Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Dari Tangan Seorang Sejarawan

Novel pertama sejarawan Anthony Reid berkisah tentang Jawa pada abad ke-17 dari mata seorang pengelana Inggris.

20 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA berawal dari Shogun. Novel karya James Clavel yang terbit pada 1980 itu mempesona belasan juta pembaca di dunia, termasuk Anthony Reid, yang saat itu masih sejarawan muda terkemuka. Ia takjub betapa novel tentang Jepang pada abad ke-17 itu bisa lebih menarik pembaca dunia ketimbang buku sejarah. Reid mengaku sudah bekerja keras melakukan riset, mengumpulkan data hingga ke Sumatera Utara untuk buku teks sejarah, tapi toh pembacanya terbatas. Sejak itu, “Saya bercita-cita menulis fiksi sejarah,” katanya.

Mimpinya itu baru terwujud pada akhir 2018. Dalam novel berjudul Mataram karyanya, selintas terasa ada cipratan pengaruh Shogun. Di novel itu, Clavel berkisah tentang pengelana Inggris, John Blackthorne, yang terdampar di Jepang, terinspirasi dari kisah nyata pelaut William Adams yang masuk ke Jepang pada abad ke-16. Adapun Reid memperkenalkan tokoh Thomas Hodges, orang Inggris yang masuk ke pelabuhan Banten untuk berdagang. Melalui mata lelaki itu, pembaca ikut berkenalan dengan keluarga Kesultanan Banten yang semula tidak terkesan oleh berbagai benda yang ditawarkan Hodges untuk barter dengan lada.

Diceritakan pula tentang Keluarga Bintara yang berputrikan si cantik Sri. Perempuan ini tertarik membantu Hodges berkenalan dengan keluarga kerajaan karena dia jauh lebih sopan daripada para pendatang Belanda dan Portugis, yang sudah menawarkan segala macam benda kepada kerajaan. Tentu saja sejak awal Hodges jatuh cinta pada gerak tubuh dan cara bicara Sri yang gemulai.

Reid menggambarkan bagian itu dengan panjang, rinci, dan terkadang dibumbui humor. Betapa Hodges sebetulnya sibuk ingin merebut perhatian Sri dengan menceritakan sejarah ratu Inggris yang dipenggal, tapi kisah horor ini justru membuat Sri panik. “Jangan cerita bagian itu kepada ratu saya,” kata Sri memberikan saran kepada Hodges.

Pada paruh pertama novel, Reid sesekali agak “terbentur” oleh kebiasaannya sebagai sejarawan sehingga dialog antartokoh terasa seperti penjelasan atau perkenalan setting. Jadi kesannya Sri adalah “sang dosen” dan Hodges “si mahasiswa baru” yang takjub, terpesona, setengah bingung dengan segala hal yang baru dan mistis. Mungkin itulah sebabnya Reid mengaku novelnya memang ditargetkan pada pembaca Barat. Reid, seharusnya, bisa saja memisahkan tanya-jawab antar tokoh yang agak bersifat ensiklopedis  itu menjadi “glossary”, misalnya. Ia sepertinya agak diperlukan untuk para Indonesianis “newbie” (baca “Anthony Reid: Lebih Sulit Menulis Novel”).

Di luar soal teknis itu, Reid melakukan satu hal yang menarik: tokoh-tokoh perempuan dalam novelnya digambarkan kuat, impresif, penuh keingintahuan, dan luar biasa cerdas. Berbeda dengan gambaran para ratu dalam film-film sejarah Indonesia, ratu Reid sangat kritis dan ingin tahu tentang segala hal, termasuk mengapa orang Inggris membutuhkan sebuah alat penunjuk waktu, sementara di Jawa mereka bisa menghitung bulan.

Keasyikan mulai terasa ketika kita memasuki paruh kedua novel karena Reid terjun ke dalam perdebatan keimanan. Seorang Yesuit yang dipanggil Romo berbincang dengan Hodges soal agama, bukan hanya Katolik dan Protestan—yang saat itu tengah bertikai di Eropa—tapi juga bagaimana sinkretisme Islam-Jawa berbenturan dengan Islam fundamentalis hingga membelah kehidupan kesultanan dan rakyat jelata.

Pada bagian ini, terasa sekali jam terbang Reid sebagai sejarawan yang selama hidupnya mengabdikan diri pada sejarah telah berhasil menghidupkan drama kehidupan tokoh-tokohnya. Hodges makin terasa simpatik dan menyatu dengan Jawa. Tapi, yang lebih penting, Reid menggarisbawahi bahwa persoalan perbedaan keimanan dan ketegangan agama sudah lama terjadi, tapi kerinduan untuk saling bertoleransi pun sudah lama tertanam di tanah ini (meski saat itu belum bernama Indonesia).

LEILA S. CHUDORI

 


 

MATARAM: A Novel of Love, Faith and Power in Early Java

Penulis : Tony Reid

Penerbit : Monsoon Books, 2019

Tebal : 338 halaman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus