Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Sang Seniman Empat Zaman

Jalan hidup Srihadi Soedarsono teramat panjang. Pelukis dan guru besar Institut Teknologi Bandung ini melampaui zaman kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi. Pada masa Orde Baru, lukisan kritik sosialnya membuat geram Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Sampai-sampai Ali mencoret-coret lukisan Srihadi yang telah terpajang di ruang pameran. Di era reformasi, tema lukisannya berkembang menjadi meditatif dan spiritual.

Nama seniman 82 tahun itu ikut disebut dalam buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia yang diluncurkan di Galeri Nasional, Jakarta, dua pekan lalu. Beberapa lukisannya memang menjadi korban pemalsuan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Pada usia senja, Srihadi masih aktif melukis di kanvas raksasa. Ingatannya tajam, badannya bugar, jauh dari kesan renta. Berikut ini kisah hidup Srihadi yang dituturkan kepada Dian Yuliastuti, Ananda Badudu, dan fotografer Seto Wardhana dari Tempo.

19 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belasan kanvas ukuran raksasa ditata di teras studio lukis Srihadi Soedarsono yang beratapkan langit. Studio itu terletak di bagian belakang rumahnya di bilangan Ciumbeuleuit, Kecamatan Cidadap, Bandung. Rumah yang dibangun pada 1973 itu dia desain sendiri. Teduh oleh pepohonan dan rerumputan, berhias kolam ikan, sangkar burung, dan terbuka menyatu dengan alam.

Saat Tempo berkunjung, 12 Mei 2014 siang, ada lima kanvas ditata di sepanjang studio lukis berbentuk persegi itu. Kanvas paling kecil berukuran 2 x 2 meter. Paling besar 3 x 2 meter. Di atas kanvas itu tergambar sketsa penari-penari bedaya. Warna latarnya beragam, ada yang kuning, merah, dan putih. "Lukisan-lukisan ini belum selesai," katanya. "Tapi harus segera selesai karena akhir Mei nanti ada jadwal pameran tunggal di Singapura."

Srihadi memang terbiasa melukis di banyak kanvas dalam sekali waktu. Baginya, melukis tak ubahnya meditasi spiritual. Butuh waktu panjang bagi dia untuk menyelesaikan sebuah lukisan. "Ada yang selesai dalam dua bulan, ada juga yang sampai enam bulan," ujarnya.

Biasanya pelukis uzur berkarya di kanvas besar karena tak bisa lagi meladeni detail, yang dituntut di kanvas kecil. Namun hal itu tak berlaku bagi Srihadi. Ia masih menggunakan kuas kecil untuk detail figur penari bedaya. Sebuah tanda bahwa fisiknya masih tangkas dan kuat. Jika mood-nya sedang bagus, ia bahkan bisa melukis dari pagi hingga malam. "Kalau sudah melukis, makan pun lupa," kata Sitti Farida, 71 tahun, istri Srihadi, yang juga menggeluti dunia seni. Srihadi dikaruniai dua putri, Tara Farina dan Rati Farini; satu putra bernama Tri Krisnamurti Syailendra; serta empat cucu.

Hidup pria yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 4 Desember 1931 ini seperti cerita novel. Dia masih ingat dengan rinci pengalaman yang pernah ia lalui. Istrinya, sejarawan seni rupa, menemani Srihadi sepanjang wawancara.

l l l

Saya lahir di Solo di lingkungan keluarga yang terpelajar dan berlimpah harta. Kakek saya, Nojotjoerigo, adalah mantan penasihat Pakubuwono IX. Ia memilih keluar dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan merintis perusahaan batik tulis. Batik bikinan Kakek adalah batik bermutu tinggi yang dihargai layaknya karya seni, dijual sampai ke luar negeri. Kakek punya banyak cucu. Tapi hanya saya cucu kesayangannya. Ke mana pun dia pergi, saya selalu dibawa-bawa.

Kakek berperan besar memperkenalkan saya dengan dunia seni. Saya terbiasa mendengar para penulis batik nembang lagu Jawa. Saya tumbuh di lingkungan keraton dan terbiasa melihat penari berlatih. Apa pun permintaan saya selalu dipenuhi Kakek. Pernah saya dibelikan seperangkat potlot dan cat air untuk menggambar. Saya juga dibelikan wayang banyak sekali. Kakek memperkenalkan saya dengan cerita-cerita wayang. Cerita Baratayuda dan Mahabharata sudah saya ketahui sejak kecil.

Sewaktu kecil, selalu ada pegawai Kakek yang meladeni dan menjaga saya. Mau minta apa pun pasti dipenuhi. Jika ingin buku, akan disediakan mobil untuk mengantar ke toko buku. Padahal pada masa itu toko buku jauh, harus ke Semarang atau Surabaya. Nama toko bukunya Van Dorp. Kalau bukan dengan mobil, saya naik kereta api. Pada waktu itu mobil masih jarang, tapi keluarga kami punya mobil Ford.

Kakek wafat pada 1937 di Arab saat hendak naik haji. Usia saya saat itu enam tahun. Walaupun singkat, pengalaman dengan Kakek sangat membekas. Eyang Putri juga suka mengajak saya tirakatan ke Gunung Kawi atau tempat-tempat lain. Pengalaman-pengalaman ini sangat membekas dan menempel di ingatan. Maka saya tak membutuhkan model ketika melukis tema bedaya. Semua sudah terekam di kepala, tinggal gunakan imajinasi saja.

l l l

Penulis buku Srihadi dan Seni Rupa Indonesia (2012), Jim Supangkat, mengatakan Srihadi dibesarkan di kalangan priayi pedagang Jawa, masyarakat terpelajar yang dikenal sebagai de mardijkers. Kelompok yang muncul pada abad ke-19 ini bukan pejabat atau pegawai negeri tapi dihargai pemerintah kolonial karena umumnya terpelajar, cukup kaya, dan berbudaya.

Pada 1942, Srihadi menamatkan sekolah di Holland Inlander School (HIS) dan melanjutkan studi ke Tsu Gakko, sekolah menengah pada masa pendudukan Jepang. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, ia pindah ke SMP negeri Solo. Di sana ia bersekolah sambil bertempur karena Belanda ingin kembali menjajah Indonesia.

Pada masa perjuangan kemerdekaan inilah, di usia remaja, Srihadi bertemu dan bergaul akrab dengan pelukis senior seperti Sudjojono, Salim, Affandi, Hendra Gunawan, Nashar, dan Oesman Effendi. "Masa itu adalah masa belajar melukis secara otodidak," katanya. Sempat dipenjara karena ketahuan menyelundupkan granat di kantong celana, Srihadi pun disiksa tentara Belanda. Tapi kemampuan menggambar membuatnya terhindar dari maut.

l l l

Pada akhir masa pendudukan Jepang, saya bergabung dengan Tentara Pelajar (TP). Setelah Jepang menyerah, TP menjadi angkatan bersenjata. Salah satu tugasnya saat itu merebut senjata untuk gerilyawan. Saya ikut menyerbu gudang senjata Jepang di Pabrik Gula Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Pada 1946, saya ditarik ke bagian penerangan tentara untuk membuat poster propaganda. Tentara mencari orang yang bisa menggambar. Di sana saya membuat puluhan poster propaganda.

Pada tahun yang sama, keadaan Jakarta kacau sehingga ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta. Saat itu para seniman senior yang tinggal di Jakarta berpencar mengungsi, ada yang ke Yogyakarta, ada yang ke Solo. Seniman yang mengungsi di Solo disediakan asrama di gedung teater Solo. Sudjojono termasuk yang tinggal di asrama itu. Ada juga Ramli dan Abdul Salam. Tempat tinggal saya di belakang gedung teater itu. Kawan saya sesama pelukis, Soerono, memperkenalkan saya kepada para pelukis senior itu. Soerono yang lebih senior dari saya adalah teman keluarga yang pernah tinggal di Solo. Sejak dikenalkan, saya jadi ikut kegiatan mereka. Setiap hari kami berkarya bersama, saling mengomentari dan mendiskusikan karya. Setelah ber­karya selalu ada sesi diskusi. Sebelum berdiskusi, biasanya Om Djon—panggilan Sudjojono—memberikan ceramah. Saya juga bergabung dengan kelompok Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dibentuk Om Djon. Saya menjadi anggota paling muda.

Pada 1947 Om Djon diangkat menjadi Ketua Bagian Kesenian Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda oleh pemerintah. Dia harus pindah ke Yogyakarta, ibu kota pemerintahan. Atas kemauan sendiri, saya ikut rombongan ke Yogyakarta. Fasilitas berkarya di sana lebih bagus. Kami berkantor di Taman Siswa, sekolah Ki Hadjar Dewantara. Sekolah itu adalah rumah Ki Ha­djar. Pada siang hari, kami bekerja membuat poster propaganda untuk kepentingan perjuangan, malam hari bebas berkarya.

Sesekali Ki Hadjar datang melihat-lihat. Kadang-kadang ikut memberi komentar. Setahun kemudian Belanda menyerang Yogyakarta. Para seniman kembali berpencar. Saya kembali ke Solo, jalan kaki dua hari satu malam. Tidak bisa menggunakan kendaraan karena jalanan ditebari batu dan rintangan oleh gerilyawan.

Di Solo, saya diberi tugas menyelundupkan senjata ke daerah perbatasan untuk digunakan oleh gerilyawan. Pada saat itu keadaan di dalam kota cukup aman. Peperangan terjadi di luar kota. Saya biasa naik becak sambil membawa dinamit yang ditaruh di kolong kaki. Juga membawa granat dan diberikan ke gerilyawan yang sudah menunggu di perbatasan. Tidak ada yang mencurigai karena saat itu saya masih kecil.

Saya pernah mencoba mengebom tentara Belanda dengan dinamit. Saban pekan ada jadwal rekreasi tentara Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) nonton film di Bioskop Sriwedari. Siang hari, saat tentara Belanda belum datang, saya menyusup membawa koper kulit berisi dinamit. Koper itu saya taruh di bawah proyektor.

Saat tentara KNIL berdatangan, saya nyalakan sumbu dinamit. Setelah sumbu menyala, saya keluar dari bioskop, menghampiri teman yang menunggu di luar membawa sepeda. Sambil menunggu dinamit meledak, kami bersepeda mengelilingi bioskop. Sudah ditunggu lima menit lebih kok tidak ada ledakan? Saya heran, seharusnya dalam lima menit dinamit meledak.

Setelah sekian lama menanti, saya masuk kembali ke bioskop untuk mengambil koper. Saya sendiri heran mengapa saat itu bisa terpikir untuk kembali masuk dan mengambil dinamit. Setelah diperiksa, ternyata sumbu dinamit mati terkena lelehan parafin. Itulah sebabnya dinamit tidak meledak. Tidak terbayang oleh saya jika dinamit itu benar-benar meledak. Bisa-bisa pengeboman bioskop menyulut amarah Belanda dan memicu peperangan yang lebih besar. Sebab, ­pengunjung di dalam bioskop itu adalah pejabat-pejabat tentara Belanda.

Sekitar Maret 1949, saya ditangkap tentara Belanda karena ketahuan membawa granat di kantong celana. Saya ingat waktu itu hari Minggu, subuh-subuh saya mengayuh sepeda ontel merek Gazelle menuju perbatasan. Di kantong kiri dan kanan ada granat tangan yang hendak dikasihkan ke gerilyawan. Saya pikir hari itu aman karena hari Minggu tentara Belanda biasanya pergi ke gereja. Tak tahunya di tengah jalan saya dicegat belasan tentara. Sepertinya mereka sudah mengincar saya. Mereka bersembunyi di balik pohon. Ketika saya melintas, mereka keluar dan menyergap saya.

Saya dibawa ke pos terdekat. Di sana saya dipukuli dan ditendangi sampai dada dan leher saya menghitam terkena semir sepatu lars tentara Belanda. Saya disuruh berjalan telanjang kaki dan dada ke pos lain sambil membawa granat. Ini cara Belanda menakut-nakuti warga agar tidak berbuat seperti saya. Teman-teman saya pasti berpikir bahwa saya akan ditembak mati. Saya ditahan beberapa waktu dan sempat dijadikan tameng hidup. Saya disuruh ikut tentara Belanda yang berpatroli dengan jip, saya diminta duduk di depan, menjadi tameng buat mereka. Sepertinya saat itu saya tidak ditembak mati karena dianggap masih kecil.

Saya masih suka menggambar ketika berada di tahanan. Ada penjaga yang melihat dan meminta saya membuatkan sketsa wajahnya. Tak lama kemudian penjaga lain juga minta dibikinkan sketsa wajah. Tentara Belanda jadi senang dan saya tidak dipukuli lagi. Kendati menyeramkan, pengalaman itu tidak membuat saya mengalami trauma. Tidak ada perasaan takut ketika saya berada dalam tawanan Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949, saya dibebaskan. Di kemudian hari saya diberi gelar bintang gerilya karena pernah dipenjara oleh Belanda. Kalau tidak dipenjara, tidak akan mendapat gelar itu.

l l l

Pada 1952, Srihadi melanjutkan sekolah ke Balai Pendidikan Universiter untuk Guru Seni Rupa Fakultas Teknik Universitas Indonesia, cikal-bakal Institut Teknologi Bandung. Ia lulus pada 1959, setahun kemudian menjadi pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Pada tahun yang sama, Srihadi mendapat beasiswa untuk belajar di Amerika Serikat. Ia memilih studi di The Ohio State University di Columbus, Ohio.

Studi seni rupa di FTUI Bandung menandai akhir masa pembelajaran otodidak Srihadi. Selanjutnya ia mulai bersentuhan dengan seni rupa modern. Pada masa ini, Srihadi, profesor seni rupa yang membuat logo ITB itu, mengeksplorasi beragam gaya lukisan, dari kubisme hingga abstrak non-figuratif. Lukisan yang dibuat pada masa ini antara lain Wanita-wanita (1957) dan Sindhu Sanur Bali (1955).

Namun Srihadi tetap tak bisa lepas dari realisme. Ia membuat belasan lukisan yang diangkat dari realitas sosial-politik, seperti Air Mancar (1973), Anak-anak Irian dan Coca-Cola (1974), dan Minyak di Irian Jaya (1974). Lukisan itu realis dan mengandung kritik sosial.

Srihadi tak betah mengerjakan abstrak non-figuratif, karena itu lukisan abstraknya tetap diberi judul dan tema. "Srihadi konsisten pada sikapnya yang tidak bisa meninggalkan realitas," kata Jim Supangkat. Lukisan Srihadi pada masa perjuangan kemerdekaan sering disebut lukisan periode propaganda. Setelah mengenyam pendidikan seni rupa, Srihadi mengalami periode kritik sosial, kubisme, dan abstrak.

l l l

Di Amerika, saya mempelajari lukisan abstrak. Waktu itu semua mahasiswa seni rupa di sana mengembangkan abstrakisme. Walau tidak suka, saya tetap memberikan yang terbaik. Setiap mata kuliah, saya mendapat nilai A. Cukup banyak saya melukis abstrak. Sampai-sampai setelah lulus sempat menggelar pameran tunggal bertajuk "Srihadi" yang diadakan di The Ohio State University Gallery dan Globe Theater.

Karena pameran itu lepas dari kepentingan akademik, saya memberi judul pada lukisan-lukisan abstrak saya. Biasanya di sekolah lukisan abstrak tidak ada judul, hanya komposisi I, II, III atau untitled I, II, III. Saya tidak suka lukisan abstrak. Malah, sesampai di Indonesia, lukisan-lukisan itu saya bakar.

Sekembalinya ke Bandung, saya dan istri tinggal di kompleks dosen ITB di Sangkuriang, Cisitu. Setelah Gerakan September Tiga Puluh, kami mengetahui saya dan istri sempat jadi target operasi Partai Komunis Indonesia. Kami masuk daftar orang yang harus dibunuh, semata-mata karena kami pernah studi di Amerika. Hal itu diketahui setelah tentara menemukan alat-alat siksa dan daftar target operasi yang dikubur di sekeliling kompleks kami. Ada alat cungkil mata yang bentuknya seperti sendok es krim. Barang-barang itu sudah disiapkan. Sepertinya daftar itu dibuat oleh dosen ITB yang berhaluan komunis.

Pada 1975, digelar pameran seni rupa di Paviliun DKI Jakarta di Taman Mini Indonesia Indah. Lukisan saya yang berjudul Air Mancar membuat Gubernur Ali Sadikin marah. Saya melukis Jakarta penuh dengan reklame merek Jepang. Memang pada saat itu Jakarta penuh dengan reklame Jepang. Bahkan di atap Hotel Indonesia ada reklame besar Hitachi.

Sebelum pameran dibuka, pada pagi hari Ali Sadikin menyempatkan diri melihat-lihat karya yang akan dipamerkan. Saya mendapat laporan dari Pak Tjiong (Wastu Pragantha), asisten Ali di bidang seni, bahwa Pak Ali marah ketika melihat Air Mancar. Ia minta diambilkan spidol, lalu Pak Ali mencoret-coret lukisan.

Menurut laporan Pak Tjiong, Pak Ali mencoret-coret dengan hati-hati. Dia menulis "Sontoloyo", kemudian mundur selangkah, memperhatikan lukisan, lalu menulis lagi "Bakero", "Banzai", lalu mundur lagi. Setelah selesai, ia memberi tanda tangan "Sadikin". Gayanya yang maju-mundur itu sudah seperti pelukis beneran. Ali marah karena pada malam harinya pameran itu akan diresmikan Presiden Soeharto dan Ibu Tien. Ketika peristiwa itu terjadi, saya sedang berada di Taman Ismail Marzuki. Mendengar kejadian itu, saya tidak marah, malah ketawa-ketawa saja.

Selang beberapa hari, atas saran Ramadan K.H. dan Ajip Rosidi, Ali Sadikin meminta maaf. Ia mengundang saya makan di rumahnya di Jalan Borobudur. Saya menghormati Pak Ali karena ia orangnya fair. Saat itu saya juga minta maaf kepada Pak Ali. Tidak ada pejabat yang punya sikap seperti itu. Biasanya pejabat walau salah sekalipun sulit untuk minta maaf.

Pak Ali bahkan meminta saya membuat lukisan raksasa untuk dipajang di ruang kerjanya, di lantai 23 gedung Balai Kota. Saya membuat lukisan 12 x 3 meter berjudul Jayakarta, yang bercerita tentang perkembangan Jakarta sejak masa kolonial hingga Monas dibangun. Sekarang lukisan itu tak terawat.

l l l

Pada dekade 1990 dan 2000, Srihadi—yang memiliki rumah dan studio lukis di Jakarta, Bandung, dan Bali—berfokus pada tema lukisan horizon, bedaya, Bali, dan Borobudur. Ini adalah tema yang muncul terus-menerus sepanjang karier Srihadi. Ia melukis tema itu tanpa butuh obyek untuk diamati. Lukisannya di usia senja menunjukkan ekspresi emosi yang luar biasa. Ia menekankan pada renungan yang sifatnya meditatif dan spiritual.

Tema-tema itu tak lepas dari filsafat Jawa yang ia kenal sejak kecil. Melalui tema itu, Srihadi hendak mengingatkan manusia agar menjaga keselamatan hidup serta kehidupan di sekitar manusia. Menjaga keindahan dunia. Mengekspresikan budaya adiluhung. "Intinya adalah memayu hayuning bawono," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus