Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Balita Di Kota (Dan Desa)

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) membuka kursus penyegar ibu dan balita. bertepatan dengan tahun anak-anak sedunia, sebagian besar anak balita indonesia tumbuh begitu saja. (pdk)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kampung-kampung di Jakarta, memang terasa ada "pengangguran' anak balita (di bawah usia lima tahun). Mereka umumnva, seperti terlihat di sepanjang Kali Malang, dileras hebas oleh orangtua mereka. Sebagian besar hanya duduk-duduk, berlari-lari hilirmudik. Hanya sebagian kecil yang nampak bermain, dengan mobil-mobilan kayu. Beberapa anak perempuan menggendong boneka. Itu agaknya merupakan gambaran sebagian besar anak balita di tanah air. Paling tidak, menurut data terakhir, dari 20 juta anak balita hanya 3 juta yang tertampung di taman kanak-kanak (untuk klas di bawah lima tahun), atau kelompok bermain, karang balita, taman gizi. Padahal makin disadari bahwa rangsangan bagi perkembangan mental dan fisik anak balita, banyak menentukan perkembangan kepribadian dan intelegensi selanjutnya. Itulah, resminya, yang mendorong Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) membuka kursus Penyegar Ibu dan Balita, 8-13 Desember. YKAI sendiri berdiri tahun lalu. bertepatan dengan Tahun Anak-anak Sedunia. "Yang dilakukan sebagian besar ibu dalam mengasuh anaknya hanya secara insting saja," kata Ny. Kosasih, Sekretaris YKAI. "Belum ada kesadaran bahwa perkembangan anak-anak, terutama di bawah lima tahun, harus juga dirangsang. " Desa Turen Memang, selama ini belum ada satu penelitian intensif, yang mencoba membuktikan perbedaan perkembangan anak yang mendapat pembinaan dan yang tidak. Sejumlah penelitian yang dilakukan fakultas psikologi--UI atau UGM --masih sangat terbatas lingkupnya. Dari yang terbatas itu, Dr. Utami Munandar dari Fak. Psikologi UI menyimpulkan 3 cara mengasuh anak. Pertama yang otoriter, yang sangat membatasi kebebasan anak. "Tapi yang begitu itu cuma sebagian kecil orangtua," katanya. Kedua, yang demokratis. i'Ada kebebasan, tapi dengan disiplin. Segala yang dilarang atau diperbolehkan dijelaskan sebabnya kepada si anak," tambah Ny. Munandar. Dan yang terbanyak, menurut pengamatannya, yang membiarkan begitu saja anak-anaknya. Masih mendingan kalau keluarga yang "membiarkan begitu saja" itu masih memiliki fasilitas guna merangsang perkembangan. Misalnya ada majalah anak-anak, tape recorder, surat kabar, tv. Satu penelitian di desa Turen, Jawa Timur, tahun lalu, membuktikan bahwa anak-anak desa yang dibiarkan begitu saja dan di rumah tak ada fasilitas tertentu, ternyata hasil tes kecerdasannya. prestasi belajar dan tes kreativitasnya, di bawah anak-anak kita. Tapi haruskah gaya hidup warga kota yang kelas menengah ditiru keluarga desa? YKAI menjawab: tidak. Ada satu jalan yang ditawarkn memberi pengertian kepada orangtua, terutama para ibu, bagaimana merangsang perkembangan mental dan fisik anak sesuai kernampuan diri dan lingkungannya. Kursus yang diadakan dalam rangka itU memang baru satu langkah pendek. Baru diikuti 88 ibu dari DKI, Ja-Bar dan Yogyakarta. Diharapkan, peserta kursus akan menyebarluaskan yang diperolehnya dalam lingkungan masing-masing. Dan YKAI merencanakan kursus ini akan diadakan 4 atau 5 bulan sekali. Materi kursus agaknya memang menarik. Dra. Ediasri, Ketua Bagian Psikologi Anak UI, yang ikut memberikan makalah tentang pengaruh cara-cara mengasuh anak sampai umur 2 tahun, memberi contoh cara mengasuh yang merugikan. Menurut dia, anak yang sering dikurung dalam box dengan kelambu putih, dari segi kesehatan memang baik. Tapi ruang pandangan yang terbatas itu kurang melatih si anak menyesuaikan diri dengan lingkungan. Yang bisa membeli box dengan kelambu itu tentu mereka yang mampu-setidaknya bukan mpok-mpok di desa. Barangkali tidak disinggung oleh si penceramah, bahwa dengan demikian anakanak kampung yang hidup di alam terbuka, "lebih baik masa depannya". Lagi pula bukankah mereka "terpaksa" membuat alat-alat permainannya sendiri (sangkar burung pelepah rumbia, terompet batang padi, kuda-kudaan dari pelepah pisang, "alat musik" dari kaleng) dan bukannya membeli, seperti anak kota? Sayang sekali bila--seperti kata Ny. Munandar--dunia kreatif anak dusun itupun sudah mulai pudar oleh serbuan gaya hidup kota yang "serba membeli". Apa lagi disebarluaskan oleh tv, bukan? Di Indonesia memang belum ada satu pusat pengasuhan anak balita bagi kalangan kurang mampu. Di Equador, Amerika Latin, di sebuah desa miskin, Unicef -- badan PBB yang mengurusi soal anak-anak--mendirikan satu pusat seperti itu. Di sana anak-anak 3-6 tahun berkumpul setiap pagi. Bermain wayang wayangan, menata balok, bermain dengan alat-alat buatan setempat. Habis bermain ada acara makan bersama. Menurut ibu-ibu di sana, pusat pengasuhan anak itu memang sangat membantu mereka dalam membuat anak mereka "lebih cerdik".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus