SEJAK dua tahun belakangan ini penduduk Kampung Petir diserang
penyakit kulit. Rasa gatal menjangkiti sebagian besar penduduk
yang berjumlah sekitar 5.000 jiwa itu. Kampung miskin yang
sebagian besar penghuninya terdiri dari buruh tani itu, terletak
di Desa Bojongsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor (Ja-Bar)
-- di pinggir jalan Bogor-Jakarta, lewat Parung.
Penyakit itu mula-mula berjangkit di sekitar pangkal paha.
Penderita biasanya suka menggaruk-garuk, karena gatal tak
tertahankan. Akibatnya kulit berwarna kemerah-merahan dan
mengeluarkan cairan bening. Penduduk menyebutnya gudik.
"Pendeknya orang sini, lelaki maupun perempuan, sudah tak
malu-malu lagi menggaruk-garuk paha di muka umum," kata Saar,
salah seorang penduduk kampung itu. Dalam waktu setengah bulan
penyakit itu menjalar ke seluruh tubuh.
Penyakit itu biasanya juga menyerang seluruh anggota keluarga,
karena gampang sekali menular. Manaf, berikut istri dan delapan
anak-anaknya termasuk keluarga yang menderita gatal-gatal
itu.'Yang paling parah kedua anaknya yang masih kecil, Rahimah
dan Iwan, 4 dan 2 tahun. Sekujur tubuh kedua bocah itu memerah
dan berair.
"Kedua anak itu bahkan tak bisa lagi mengenakan pakaian. Habis
tubuhnya banyak seperti itu," kata istri Manaf. Untunglah, 21
Oktober lalu Puskesmas Kecamatan Sawangan membuka pengobatan
cuma-cuma. Puluhan penduduk, terutama anak-anak, diboyong ke
balai pengobatan yang berjarak 2 km dari Kampung Petir itu. Hari
itu 41 orang penderita yang tergolong parah diobati.
Sungai
Sampai akhir minggu lalu belum ada penyelidikan mengenai
sebab-musabab penyakit gatal itu.
Tapi penduduk menuding
PT Bojong Perkasa Indah, sebuah perusahaan peternakan ayam
di tengah-tengah pemukiman penduduk Petir sebagai penyebabnya.
Peternakan besar itu bertembok beton dan seng setinggi 3
meter--segera terlihat menyolok di tengah sawah dan rumah-rumah
penduduk yang nampak reot.
Peternakan itu rnemang terletak di kawasan desa yang agak
tinggi--di bawahnya mengalir sebuah sungai kecil. Di sungai
itulah penduduk Petir mandi dan mencuci setiap hari. Mereka juga
mempergunakan air sungai tersebut untuk minum, berikut untuk
mengairi sawah dan kolam-kolam ikan. Pendeknya sungai yang
lebarnya hanya dua setengah meter itu sangat vital bagi
penduduk.
Melalui dua batang pipa pembuangan, peternakan itu melempar
limbahnya ke sungai tersebut. Lebih celaka lagi di musim hujan.
Karena letaknya di ketinggian, air hujan menyeret semua kotoran
ayam ke sungai, sawah, kolam dan pekarangan penduduk. Ditambah
lagi hampir setiap hari tak kurang dari 10 bangkai ayam dibuang
ke sungai itu.
Eng Kim alias Halim Sulaiman, 41 tahun, Direktur PT Bojong
membantah tudingari penduduk. "Lihat saja betapa bersihnya
kandang-kandang ayam saya," kilahnya sengit. Ketika dua petugas
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor memeriksa ke sana minggu lalu,
kandangkandang itu memang dibersihkan secara besar-besaran.
Celupkan Kaki
Eng Kim kemudian menuduh penduduk iri melihat usahanya maju.
Padahal, katanya, setiap lebaran ia selalu memberi beras dan
pakaian kepada penduduk yang tinggal di sekitar peternakan. PT
Bojong saat ini memiliki 17 kandang besar di atas areal 2 ha,
memelihara 15.000 ayam petelur. Usaha itu dimulai sejak dua
tahun lalu.
Tapi penduduk tetap menuduh peternakan.itu sebagai sumber
penyakit. Mereka menunjuk ke saluran limbah dari peternakan itu
yang setiap hari mengalirkan air berwarna hijau dan berbau
busuk. "Kalau mau merasakan gatalnya, celupkan kaki sekali saja
ke dalam air sungai dekat saluran limbah itu," kata Enton, Ketua
RT III Karnpung Petir.
Menurut dr. Satriani, Kepala Puskesmas Sawangan, penyakit yang
menyerang penduduk itu adalah sebangsa kadas yang disertai
infeksi. Penyebabnya semacam virus yang cepat menular. Virus itu
muncul karena lingkungan hidup yang kotor. Minggu lalu Satriani
meninjau sungai kecil itu. Ia tak bisa memastikan apakah air
sungai itulah penyebab gatal-gatal tersebut. Ia hanya mengambil
contoh air untuk diperiksa di laboratorium. Tapi ia sendiri
melihat "limbah peternakan itu memang dibuang ke sungai itu."
Muhammad Arsyad, Kepala Desa Bojongsari, ikut resah. Ia merasa
sudah berkali-kali memperingatkan Eng Kim. "Tapi tidak digubris,
mungkin ia menganggap saya ini kecil saja," katanya. "Karena itu
saya mau apa lagi. Paling-paling melapor atasan," tambahnya.
Untuk sementara hampir setiap malam Arsyad berusaha
menenteramkan hati penduduk. "Saya tak mau peristiwa seperti di
Depok terjadi di sini. Sebab yang akan susah rakyat juga,"
katanya. Beberapa waktu lalu peternakan ayam di Depok dirusak
penduduk karena dianggap mencemari lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini