DI kampung-kampung di Jakarta, memang terasa ada
"pengangguran' anak balita (di bawah usia lima tahun). Mereka
umumnva, seperti terlihat di sepanjang Kali Malang, dileras
hebas oleh orangtua mereka. Sebagian besar hanya duduk-duduk,
berlari-lari hilirmudik. Hanya sebagian kecil yang nampak
bermain, dengan mobil-mobilan kayu. Beberapa anak perempuan
menggendong boneka.
Itu agaknya merupakan gambaran sebagian besar anak balita
di tanah air. Paling tidak, menurut data terakhir, dari 20 juta
anak balita hanya 3 juta yang tertampung di taman kanak-kanak
(untuk klas di bawah lima tahun), atau kelompok bermain, karang
balita, taman gizi. Padahal makin disadari bahwa rangsangan bagi
perkembangan mental dan fisik anak balita, banyak menentukan
perkembangan kepribadian dan intelegensi selanjutnya.
Itulah, resminya, yang mendorong Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI) membuka kursus Penyegar Ibu dan Balita, 8-13
Desember. YKAI sendiri berdiri tahun lalu. bertepatan dengan
Tahun Anak-anak Sedunia.
"Yang dilakukan sebagian besar ibu dalam mengasuh anaknya
hanya secara insting saja," kata Ny. Kosasih, Sekretaris YKAI.
"Belum ada kesadaran bahwa perkembangan anak-anak, terutama di
bawah lima tahun, harus juga dirangsang. "
Desa Turen
Memang, selama ini belum ada satu penelitian intensif, yang
mencoba membuktikan perbedaan perkembangan anak yang mendapat
pembinaan dan yang tidak. Sejumlah penelitian yang dilakukan
fakultas psikologi--UI atau UGM --masih sangat terbatas
lingkupnya.
Dari yang terbatas itu, Dr. Utami Munandar dari Fak.
Psikologi UI menyimpulkan 3 cara mengasuh anak. Pertama yang
otoriter, yang sangat membatasi kebebasan anak. "Tapi yang
begitu itu cuma sebagian kecil orangtua," katanya.
Kedua, yang demokratis. i'Ada kebebasan, tapi dengan
disiplin. Segala yang dilarang atau diperbolehkan dijelaskan
sebabnya kepada si anak," tambah Ny. Munandar. Dan yang
terbanyak, menurut pengamatannya, yang membiarkan begitu saja
anak-anaknya.
Masih mendingan kalau keluarga yang "membiarkan begitu
saja" itu masih memiliki fasilitas guna merangsang perkembangan.
Misalnya ada majalah anak-anak, tape recorder, surat kabar, tv.
Satu penelitian di desa Turen, Jawa Timur, tahun lalu,
membuktikan bahwa anak-anak desa yang dibiarkan begitu saja dan
di rumah tak ada fasilitas tertentu, ternyata hasil tes
kecerdasannya. prestasi belajar dan tes kreativitasnya, di
bawah anak-anak kita.
Tapi haruskah gaya hidup warga kota yang kelas menengah
ditiru keluarga desa? YKAI menjawab: tidak. Ada satu jalan yang
ditawarkn memberi pengertian kepada orangtua, terutama para
ibu, bagaimana merangsang perkembangan mental dan fisik anak
sesuai kernampuan diri dan lingkungannya.
Kursus yang diadakan dalam rangka itU memang baru satu
langkah pendek. Baru diikuti 88 ibu dari DKI, Ja-Bar dan
Yogyakarta. Diharapkan, peserta kursus akan menyebarluaskan yang
diperolehnya dalam lingkungan masing-masing. Dan YKAI
merencanakan kursus ini akan diadakan 4 atau 5 bulan sekali.
Materi kursus agaknya memang menarik. Dra. Ediasri, Ketua
Bagian Psikologi Anak UI, yang ikut memberikan makalah tentang
pengaruh cara-cara mengasuh anak sampai umur 2 tahun, memberi
contoh cara mengasuh yang merugikan. Menurut dia, anak yang
sering dikurung dalam box dengan kelambu putih, dari segi
kesehatan memang baik. Tapi ruang pandangan yang terbatas itu
kurang melatih si anak menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Yang bisa membeli box dengan kelambu itu tentu mereka yang
mampu-setidaknya bukan mpok-mpok di desa. Barangkali tidak
disinggung oleh si penceramah, bahwa dengan demikian anakanak
kampung yang hidup di alam terbuka, "lebih baik masa depannya".
Lagi pula bukankah mereka "terpaksa" membuat alat-alat
permainannya sendiri (sangkar burung pelepah rumbia, terompet
batang padi, kuda-kudaan dari pelepah pisang, "alat musik" dari
kaleng) dan bukannya membeli, seperti anak kota? Sayang sekali
bila--seperti kata Ny. Munandar--dunia kreatif anak dusun itupun
sudah mulai pudar oleh serbuan gaya hidup kota yang "serba
membeli". Apa lagi disebarluaskan oleh tv, bukan?
Di Indonesia memang belum ada satu pusat pengasuhan anak
balita bagi kalangan kurang mampu. Di Equador, Amerika Latin, di
sebuah desa miskin, Unicef -- badan PBB yang mengurusi soal
anak-anak--mendirikan satu pusat seperti itu. Di sana anak-anak
3-6 tahun berkumpul setiap pagi. Bermain wayang wayangan, menata
balok, bermain dengan alat-alat buatan setempat. Habis bermain
ada acara makan bersama. Menurut ibu-ibu di sana, pusat
pengasuhan anak itu memang sangat membantu mereka dalam membuat
anak mereka "lebih cerdik".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini