Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jorge Luis Ghiso ikut tersenyum saat melihat Manuel Pellegrini mengangkat trofi Liga Primer Inggris di layar televisi, Ahad dua pekan lalu. Teman Pellegrini semasa di klub Universidad de Chile itu langsung teringat kisah kebersamaan mereka tiga dekade lalu.
"Dia selalu membujuk dosennya agar bisa pulang 15 menit lebih cepat dari yang lain. Sebab, dia ingin berlatih sepak bola bersama kami," Ghiso mengenang. "Dia dari kalangan atas dan menjadi satu-satunya pemain yang mencicipi bangku kuliah di tim kami."
Lahir dari pasangan Emilio dan Silvia, Pellegrini remaja memang hidup berkecukupan di Santiago, Cile. Emilio adalah seorang kontraktor sukses pada 1950-1970. Ia memiliki perusahaan konstruksi dan arsitektur.
Emilio ingin kelak Pellegrini meneruskan usahanya tersebut. Karena itu, dimintanya sang putra kesayangan kuliah teknik sipil di Pontificia Universidad Catolica, Santiago. Ia ingin anak yang lahir pada 16 September 1953 itu menjadi insinyur andal.
Pellegrini manut meski menyimpan hasrat lain, yakni menjadi pemain sepak bola. Maka ia mengempos semangatnya untuk menjalani dua bidang itu: kuliah dan berlatih bal-balan. Setiap hari ia belajar di kampus dari pukul 08.30 hingga 10.00. Setelah itu, ia ngacir ke Universidad de Chile untuk bermain bola. "Dia baru lulus kuliah delapan tahun kemudian, dua tahun lebih lama daripada yang seharusnya," kata Ghiso. "Sebenarnya dia lebih suka bermain bola bersama kami."
Seperti di kelas, prestasi Pellegrini di lapangan biasa saja. Yang istimewa darinya, menurut teman dekat Pellegrini lainnya, Arturo Salah, hanya kegigihannya mengejar bola. "Karena dia seorang bek."
Pellegrini meraih gelar sarjana teknik pada 1979, lalu memilih bermain bola hingga 1984. Setelah itu, ia bergabung dengan perusahaan ayahnya. Tapi dia hanya bertahan dua tahun. Ketika Fernando Riera-pelatih yang membawa tim nasional Cile ke semifinal Piala Dunia 1962-memintanya melatih Universidad Catolica, ia langsung menerimanya. Karier kepelatihannya pun dimulai.
Sejak itu pulalah ia berusaha menancapkan identitas dirinya di jagat sepak bola. Ia ingin menggoreskan tanda tangannya di barisan pendukung sepak bola indah (atraktif). "Sebagai pelatih, saya tidak hanya bertanggung jawab memenangkan tim, tapi juga menghibur penonton," ujar Pellegrini. "Karena itu, memasukkan estetika dalam permainan sangat penting."
Estetika, unsur inilah yang membuat Pellegrini istimewa. Ia meniupkan napas seni ke dalam setiap tim yang dibesutnya. Ia membuat mereka memainkan bola-bola cantik, terus menekan, dan mencetak gol sebanyak-banyaknya.
Bagi Pellegrini, tak ada kamus bertahan total dalam sepak bola. Menurut dia, bisa saja memerintahkan pemain bertahan dan mengandalkan serangan balik. "Tapi saya tidak ingin menang dengan cara yang membosankan itu," katanya. "Cara kami meraih kemenangan sama pentingnya dengan kemenangan itu sendiri."
Dengan filosofi itu, Pellegrini menyulap sepak bola menjadi sajian yang enak ditonton. Ia menjahit sepak bola pragmatis Eropa (yang penting menang) dengan keindahan sepak bola Amerika Latin. Ibaratnya, dalam sebuah orkestra, dia adalah seorang komposer yang lihai meracik seksi gitar dan piano dalam satu sapuan riff yang indah.
Dengan caranya itulah ia lalu menorehkan segudang prestasi pada setiap klub yang ditukanginya. Ia meraih banyak trofi sejak di klub pertamanya, Universidad Catolica, hingga klub terakhirnya, Manchester City.
Tentu saja ada kisah kegagalan dalam perjalanannya. Dan itu ia alami saat membesut Real Madrid. Ia hijrah ke klub raksasa Spanyol itu setelah musim sebelumnya sukses di Villarreal. "Saya menyukai filosofinya. Villarreal bermain sangat indah dan mencetak gol dengan gaya yang hebat," ujar Florentino Perez, Presiden Real Madrid. Ia ingin Madrid bermain seatraktif Villarreal. Karena itu, selain mengontrak pelatih hebat, Perez mendatangkan empat pemain top: Ricardo Kaka, Cristiano Ronaldo, Karim Benzema, dan Xabi Alonso.
Sebenarnya pilihan Perez tak keliru. Di tangan Pellegrini, Madrid tampil menyerang. Mereka menutup musim dengan koleksi 102 gol dan 96 poin-rekor tertinggi sepanjang sejarah klub berjulukan Los Blancos itu. Sayang, mereka hanya finis di peringkat kedua di ujung musim karena kalah oleh Barcelona. Manajemen Madrid ogah menerima kekalahan ini. Pellegrini pun dipecat!
Pellegrini tentu punya alasan, Ia mengatakan di Madrid terlalu banyak pemain bintang. Jika diibaratkan sebuah orkestra, kata dia, di Madrid terlalu banyak gitaris. "Madrid memiliki sepuluh gitaris hebat, tapi tak seorang pun bisa memainkan piano," kata Pellegrini. "Apa yang bisa dilakukan seorang komposer tanpa pianis?"
Tugas seorang pianis tak hanya menyelipkan nada mengisi ruang kosong, tapi juga menghidupkan suasana. Di lapangan sepak bola, pianis itu bernama playmaker, pengatur ritme permainan.
Ketika Pellegrini berlabuh di Manchester City awal musim lalu, ia menemukan pianis idamannya pada diri David Silva dan Yaya Toure. Dengan dua "pianis" itulah ia memainkan orkestranya dengan cantik. Ia menghidupkan City dengan permainan indah. Hasilnya fantastis: mereka mencetak 100 gol hanya dalam 34 laga. Catatan ini menjadikan City sebagai tim pencetak gol terbanyak dalam waktu tercepat di Liga Primer Inggris!
Insting seni Pellegrini sudah terlihat sejak muda. "Saat remaja, ia banyak membaca buku dan mengunjungi museum, melihat-lihat lukisan," kata Arturo Salah. Selain kecintaannya kepada seni, ilmu teknik sipil yang ia kuasai turut memberi warna dalam filosofi sepak bolanya. Menurut dia, melatih tim sepak bola bagai membangun rumah. Keduanya membutuhkan fondasi yang kuat. Dalam sepak bola, fondasi tim adalah filosofi, yaitu bagaimana seharusnya mereka bermain. "Saya menyukai sepak bola indah dan inilah dasar sepak bola kami."
Latar belakang sebagai insinyur sipil juga membuat Pellegrini membenci skema serangan balik. Ia lebih suka membangun serangan secara bertahap, persis seperti proses membangun rumah yang dimulai dari fondasi, dinding, baru atap. Pellegrini selalu meminta pemainnya menyerang dengan umpan-umpan pendek dan pressing ketat-mirip gaya tiki-taka.
The Citizens-julukan Manchester City-sukses mengambil tuah dari filosofi Pellegrini tersebut dengan menjuarai kompetisi utama di Inggris. Ini sekaligus menjadikan dia pelatih asal Amerika Latin pertama yang memenangi trofi Liga Primer.
Saat selebrasi, di salah satu sisi tribun di Etihad Stadium, sejumlah pendukung City membentangkan poster bergambar Pellegrini dengan tulisan "You Did It With Style!". Pellegrini hanya menjawab pujian itu dengan kalem. "I did it my way," katanya, mencomot lagu Frank Sinatra.
Dwi Riyanto Agustiar (Guardian, Telegraph, Sky Sports, Espnfc)
Perjalanan Karier Kepelatihan
Klub Universidad Catolica (Cile)
- Juara Interamericana (1994)
- Juara Copa Chile (1995)
- Copa Libertadores (1994, 1995)
Klub LDU Quito (Ekuador)
- Juara liga utama di Ekuador (1999)
Klub San Lorenzo (Argentina)
- Juara Primera Division dan Copa Mercosur (2001)
Klub River Plate (Argentina)
- Juara Primera Division (2002)
Klub Villarreal (Spanyol)
- Urutan ketiga La Liga (2004)
- Semifinal Liga Champions (2005)
- Menjuarai UEFA Intertoto Cup
Klub Real Madrid (Spanyol)
- Urutan kedua La Liga (2010)
Klub Malaga (Spanyol)
- Perempat final Liga Champions (2012)
Klub Manchester City (Inggris)
- Juara Piala Liga (2014)
- Juara Liga Primer (2014)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo