BEKAS pemimpin redaksi Harian Abadi yang terkenal itu, berpulang
ke rahmatullah Soemarso Soemarsono. Senin, 20 Maret pukul 6.45,
di Rumah Sakit Istana Jakarta.
Ia menderita penyakit wazir (dengan komplikasi) yang diidapnya
sejak muda. Menurut KH Saleh Iskandar, tokoh Pesantren Darul
Falah, Bogor, penyakit itu kambuh kembali terutama setelah
mengalami pemeriksaan dalam tahanan di Gang Buntu Cidodol,
Jakarta, 1978. Saleh Iskandar adalah salah seorang temannya
setahanan, dan mereka -- bersama beberapa yang lain -- dituduh
terlibat dalam "gerakan 20 Maret" menjelang sidang MPR 1978.
Pada akhir hayatnya Soemarso sendiri berstatus tahanan luar.
Toh itu bukan penahanannya yang pertama. Setelah korannya
dihentikan penerbitannya di zaman Soekarno, 1961, Desember 1963
ia diambil dan dijebloskan ke penjara Kalisosok, Surabaya --
sampai ia dibebaskan di Jakarta di awal Orde Baru 1966.
Bahkan pada 1948 ia juga ditahan -- oleh PKI yang memberontak di
Madiun --bersama ayahnya, seorang anggota polisi, yang kemudian
dibunuh. Itu ada disebut dalam bukunya, Pengalaman Dari Tiga
Penjara, 1971.
Lahir di Magetan, 19 Agustus 1928, ia mencapai pendidikan sampai
klas terakhir SGA di Sala -- sambil aktif dalam barisan TP,
Tentara Pelajar dan di masa Aksi Militer Belanda II turut
bergerilya di sekitar Magetan dan Madiun. Pegawai Kantor
Penerangan Agama Provinsi Jawa Timur ini (sampai 1958) menjadi
wartawan Pewarta Surabaya sampai 1952, terpilih sebagai
ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Ja-Tim sekaligus
Sekretaris Masjumi wilayah yang sama 1953, pemimpin redaksi
harian Haluan Rakyat Surabaya 1955, ketua II Pucuk Pimpinan GPII
(ketua umumnya E.Z. Muttaqien) 1959 -- sampai GPII dibubarkan
Soekarno 1963.
Bertubuh agak kecil, sangat baik hati dan lembut, Soemarso
dikenal sebagai rang yang zuhud, tidak cinta dunia.
Ia muncul di Harian Abadi 1959-1961 sebagai wakil penlimpin
redaksi. Dan setelah Abadi diizinkan terbit kembali pada 1968 ia
jadi pemimpin redaksinya sampai koran itu dicabut SIT-nya
setelah peristiwa Januari 1974. Namun ia juga penyair -- bahkan
mungkin pada dasarnya ia sastrawan. Sajaknya dimuat misalnya di
majalah Mimbar Inonesia, kadang dengan nama samaran 'Osram'
(konversi dari 'Marso').
Soemarso meninggalkan seorang istri, Ny. Soelijah, tiga anak
laki-laki pertama yang kuliah di Fak. Teknik UI, kedua di Fak.
Ekonomi UI merangkap Fak. Teknik Universitas Muhammadiyah,
ketiga di Seni Rupa ITB dan seorang anak gadis yang masih di
SMP. Namun ia tak meninggalkan harta bahkan sampai akhir
hayatnya ia tak pernah punya rumah sendiri.
Jenasahnya dimakamkan Jumat itu juga di pekuburan Menteng Pulo,
Jakarta, diiringkan antara lain oleh KH. E.Z. Muttaqien, Moh.
Natsir, Sjafruddin Prawiranegara. Burhanuddin Harapan, Deliar
Noer, Dr. Anwar Haryono, H. Rosihan Anwar, Mara Karma, H.S.M.
Syaaf, Abdul Rahman Saleh SH dari LBH dan Bahrun Martosukarto
SH dari LKH.
Chudori, dari Pengurus Pusat PWI, dalam sambutan di pemakaman
menyebut kelebihan Soemarso yang antara lain tetap menolak
menyebut sumber dari data dan angka yang ditulisnya di korannya
-- "sampal-sampai ia memikul akibat berpegang teguh pada kode
etik yang kami semua merasa sebagai dipikul oleh dia sendiri."
Moh. Roem, pada kesempatan itu juga menuturkan keyakinan penulis
yang pernah diucapkan kepadanya. "Seorang wartawan itu," Roem
berkisah, "kalau mulai menulis, haruslah yakin bahwa ia bersih
dari rasa dendam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini