Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

1979: kenangan, mungkin renungan

5 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH rakyat hanya bagian dari alam pedesaan yang bersahaja dan diam? Di Jenggawah, Jawa Timur, dan Siria-ria, Sumatera Utara, tahun 1979 memberi tanda lain. Para petani di pedalaman itu tiba-tiba kasih unjuk kesadaran mereka tentang yang selama ini mereka anggap hak mereka. Ada yang keras, ada yang lunak: hanya datang ke Jakarta mengadu ke DPR. Bentuk kongkrit hak itu adalah tanah garapan. Dan dalam kalender Indonesia, 1979 mungkin bisa disebut "Tahun Tanah". Tapi bukankah juga bisa disebut "Tahun Hak"? Banyak orang telah dikecohkan oleh persepsi yang tak lengkap tentang sejarah. Rakyat Indonesia bukanlah lagi rakyat Jawa abad 17. Mereka bukan lagi unsur bisu dari struktur kekuasaan -- yang paling-paling hanya bisa mengemukakan protes melalui cara pepe atau berjemur agar diperhatikan sang penguasa. Abad 19 telah mengubah banyak hal. Gelombang protes petani, seperti ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo, begitu banyak terjadi selama hampir dua abad belakangan ini. Dengan kata lain, rakyat bukanlah si polos yang serba mau menerima dan hanya bersuara jengkel kalau dihasut. Mereka dulu pun ingin merdeka bukan karena sejumlah politikus, segerombol elite yang menyusup dari kota. Agaknya baru di tahun 1979 orang teringat itu lagi. Jangan cemas: itu pun suatu kemajuan. *** TAPI mungkin juga 1979 bisa disebut "Tahun Suara Islam". Ada revolusi Iran, ada peringatan luas menyambut abad ke-15 Hijriyah. Ada gelombang rakyat di Pakistan yang tiba-tiba membakar gedung kedutaan besar Amerika Serikat. Negeri ini dituduh Ayatullah Khomeini mendalangi suatu kejadian yang luar biasa: Masjid Suci di Mekah diduduki orang-orang bersenjata. Kejadian di Masjidil Haram itu sendiri juga letupan dari suara yang terpendam. Para pemuda yang menduduki Masjid Suci itu konon menyerukan pemurnian kembali hidup beragama, dan menghendaki Arab Saudi yang lebih jauh dari pengaruh Barat. Suara Islam 1979 nampaknya memang anti-Barat. Tentu saja ada alasan untuk itu. Kita kenal kolonialisme di waktu yang baru lalu, kita kenal rasa terpijak dan terpojok di masa sekarang. Tapi di tahun 1979 juga dari Barat datang protes atas pelanggaran hak-hak asasi. Dari Barat juga datang pertolongan untuk para pengungsi -- termasuk anak yatim piatu Kambodia yang kelaparan, ketakutan dan kehilangan -- lebih dari negeri Islam atau sosialis manapun. Dan dari Barat juga datang buah-buah pikiran yang mencari alternatif bagi cara pembangunan yang "meniru Barat" dewasa ini. Barat dengan demikian tak cuma keunggulan teknologi, polusi dan pornografi. Sikap "anti-Barat" hanya akan berarti, bila dari dalamnya cukup tindakan luhur, inspirasi kebijaksanaan, dan sumbangan pemikiran yang mengatasi kemacetan ideologi-ideologi dewasa ini. Bisakah Islam? Kata Abdurachman Wahid: "Ini berarti prakarsa individu, kreativitas, harus diberi tempat sebesar-besarnya. Ini juga berarti keberanian menerima pikiran-pikiran kosmopolitan pikiran yang jujur dari orang yang mengaku dirinya Islam tanpa memandang agamawan atau bukan ù ù *** DI tahun 1979 burung-burung dilepas, orang-orang mencoba sepeda kembali, pohon-pohon di hutan ramai diributkan. Apa yang disebut "lingkungan" menjadi sesuatu yang penting -- setidaknya dalam kata-kata dan nyanyian. Sudah jauhkah kita dari alam hingga kita ingin mendekatkan diri kembali? Tidak. Kesadaran akan lingkungan bukanlah sekedar rasa kangen. Gempa, gas beracun, banjir, semua itu menunjukkan betapa masih tergantungnya kita kepada stabilitas alam. Kesadaran akan lingkungan dengan demikian juga mengandung rasa takut yang purba: ternyata alam mengandung ketentuan-ketentuan yang tak terduga. Sedikit saja kita ganggu, sesuatu yang mencelakakan mungkin terjadi ..... Dulu pembangunan hampir sama dengan pengertian "mengalahkan alam". Kini kita tak tahu persis lagi. Manusia ternyata perlu belajar kembali, pada setiap babak. Tak ada rumus penyelesaian yang dijamin akan selamanya benar. Karena itu hanya suatu kesalahan untuk menganggap pembangunan adalah proses memecahkan masalah, titik. Sebab setiap kali satu problem selesai, akan selalu timbul problem baru. Hanya orang-orang tua yang punya ingatan baik akan mengetahui bahwa ada problem-problem yang sudah dipecahkan. Anak-anak muda (yang pada kita jumlahnya lebih banyak) hanya tahu problem-problem baru yang belum terpecahkan. Mereka tak bisa memperbandingkan, dan tentu saja mereka jengkel. Dan itu juga satu problem. Memang tak mudah dielakkan. Tapi mungkin karena itu "pembangunan" perlu diberi pengertian lain, yang selama ini tersembunyi, suatu proses di mana kita semua bersiap untuk menghadapi hambatan dan tantangan dari waktu ke waktu. Seorang pengail layak bergembira karena memperoleh ikan, tapi ia harus lebih bergembira mendapatkan kecakapan untuk terus memperoleh ikan. Sebab kita mau tak mau harus memasuki dasawarsa baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus