Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AROMA alkohol meruap saat saya memasuki ruangan seluas lapangan basket di seberang Stasiun Ibrox, Glasgow. Gelas kosong tanda bir telah tandas berserakan di sepanjang meja bar The Louden Tavern. Pelayan melemparkan botol-botol sisa bir sekenanya ke dalam tong sampah. Pada 16 Maret lalu, Rangers menjamu Kilmarnock FC di Stadion Ibrox. The Louden Tavern menjadi persinggahan para pendukung Rangers sebelum mereka bersiap menuju stadion. “Sebelum menonton pertandingan, kami wajib minum bir dulu,” kata Luke Dawson, seorang suporter Rangers.
Dawson lahir dalam keluarga pendukung Rangers. Dia menjadi fan Rangers sejak lahir. Ketika saya mengatakan hendak mencari pub khusus pendukung Rangers, dia dengan bersemangat mengajak ke The Louden Tavern. Peluit tanda pertandingan dimulai akan ditiup pada pukul tiga petang, tapi dia mengajak saya bertemu sejam. “Biar kamu bisa melihat keseruan di bar,” ujarnya. Kami mesti antre sepuluh menit di pintu masuk pub untuk bisa memesan segelas bir dingin. Hujan salju yang turun sejak pagi tak menyurutkan pendukung Rangers datang ke stadion.
The Louden Tavern berlokasi di tempat yang amat strategis, yakni di seberang stasiun subway Ibrox. Layaknya menjelang pertandingan sepak bola di Indonesia, calo tiket di sini langsung menyerbu begitu penumpang keluar dari pintu stasiun. Para calo mengacungkan tiket kepada mereka yang baru turun dari kereta bawah tanah. Sejumlah pedagang suvenir juga berjajar di sepanjang trotoar menuju stadion. Yang tidak ada di Indonesia adalah penjual lotere di depan pintu stadion. Pemenang undian bakal dipilih saat jeda pertandingan dan diumumkan saat itu juga. Hadiahnya 100-5.000 pound sterling atau mencapai Rp 100 juta.
TEMPO/Wayan Agus Purnomo
The Louden Tavern tampak mencolok dengan warna biru dan corak merah, warna khas Rangers. Di pintu masuk, terlukis tulisan berwarna merah menyala dan menjadi mantra fan Rangers, “We Are the People”, yang diambil dari Mazmur 95. Meja dan kursi juga didominasi warna senada. Dinding bar dipenuhi foto legenda Rangers. Sebagian pengunjung sudah mulai berjalan sempoyongan. Gelas bir mesti saya pegang erat-erat agar tidak tersenggol pendukung yang berimpitan dan mulai mabuk. Hari itu, saya menjadi satu-satunya pengunjung berwajah Asia di pub tersebut. “Anda pendukung Rangers?” tanya seorang pengunjung kepada saya.
The Louden Tavern didirikan Robert Marshall, pendukung fanatik Rangers. Kecintaan pada Rangers dia tunjukkan dengan mengoleksi kostum yang dikenakan legenda Rangers, Alfie Conn, saat klub tersebut mengalahkan Barcelona dalam Piala Winners 1972. Dalam wawancara dengan majalah FourFourTwo, -Marshall mengatakan membangun pub ini merupakan impian lamanya. Dia melarang pendukung Celtic menginjakkan kaki di pubnya itu.
Marshall amat bangga kotanya memiliki klub seperti Rangers dan Celtic. Sebab, kota itu tak akan bernilai tanpa keduanya. Dia pun memberikan perumpamaan: Edinburgh tak akan pernah sama tanpa kastilnya yang terkenal itu. “Laga Old Firm adalah derby paling bergairah,” ujarnya. Dalam wawancara dengan Vice pada 2012, Marshall tidak segan-segan menunjukkan ketidaksukaannya kepada Celtic. Dia menyinggung sejarah klub itu yang terkait dengan imigran Irlandia. Dia pun mengaku bangga sebagai orang Skotlandia. “Klub itu korup dan saya bukan pencinta mereka,” tutur Marshall, menjelaskan alasannya tak menyukai Celtic.
The Louden Tavern membuka cabang di Duke Street, dekat kawasan Gallowgate. Daerah yang terletak di timur pusat Kota Glasgow ini terkenal sebagai permukiman komunitas Irlandia. Celtic Football Club lahir di kawasan ini, tepatnya di sebuah gereja bernama St. Mary. Secara geografis, kawasan ini terletak di timur Glasgow, lebih dekat dengan Celtic Park. Sedangkan Ibrox berada di barat daya kota. Luke Dawson, yang rumahnya juga berada di timur Glasgow, nyaris tak pernah nongkrong di The Louden Tavern cabang Duke Street. “Itu kawasan untuk pendukung Celtic,” ucapnya.
Meskipun Gallowgate terkenal sebagai basis pendukung Celtic, setidaknya ada dua pub khusus Rangers di sana. Selain cabang The Louden Tavern, ada satu bar bernama Bristol Bar. Bristol Bar berdiri dengan warna biru mencolok dan nuansa merah. Tulisan “We Are The People” besar tertempel di pintu masuk pub tersebut. Bendera The Union Jack terlukis di dinding luar. Seorang fan Celtic, Harry McNeill, mengajak saya berkeliling ke sejumlah pub pada pertengahan Maret lalu. Ketika saya datang, tidak semua pub ini buka pada tengah hari atau tengah pekan. Umumnya pub-pub ini beroperasi pada akhir pekan atau ketika ada pertandingan sepak bola.
Saya dan Harry bersua di The Tollbooth Bar di seberang Merchant City Clock Tower. “Di sekitar tempat itu ada banyak pub khusus Celtic dan Rangers,” katanya. Ketika membuka pintu The Tollbooth Bar, saya langsung disambut spanduk berwarna hijau dengan tulisan “St. Patrick’s Day” pada 17 Maret lalu. St. Patrick’s Day adalah hari saat umat Katolik memperingati St. Patrick, patron santo di Irlandia yang meninggal pada 17 Maret 461. Perayaan ini merupakan tradisi komunitas Irlandia yang masih dijalankan di Skotlandia hingga hari ini.
Harry menuturkan, komunitas Irlandia masih terjalin erat di Glasgow meskipun sudah mencapai generasi ketiga atau keempat. Umumnya mereka adalah penduduk Glasgow yang beragama Katolik. Mereka mendirikan pub dengan ornamen Irlandia dan mengibarkan bendera Irlandia. Di pub, mereka memutar lagu-lagu Irlandia. Sebagian warga Glasgow keturunan Irlandia bahkan masih menggunakan logat negeri itu ketika berbicara satu sama lain. “Termasuk menyediakan bir kebanggaan Irlandia, Guinness,” ujar mahasiswa University of Glasgow tersebut.
The Tollbooth Bar menjelang perayaan St. Patrick’s Day pada 17 Maret lalu. TEMPO/Wayan Agus Purnomo
Dari The Tollbooth Bar, Harry mengajak saya menyusuri Calton dan Gallowgate. Di kawasan ini, saya dengan mudah menemukan bar-bar khusus pendukung Celtic. Misalnya Bar 67 dan The Cabin Bar. Pub yang terakhir bahkan dengan terang-benderang mencantumkan tulisan “Defending Irish rights in Scotland” di pintu masuknya. Bar in juga me-ngibarkan bendera Irlandia. Harry menyatakan bahwa dia orang Skotlandia. “Saya orang Glasgow dengan tradisi Irlandia,” tuturnya.
Kekerasan antara pendukung Celtic- dan Rangers kerap bermula dari bar-bar ini, termasuk yang bernuansa rasialisme. Pada Juni 2017, sejumlah pub pendukung Celtic menjadi sasaran vandalisme kelompok orang tak dikenal. Di antaranya Bar 67 dan Cairde na hEireann. Pintu masuk kedua bar itu ditulisi “KAT” dan “UVF”. KAT adalah kependekan dari Kill All Taigs, istilah untuk merendahkan penganut Katolik Roma. Adapun UVF adalah Ulster Volunteer Force, organisasi paramiliter yang mendukung kebangkitan nasionalisme Irlandia. “Ini makin menunjukkan bahwa sentimen anti-Irlandia masih ada di Skotlandia,” kata juru bicara Cairde na hEireann seperti dikutip The Sun.
Bukan hanya pub pendukung Celtic, The Louden Tavern di Ibrox juga pernah mengalami vandalisme. Pada Mei 2018, dinding bar ini dirusak orang tak dikenal dengan tulisan “Rangers Scum”, yang artinya Rangers sampah. Pada dinding lain, pelaku menuliskan kata “Celtic CFC” dengan cat semprot hijau, warna kebanggaan Celtic. Luke Dawson mengungkapkan, sebenarnya pendukung generasi sekarang tak terlalu peduli akan isu agama lagi. “Mereka mendukung keduanya karena mencintai Celtic atau Rangers,” ujarnya.
WAYAN AGUS PURNOMO (GLASGOW)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo