WALAU untuk keperluan sehari-hari harus dibantu dua orany
kemanakannya, Arnold Mononutu, alias Oom No, 85 tahun, tidak mau
tinggal diam. Sebagai anggota dewan komisaris PT Opedamy, bulan
lalu ia menggugat Pemerintah DKI Jakarta. Pasalnya: ganti rugi
tanah milik perusahaannya seluas 120 ribu meter, yang sekarang
dipakai PT Pembangunan Jaya untuk Proyek Ancol.
Di depan notaris, tanah yang sekarang menjadi lapangan golf dan
tempat hiburan itu sudah diserahkan kepada PT Pembangunan Jaya
dengan ganti rugi Rp 500 per meter. "Itu yang tidak wajar," kata
Oom No. "Dan saya tidak suka tanah itu cuma dipakai untuk
dansa-dansa dan pijat-pijat. Tidak untuk sekolah atau rumah
sakit," katanya bersemangat, seperti biasa.
PT Opedamy -- diwakili direktur utamanya, Y.S. Pitoy --
menginginkan ganti rugi Rp 30 ribu per meter. Tambahan lagi
empang bandeng dan gudang seluas 57 ribu meter persegi juga
belum diganti harganya. Berapa tuntutannya? "Gugatan ini bukan
sekedar duit, tapi terutama keadilan," kata Oom No. Ia menjawab
setelah pertanyaan diulang pembantunya yang berteriak
keras-keras ke telinganya. Bekas menteri 3 kali dan bekas dubes
ini, bersama anggota dewan komisaris lainnya, L.N. Palar
(almarhum), tahun 1979 pernah pula menyurati Presiden untuk
urusan itu. Hasilnya? "Itu soal nanti. Dan lagi, bukan tanah
saya sendiri," jawabnya.
Oom No kini menempati rumah dinas Pertamina. "Saya sama sekali
tidak punya apa-apa," katanya. Rumah yang tergolong mewah itu
semula dibelinya Rp 4,5 juta. Lantas dijualnya Rp 8 juta kepada
Pertamina -- 1971. Uangnya didepositokan dan untuk kontrak rumah
4 tahun. "Setelah kontrak habis, Ibnu Sutowo, waktu itu masih di
Pertamina, menyuruh saya tinggal di rumah ini sampai mati,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini