SIDANG ke-17 Majelis Nasional Palestina (MNP), setelah tertunda sembilan bulan, akhirnya diselenggarakan di Amman, Yordania. Berlangsung lima hari, sejak Kamis pekan lalu, sidang MNP yang merupakan Parlemen di pengasingan itu, selama akan membentuk sebuah komite eksekutif, juga membahas kebijaksanaan politik dan kondisi keuangan PLO dewasa ini. Pemimpin PLO Yasser Arafat lewat sidang yang sama akan memperjuangkan pengukuhan bagi kepemimplnannya yang, dalam 18 bulan terakhir, ditentang kelompok pembangkang Abu Musa dan kawan-kawan. Sejak digusur dari Libanon terakhir dari Tripoli, Desember 1983 - PLO memang terpukul sekali. Otot-otot militer PLO hampir lumpuh dan, bersamaan dengan itu, kepemimpinan Arafat mulai goyah. Karena itu, ia memerlukan mandat baru untuk dapat terus memlmpm peruangan Palestina, yang kabarnya akan diarahkan ke satu tahap baru, yakni tahap diplomasi. Dalam konteks inilah agaknya maka Amman dipilih sebagai tempat bersidang. Menurut seorang diplomat di kota itu, pilihan ini cukup provokatif. Mengapa? Sebab, seperti kata Arafat, PLO yang diceraiberaikan Israel tiba-tiba memunculkan dirinya, "hanya beberapa kilometer dari Tepi Barat, wilayah Palestina yang direbut Israel." Tapi lebih dari itu pilihan ini telah menggoreskan arang ke kening presiden Syria Hafez Assad. Sejak dulu pemimpin Syria itu sangat tidak berkenan melihat PLO rujuk dengan Yordania. Bukankah dengan memilih Amman, secara tak langsung, Arafat memaklumkan putus hubungan dengan Assad? Dan ini berarti pula PLO berdiri di pihak Raja Hussein yang belum lama berselang mencairkan hubungan diplomatik dengan Mesir. Maka, kini terentang garls pemisah antara Yordania-PLO-Mesir di satu pihak dan Syria, pembangkang PLO, dan Libya di lain pihak. Pidato Raja Hussein dalam pembukaan sidang MNP telah lebih menjelaskan pengkotakan ini. Menurut Hussein, satu pendekatan bersama Yordania-PLO akan menjadi peluang Arab yang terakhir untuk merebut kembali Tepi Barat, wilayah yang diduduki Israel sejak 1967. Tentang formulanya, Hussein berkata, "Kami siap bersama Anda (maksudnya: PLO) menempuh jalan yang sama .... Untuk itu kami akan menggalang dukungan bagi Anda. Tapi jika PLO merasa mampu melaksanakannya sendiri, kami tidak akan menghalangi." Raja Yordania itu kemudian mengulangi seruannya agar PLO menerima Resolusi PBB No. 242. Resolusi itu, intinya, mendesak Israel agar mengosongkan wilayah Palestina yang didudukinya sejak 1967. Diingatkan oleh Hussein, jangka waktu perjuangan PLO semakin ciut, karenanya peluang untuk merebut Tepi Barat pun bisa luput. Namun, semangat kompromi yang ditawarkan Hussein itu dianggap sepi PLO. Organisasi gerilyawan ini sejak dulu tidak bergeser sedikit pun dari sikapnya: menolak resolusi. Mengapa? Dalam resolusi itu PBB memandang Palestina hanya sebagai masalah pengungsi semata. Padahal, PLO memperjuangkan hak rakyat Palestina untuk sebuah tanah air dan negara merdeka. Di pihak lain, Syria berkeinginan negara Palestina itu ditegakkan lewat satu perjuangan bersenjata, dengan catatan, Damaskus secara politis ikut berperan di dalamnya. Presiden Assad merasa berkepentingan akan adanya satu PLO yang sehaluan dengan Damaskus. Demi tujuan ini, pemimpin Syria itu tidak segan-segan memencilkan Arafat. Dialah juga yang mendalangi gerakan pembangkangan Abu Musa. Dan, adalah karena tekanan Assad, PLO yang bermarkas di Damaskus, yang belakangan menyebut dirinya Aliansi Nasional, menolak datang ke sidang MNP di Amman. Mahmoud Labadi, juru bicara Al-Fatah dari kelompok pembangkang itu, menuduh, "Arafat telah memalsukan nama-nama anggota MNP agar mencapai suara terbanyak." Tuduhan Labadi sulit dibuktikan. Yang pasti, kuorum 2/3 sebagai syarat untuk sahnya sebuah sidang MNP, ternyata, dapat dicapai Arafat. Sidang dihadiri 257 dari 379 anggota MNP. Artinya, posisi Arafat cukup mantap, walau kini dengan anak buah yang terpecah-belah. Melihat ini, seorang tokoh PLO malah berkata bahwa sidang MNP di Amman justru "meresmikan" perpecahan di tubuh PLO. Akibatnya memang akan lebih baik bagi Arafat, karena ia bisa lebih bebas bertindak. Tapi dengan perpecahan, Arafat mewakili satu organisasi yang potensinya kian lemah. Kenyataan pahit itu tampaknya tidak mungkin dielakkan lagi. Arafat bukan tidak mencoba menjalin kerja sama dengan unsur PLO yang lain: Front Populer Pembebasan Palestina di bawah pimpinan George Habbash dan Front Demokratik Pembebasan Palestina yang dikendalikan Nayef Hawatmeh. Dengan kedua Front, Arafat menandatangani Persetujuan Aden, Juli 1984. Di situ tercakup kompromi: Arafat dibolehkan memimpin PLO sampai ada sidang MNP, asalkan hubungan PLO-Mesir dibekukan. Lewat persetujuan itu pula Raja Hussein dilabrak karena berani "bermain mata" dengan Amerika Serikat. Kedua Front mengusahakan agar Aliansi Nasional, yang dipimpin Abu Musa, juga menerima persetujuan tersebut, demi keutuhan PLO. Tapi antek-antek Syria itu menoak, bahkan menuntut pengunduran diri Arafat sebagai syarat berlangsungnya sidang MNP. Dengan latar belakang yang kisruh seperti itulah, Arafat berhasil mengumpulkan 257 anggota, hingga sidang MNP akhirnya terlaksana. "Dia telah berjudi," kata seorang pengamat, mengomentari percobaan nekat yang diambil sang pemimpln. Coba, andal kata jumlah suara sekian banyak itu tidak terkumpul, riwayat kepemimpinan Arafat akan tamat secara tidak terhormat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ia memenangkan dukungan mayoritas dan sebuah mandat. Hana, sesudah itu perjuangan untuk negara Palestina merdeka justru akan lebih berat. PLO resmi pecah, resmi "bermusuhan" dengan Syria, dan, yang lebih tidak menguntungkan, PLO belum tentu sehaluan dengan Yordania, karena Resolusi PBB No. 242 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini