Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara peluncuran buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia di Galeri Nasional, Jakarta, 8 Mei lalu, berlangsung meriah. Para pencinta seni, kolektor, dan pengamat seni hadir, antara lain Budi Setiadharma, Syakieb Sungkar, Denny Saputra, Li Hauw Ming, dan Siont Tedja. Mereka pula yang membentuk Perkumpulan Pencinta Seni Indonesia (PPSI) dan menjadi pemrakarsa buku yang membeberkan seluk-beluk bisnis lukisan palsu itu.
Dalam lima-enam tahun terakhir, pemalsuan lukisan terasa ibarat penyakit yang kian parah dan mengerikan. Tapi buku itu mengungkap pengakuan salah satu dealer lukisan palsu bahwa bisnis haram tersebut telah berlangsung sejak pertengahan 1980-an. Bukan hanya milik maestro yang telah wafat, karya pelukis yang masih hidup pun dipalsukan. Salah satu korbannya adalah Srihadi Soedarsono, pelukis yang juga guru besar seni rupa Institut Teknologi Bandung.
Srihadi tak hadir dalam acara di Galeri Nasional itu. Dia dan istrinya sedang berada di Singapura untuk persiapan pameran tunggal yang akan digelar di Kompleks Gillman Barracks bulan depan. Tapi, anehnya, Srihadi skeptis terhadap acara peluncuran buku itu. Menurut dia, persoalan lukisan palsu ini sudah basi. "Kenapa tidak diangkat dari dulu?" ujarnya. Dia juga melihat penulisan buku itu tidak berimbang. "Sudah ada keberpihakan, seperti menyudutkan pihak lain."
Di rumahnya di kawasan Ciumbeuleuit, Bandung, Srihadi bertutur panjang-lebar tentang pemalsuan lukisan. Dua tangannya membopong empat stopmap biru dan kuning. Map itu berisi foto-foto lukisan, cetakan surat elektronik, sertifikat dari balai lelang internasional, dan bermacam surat pernyataan. Dia meletakkan stopmap itu di lantai studio.
"Ini repro lukisan yang saya sukai yang sempat saya tangkap, yang lain entah ke mana. Nah, sebagian lagi yang palsu-palsu," ujar Srihadi sembari menunjukkan isi map tersebut. Dalam buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia, Srihadi pernah meminta seorang pemilik galeri merobek lukisan palsu yang disebut sebagai karyanya. Ada foto ketika perwakilan galeri menyayat lukisan hingga kanvasnya robek.
Sejak 10-15 tahun lalu, Srihadi sudah menemukan banyak lukisannya dipalsu. Karya yang paling banyak dipalsu, menurut Sitti Farida, istrinya, adalah lukisan bertema Bali dan tari legong. Jumlahnya? Keduanya mengaku tak mendatanya secara terinci.
Saya mengenal semua karya saya meskipun tak mendokumentasikan secara lengkap. Kalau ada orang datang membawa dan menanyakan keaslian karya yang saya buat sepuluh tahun lalu, ya, saya akan tahu, karena itu karya saya. Jika seorang kolektor mengetahui lukisan itu bukan karya saya, semua serahkan ke dia, mau diapakan. Ini soal kejujuran.
Orang yang memalsukan lukisan saya itu saya anggap sebagai orang yang mencari rezeki tidak halal. Saya juga tidak bisa menangkap komplotan ini. Mereka sudah punya lingkungan sendiri dan keberanian memalsukan. Bahkan sebuah balai lelang asing terkenal pernah akan melelang lukisan yang dinyatakan sebagai lukisan saya, padahal itu bukan lukisan saya. Lukisan itu bertema penari. Sambil jongkok, saya menunjukkan sebuah katalog krem bersampul keras dari sebuah balai lelang yang memuat lukisan "Srihadi".
Begitu tahu lukisan palsu itu akan dilelang, saya mengeluh kepada mereka, tapi mereka tidak menanggapi. Tidak juga mereka membuat pernyataan bahwa lukisan itu palsu. Mereka hanya membatalkan lelang lukisan yang dinyatakan sebagai lukisan saya itu. Tak jelas kemudian lukisan itu dikemanakan dan diapakan.
Srihadi menunjukkan beberapa lembar cetakan dari situs lelang yang memuat lukisan-lukisannya. Situs lelang itu menjadi bagian dari sebuah perusahaan yang didirikan di New York pada 1998 dan terdaftar di bursa efek Frankfurt, Jerman.
Suatu ketika pula sebuah lukisan yang disebut karya Srihadi milik seorang kolektor diragukan keasliannya. Setelah dicek, lukisan itu memang bukan karyanya tapi bertanda tangan Srihadi.
Nah, lama setelah kasus balai lelang itu, lukisan tersebut muncul di Internet—ini sudah saya cetak. Rupanya, lukisan palsu yang dulu didrop di balai lelang itu, eh, muncul lagi di Internet. Di situs ini lukisan palsu saya bercampur dengan lukisan saya yang asli. Ini sangat membingungkan orang. Kalau sudah begini kan susah melacaknya.
Banyak memang yang datang atau mengirimkan e-mail untuk memastikan lukisannya benar karya saya atau bukan. Biasanya mereka adalah kolektor atau calon pembeli. Mereka sudah menyerahkan uang muka tapi belum yakin terhadap keaslian lukisannya. Mereka datang membawa lukisan atau fotonya.
Soal lukisan palsu yang dirobek itu, begini ceritanya. Saya tidak tahu lukisan itu dari mana. Seorang kolektor mengirimkan lukisan itu untuk mendapatkan sertifikat. Lukisan itu sudah terpajang lama di rumahnya, dan beberapa tamu yang melihat ragu akan keasliannya. Lalu disarankan untuk mencari sertifikat dari saya. Nah, dia minta kejelasan dan datang ke rumah. Galerinya menelepon saya. Nah, kalau benar itu lukisan saya, ya, saya mau memberikan sertifikat. Tapi, kalau bukan, ya, lukisan itu harus dimusnahkan dan penjualnya harus bertanggung jawab.
Begitu dia datang, saya lihat lukisan itu memang bukan lukisan saya. Ya, sudah, akhirnya dirobek. Orang galerinya sendiri yang merobek. Itu mempermalukan galerinya. Kolektornya orang Jerman. Peristiwa perobekan itu terjadi pada 1998.
Pemalsuan lukisan di negeri ini sepertinya bukan masalah besar. Padahal ini kriminal. Kalau di Belanda, pemalsu ini dipenjara. Tapi di negeri yang rusak ini, ya, dibiarkan saja. Jangan kata pemalsuan, pencurian saja tidak diusut kalau tidak ada duitnya. Saya pernah kehilangan lukisan yang belum selesai. Pencurinya masuk lewat belakang dan memotong kanvas dari bingkainya.
Saya laporkan pencurian itu, tapi sampai sekarang tidak ada tindakan lebih lanjut. Mereka juga tidak mencarinya. Kalau mau mencari ke sana-kemari butuh duit, saya malah seperti diperas. Akhirnya saya relakan saja daripada keluar uang banyak tapi tidak jelas. Namun saya masih mengantongi surat laporan kehilangan dari kepolisian jika suatu ketika ada pihak yang menanyakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo