BENARKAH rakyat hanya bagian dari alam pedesaan yang bersahaja
dan diam? Di Jenggawah, Jawa Timur, dan Siria-ria, Sumatera
Utara, tahun 1979 memberi tanda lain.
Para petani di pedalaman itu tiba-tiba kasih unjuk kesadaran
mereka tentang yang selama ini mereka anggap hak mereka. Ada
yang keras, ada yang lunak: hanya datang ke Jakarta mengadu ke
DPR.
Bentuk kongkrit hak itu adalah tanah garapan. Dan dalam kalender
Indonesia, 1979 mungkin bisa disebut "Tahun Tanah". Tapi
bukankah juga bisa disebut "Tahun Hak"?
Banyak orang telah dikecohkan oleh persepsi yang tak lengkap
tentang sejarah. Rakyat Indonesia bukanlah lagi rakyat Jawa abad
17. Mereka bukan lagi unsur bisu dari struktur kekuasaan -- yang
paling-paling hanya bisa mengemukakan protes melalui cara pepe
atau berjemur agar diperhatikan sang penguasa. Abad 19 telah
mengubah banyak hal. Gelombang protes petani, seperti ditulis
sejarawan Sartono Kartodirdjo, begitu banyak terjadi selama
hampir dua abad belakangan ini.
Dengan kata lain, rakyat bukanlah si polos yang serba mau
menerima dan hanya bersuara jengkel kalau dihasut. Mereka dulu
pun ingin merdeka bukan karena sejumlah politikus, segerombol
elite yang menyusup dari kota. Agaknya baru di tahun 1979 orang
teringat itu lagi. Jangan cemas: itu pun suatu kemajuan.
***
TAPI mungkin juga 1979 bisa disebut "Tahun Suara Islam". Ada
revolusi Iran, ada peringatan luas menyambut abad ke-15
Hijriyah. Ada gelombang rakyat di Pakistan yang tiba-tiba
membakar gedung kedutaan besar Amerika Serikat. Negeri ini
dituduh Ayatullah Khomeini mendalangi suatu kejadian yang luar
biasa: Masjid Suci di Mekah diduduki orang-orang bersenjata.
Kejadian di Masjidil Haram itu sendiri juga letupan dari suara
yang terpendam. Para pemuda yang menduduki Masjid Suci itu konon
menyerukan pemurnian kembali hidup beragama, dan menghendaki
Arab Saudi yang lebih jauh dari pengaruh Barat.
Suara Islam 1979 nampaknya memang anti-Barat. Tentu saja ada
alasan untuk itu. Kita kenal kolonialisme di waktu yang baru
lalu, kita kenal rasa terpijak dan terpojok di masa sekarang.
Tapi di tahun 1979 juga dari Barat datang protes atas
pelanggaran hak-hak asasi. Dari Barat juga datang pertolongan
untuk para pengungsi -- termasuk anak yatim piatu Kambodia yang
kelaparan, ketakutan dan kehilangan -- lebih dari negeri Islam
atau sosialis manapun. Dan dari Barat juga datang buah-buah
pikiran yang mencari alternatif bagi cara pembangunan yang
"meniru Barat" dewasa ini.
Barat dengan demikian tak cuma keunggulan teknologi, polusi dan
pornografi. Sikap "anti-Barat" hanya akan berarti, bila dari
dalamnya cukup tindakan luhur, inspirasi kebijaksanaan, dan
sumbangan pemikiran yang mengatasi kemacetan ideologi-ideologi
dewasa ini.
Bisakah Islam? Kata Abdurachman Wahid: "Ini berarti prakarsa
individu, kreativitas, harus diberi tempat sebesar-besarnya. Ini
juga berarti keberanian menerima pikiran-pikiran kosmopolitan
pikiran yang jujur dari orang yang mengaku dirinya Islam tanpa
memandang agamawan atau bukan ù ù
***
DI tahun 1979 burung-burung dilepas, orang-orang mencoba sepeda
kembali, pohon-pohon di hutan ramai diributkan. Apa yang disebut
"lingkungan" menjadi sesuatu yang penting -- setidaknya dalam
kata-kata dan nyanyian.
Sudah jauhkah kita dari alam hingga kita ingin mendekatkan diri
kembali? Tidak. Kesadaran akan lingkungan bukanlah sekedar rasa
kangen. Gempa, gas beracun, banjir, semua itu menunjukkan betapa
masih tergantungnya kita kepada stabilitas alam. Kesadaran akan
lingkungan dengan demikian juga mengandung rasa takut yang
purba: ternyata alam mengandung ketentuan-ketentuan yang tak
terduga. Sedikit saja kita ganggu, sesuatu yang mencelakakan
mungkin terjadi .....
Dulu pembangunan hampir sama dengan pengertian "mengalahkan
alam". Kini kita tak tahu persis lagi. Manusia ternyata perlu
belajar kembali, pada setiap babak. Tak ada rumus penyelesaian
yang dijamin akan selamanya benar.
Karena itu hanya suatu kesalahan untuk menganggap pembangunan
adalah proses memecahkan masalah, titik. Sebab setiap kali satu
problem selesai, akan selalu timbul problem baru. Hanya
orang-orang tua yang punya ingatan baik akan mengetahui bahwa
ada problem-problem yang sudah dipecahkan. Anak-anak muda (yang
pada kita jumlahnya lebih banyak) hanya tahu problem-problem
baru yang belum terpecahkan. Mereka tak bisa memperbandingkan,
dan tentu saja mereka jengkel. Dan itu juga satu problem.
Memang tak mudah dielakkan. Tapi mungkin karena itu
"pembangunan" perlu diberi pengertian lain, yang selama ini
tersembunyi, suatu proses di mana kita semua bersiap untuk
menghadapi hambatan dan tantangan dari waktu ke waktu. Seorang
pengail layak bergembira karena memperoleh ikan, tapi ia harus
lebih bergembira mendapatkan kecakapan untuk terus memperoleh
ikan.
Sebab kita mau tak mau harus memasuki dasawarsa baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini