. Bahder, yang hanya mempunyai satu-satunva putri
dan telah menikah,kesehatannya semakin mundur. Bintang jasa ini
pun terpaksa diberikan Menteri Kesehatan di rumah Bahder. Meski
begitu ia masih menjabat Rektor Universitas Ibnu Khaldun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini