SEORANG kawan meninggal, dan kita bertanya-tanya apa yang telah dihasilkannya. Hampir selalu. bila seorang kawan meninggal, saya bertanya-tanya tentang arti hidupnya. Lebih-lebih untuk Bastari, yang saya kenal lebih dari 20 tahun, yang pada saya lebih dari hanya rekan sekerja. Ahmad Bastari Asnin bukanlah "orang biasa" di TEMPO - meski ini mungkin bukan yang paling penting. Di majalah ini, untuk sekadar membeberkan "peta komposisi rekan-rekan", akhirnya memang banyak orang yang "tidak biasa". Dan di antara mereka itu Bastian, berusia 45 tahun lebih 84 hari ketika meninggal, termasuk sosok yang sudah "jadi orang" sebelum bergabung ke sini pada 1971. Beberapa hari yang lalu saya berpikir, apakah ia sudah "makin jadi orang" ketika meninggal. Tetapi, saya juga bertanya-tanya, apakah itu penting. Bagi Bastari sendiri, tampaknya hal seperti itu malah tak penting. Bekerja di HAnau KAMI sejak 1967 sampai sekitar empat tahun kemudian, Bastari seperti melanjutkan "garis perjuangan" yang telah ditempuhnya sejak dari Yogya, kota kelahirannya yang kedua. Di sanalah ia mencatat prestasi. Ia, misalnya. termasuk yang berada di barisan depan yang berhadapan dengan kalangan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)yang PKI itu. Bastari, mahasiswa Sospol UGM yang juga menjadi wartawan Suara Muhauuuuadiyah itu, salah satu kutub di Yogya. Pergaulannya yang luas, termasuk dengan kawan-kawan pelukis Sanggar Bambu. misalnya, prestasinya yang memungkinkannya memenangkan hadiah Sastra, majalah H.B. Jassin yang waktu itu merupakan kubu anti-PKI bagi kalangan seniman. penerbitan dua kumpulan cerpennya yang saya sukai, Di Tengah Padang (1962) dan Laki-Laki Rerkuda (1963), dan hubungannya yang akrab dengan Jakarta. menyebabkannya dipandang sebagai salah seorang yang paling banyak "tahu situasi". la, misalnya, adalah orang yang diejek Pramoedya Ananta Toer sebagai "lempung di tangan Jassin". Bahwa ia diperhitungkan para tokoh Lekra, besar artinya bagi saya. Ia mendirikan Ikatan Sastrawan Muda Islam (ISMI), dan menjadi ketuanya yang pertama. Ia menjadi mentor banyak penulis yang lebih muda, termasuk saya. Dan kemudian ia kawin. Dan kemudian terjadi kudeta. Dan kemudian kami praktis berpisah. Hidup merambat pelan-pelan, dan ia membawa perubahan. Apa yang menjadi bagian masa muda kadang-kadang mungkin melintas kembali (Bastari, misalnya, dikabarkan masih meng angan-angankan melahirkan satu "novel besar" - seperti ia konon berangan-angan mendirikan sebuah taman kanak-kanak Islam!), namun sama sekali bukan soal salah-benar bila orang akhimya mendaratkan hidup ke suatu jalan yang terasa lebih lumrah. Bastari, salah seorang redaktur pelaksana senior di TEMPO, bekerja dengan wajar. Di rumah, duda-cerai ini hidup dengan seorang putri kandung yang di SLTP, seorang putri angkat yang mahasiswi, plus dua kemenakan laki-laki yang jua dipeliharanya dan salah seorang dikawinkannya. Ia termyata membantu hidup banyak orang, seperti juga ditunjukkan oleh surat-surat dan wesel pos di laci kerjanya. Dan di kantor, laki-laki pegunungan Komering ini punya cara melucu yang dingin namun menyenangkan, celetukan-celetukan sepintas yang diakhiri tawa bersama. Atau ia akan pergi dengan tak kentara, bila ada dalam dirinya yang murka atau memberontak. Ia tampaknya orang yang tak pemah menyengat siapa-siapa. Ia memendam banyak hal. Ynng tak dibukakannya. Termasuk berbagai konflik dalam hidup yang ia coba hindari, dan yang rupanya cukup banyak untuk menaikkan tekanan darahnya sampai ke luar daya tahan fisiknya, dan mengantarkannya ke peristirahatan akhir. Haruskah semua kita. untuk membuat hidup "berarti". berusaha membuat diri kita berkibar-kibar, dengan "prestasi tunggal". misalnya. atau mematok sesuatu yang biasa diangan-angankan sebagai abadi. dan bukan memilih fungsi yang paling wajar, sendirian maupun bersama-sama. dan turut mengembangkan milik bersama. seperti yang telah diperbuat Bastari, tahun demi tahun, bersama TEMPO? Bastari tertawa. Ia dikirim ke Arnerika untuk memperdalam bahasa Inggris, dan ia pulang dari Amerika. dan ia tetap duduk bekerja, hampir-hampir tanpa bunyi. Justru karena itu, ketika ia pergi - dengan sangat mendadak - semua terkejut. dan banyak yang menangis. Ia ada, Bastari Asnin. Ia besar bagi kami. Ia, betapapun. pada akhimya tumbuh bersama kami dan majalah ini. Ia sudah berbuat terlalu banyak untuk tidak menimbulkan rasa hilang. Selamat jalan, Bas ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini