Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Aku enggak suka aja. Kayaknya berjarak,” katanya kepada Tempo dalam pemutaran terbatas film Bumi itu Bulat karya Ron Widodo di Jakarta, 2 April lalu.
Kalau ingin menyenangkannya, sapa dia “Mbok”. Panggilan itu bermakna dalam bagi Christine, 62 tahun. Ia selalu mengingat pengasuh yang mengurusnya sejak masih orok di Kuala Tungkal, Jambi, sampai masa remajanya di Jakarta. “Namanya Mbok Wakiyem. Mbok itu sudah seperti ibu kedua,” ujar peraih enam Piala Citra kategori aktris terbaik dan dua Piala Citra sebagai aktris pendukung terbaik itu.
Christine telah mematok aturan panggilan itu di lingkungan keluarganya. Para keponakan memanggilnya “Ibu”. “Mungkin karena saya tidak punya anak, berasa seperti dipanggil anak sendiri,” tuturnya, tersenyum. Sedangkan cucu-cucu dari adiknya memanggilnya “Mbok”. Untuk khalayak, aktris yang melejit lewat Tjoet Nja’ Dhien karya Eros Djarot pada 1988 ini membebaskan mereka memanggilnya apa. “Mau panggil ’Bunda’, ‘Ibu’, tidak jadi masalah. Asal jangan ‘Tante’.”
Raffi Ahmad. TEMPO/Nurdiansah
Aturan Makan
DALAM satu setengah bulan terakhir, berat badan Raffi Ahmad, 32 tahun, turun drastis. Sejak menjalani diet pada Februari lalu, berat badannya sudah turun lebih dari 10 kilogram. “Dulu, pas berat badan gue 75 kilogram, agak repot. Sekarang berat badan gue 64 kilogram, lebih lincah,” kata Raffi di kantor Tempo, Jakarta, Senin, 1 April lalu.
Untuk mendapatkan berat badan yang ia inginkan, aktor dan pembawa acara kelahiran Bandung itu tidak pantang mengkonsumsi makanan tertentu. Ia hanya mengatur waktu makannya, yakni makan hanya dalam rentang waktu tiga jam setiap hari, yakni pukul 11.00-14.00 atau pukul 12.00-15.00. ”Karena sekarang udah turun, dari jam 12.00 sampai jam 16.00,” ujar pemeran Ben dalam film Rumput Tetangga itu.
Di rentang waktu tersebut, Raffi akan menyantap makanan apa pun yang ia mau. “Mau makan nasi lima piring, ayam 20 potong, makan aja,” tuturnya. Namun, setelah jam tersebut hingga keesokan harinya, ia hanya minum air putih. Menurut Raffi, cara ini lebih efektif menurunkan berat badannya karena ia tidak bisa berdiet dengan membatasi konsumsi makanan.
Raffi bercerita badannya sempat gemetar pada satu-dua pekan pertama diet. Beruntung dia tidak sampai jatuh sakit. Raffi mengakui tidak lagi merasakan pusing ketika bangun tidur setelah berat badannya turun. “Paling-paling beser karena minum air putih terus, tapi malah bagus, buang racun,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laode Muhammad Syarif. TEMPO/Imam Sukamto
Terpantau Online
HAMPIR empat tahun menjadi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, banyak cerita berkesan bagi Laode Muhammad Syarif. Banyak drama penyelidikan hingga penyidikan kasus korupsi yang menarik dan mengejutkan. “Sangat layak difilmkan,” katanya. “Saya sedang coba tulis skenarionya.”
Kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dengan tersangka utama Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto membuat Syarif terbang ke Mauritius--negara kepulauan kecil di tengah Samudra Pasifik. “Waktu SD, saya cuma baca nama negaranya. Karena e-KTP, saya sampai ke sana,” ujar Syarif, 53 tahun, saat menjadi pembicara dalam peluncuran Investigasi Bersama Tempo #4, Kamis, 11 April lalu.
Korupsi e-KTP merugikan negara Rp 2,3 triliun, dari nilai proyek ini sebanyak Rp 5,9 triliun. Menurut Syarif, korupsi ini melibatkan aktor di empat negara. Selain Mauritius, negara yang lain adalah Amerika Serikat, Singapura, dan Indonesia. Dari semua kasus korupsi, kata dia, e-KTP paling rumit.
Namun hal paling berkesan adalah hubungannya dengan para juru warta. Syarif kagum bagaimana para wartawan bekerja 24 jam. Pada awal-awal masuk KPK, ia pernah menerima permintaan wawancara pukul 01.30. Hingga kini, percakapan itu masih ia simpan. “Wartawan itu kirim pesan: satu pertanyaan, please,” ucap Syarif.
Syarif heran mengapa wartawan tersebut bisa tahu ia belum tidur pada jam selarut itu dan mengirim pertanyaan. “Kata istri saya, karena di WhatsApp terlihat status online jika kita membukanya,” ujarnya. Syarif tertawa sendiri tiap kali ingat cerita itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo