SESUAI dengan permintaan almarhum, jenazahnya Atmonadi
--dimakamkan di kuburan keluarga Daengan, dekat keraton
Yogyakarta, 22 Oktober. "Berdampingan dengan makam ibu
angkatnya, mbok Ico," ujar Ny. Suratmi, 56 tahun, istri pelawak
3 zaman itu.
Pak Atmo meninggal 21 Oktober malam di RS Husada, dalam usia 63
tahun. Avah empat anak dan kakek sepuluh cucu itu direnggut
penyakit jantung yang sudah lama dideritanya. Tak sedikit yang
merasa kehilangan. Di rumahnya di Jalan Cikini Raya, Jakarta,
para pelayat memenuhi ruangan. Sedang di Yogya ribuan warga meng
iringkan kepergiannya ke makam. Termasuk belas KSAD Jenderal
(purn) Widodo, Walikota Yogya Sugiarto dan bekas Menpen H.
Budiardjo.
Atmonadi memang dekat di hati -- khususnya pada orang Jawa
Tengah. Barangkali ia juga bisa dijadikan lambang orang kecil
yang melejit dan besar dari tengah kehidupan keraton. Ayahnya
semasa hidupnya adalah seorang abdi-dalem dan pemain ketoprak.
Kedua 'peran' itu kemudian dilanjutkan sang anak. Dalam usia 15
tahun Atmonadi (nama aslinya Slamet) bersama adiknya, Johny
Gudel -- juga kelak dikenal sebagai pelawak, eks-Srimulat --
memasuki grup ketoprak Mardi Wardoyo. Sementara itu Slamet juga
jadi abdi keraton, pada bagian pemadam kebakaran. Dan karena itu
lantas ia memperoleh nama Atmonadi.
Kemahirannya melawak mulai berkembang ketika ia sering
memperoleh peranan tokoh Punakawan (Gareng) dalam pementasan
kesenian daerah. Kemudian, bersama antara lain almarhum Basiyo
bergabung dalam kelompok dagelan mataram 'Barisan Kuping Hitam'.
Belakangan ia ikut kelompok 'Ayo Ngguyu' bersama Harjomulyo dan
sering muncul di TVRI.
Kecuali melawak, mendiang juga terkena sebagai penari Bancak
Doyok. "Suaranya bagus dan lucu. Dan keluwesan tariannya belum
tertandingi sampai sekarang," tutur istrinya. Sedang sebagai
abdi keraton, meski ia hijrah ke Jakarta sejak 1960, "setiap 1
Muharam Bapak bertugas memandikan kereta kencana Kanjeng Nyai
Jimat, " cerita istrinya lagi. Sudah tentu 1 Muharam Kamis pekan
ini tugas itu tidak lagi padanya.
Dalam pada itu Johny Gudel--yang sejak beberapa lama terbaring
di rumahnya karena sakit bengek dan rematik -- menangis
meraungraung mendengar kabar kematian kakaknya. Sedang saudara
kembar Pak Atmo, Ny. Broto (yang tinggal di Yogya), "Waktu Pak
Atmo sakit, juga ikut sakit," kata Sriyono, seorang anggota
keluarga.
Menurut Sriyono pula, dua bulan lalu Atmonadi diterima resmi
sebagai anggota Legiun Veteran. Komentarnya: "Wah, aku dapat
jatah di taman makam pahlawan, nih!" tutur Sriyono menirukan.
Menantunya, Ny. Toto Suharto, punya cerita lain. Seminggu
sebelurn sang mertua meninggal, katanya, Pak Atmo minta semangka
pada keluarga Presiden-Soeharto (semasa revolusi, Atmonadi
pernah jadi kurir antara Sri Sultan dengan Letkol Soeharto).
"Ibu Tien lantas mengirimkannya," lanjut si menantu. "Bapak
sangat gembira dan menyuruh membagikan buah semangka itu kepada
anak cucu. Saking gembiranya, bapak malah bisa menggerakkan kaki
kirinya-yang lumpuh."
Atmonadi juga punya kegemaran mengukir kayu. Ukiran terakhirnya,
dikerjakan di rumah menantunya, adalah lambang Golkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini