SETELAH dirawat tiga minggu di RSUP dr. Jamil, Padang, Rabu
pekan lalu pelukis naturalis Wakidi meninggal dunia, dalam usia
95 tahun.
Konon sempat diselesaikan sebanyak 1000 lukisan pemandangan
alam. Yang terkenal, Ngarai Sianok, menjadi koleksi Presiden
Soekarno. Waktu itu, tahun 50-an, Wakidi tak mau dibayar uang.
Akhirnya oleh Presiden RI pertama itu lukisan tersebut ditukar
dengan sebuah tiket, yang berlaku seumur hidup dan bisa
digunakan secara cuma-cuma untuk naik pesawat terbang, bis atau
kereta api dalam wilayah Indonesia. Tapi tak sekalipun itu
dimanfaatkan oleh Wakidi. Kecuali ia agaknya tak suka benar
bepergian, pelukis ini termasuk bernasib baik selalu cukup uang.
Lahir di Palembang, dibesarkan dan kemudian berdiam sampai akhir
hayatnya di Bukittinggi. Berkat gurunya di Kweekschool
(setingkat SPG sekarang), dia dikirim ke Semarang dan belajar
melukis kepada pelukis Belanda Van Dijk. (Awal abad XX
pemerintah Hindia Belanda banyak mendatangkan pelukis
pemandangan dari Negeri Belanda untuk melukis pemandangan di
Indonesia). Dia sempat pula menjadi guru di Sekolah Raja
Bukittinggi, 1911. Kemudian masih terpakai sebagai guru di SMA
I, II dan III Bukittinggi hingga 1974. Bekas muridnya antara
lain Bung Hatta dan Motinggo Boesje -- sastrawan yang kemudian
populer dengan novel popnya itu. Juga pelukis Baharuddin Mara
Sutan, bekas dosen di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta.
Wakidi meninggalkan 11 anak dari istri pertama (meninggal 1950),
dan 2 anak dari istri kedua. Semuanya sudah bekeluarga dan
memberikan 112 cucu bagi pelukis itu.
Jenazahnya dimakamkan keesokan harinya di pemakaman Mandi Angin,
Bukittinggi. Hadir antara lain Rektor IKIP Padang dan Walikota
Bukittinggi. Almarhum mendapat anugerah seni dari Menteri P&K,
bertepatan dengan Hari Proklamasi tahun 1979.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini