Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum Pagi Terulang Kembali
Sutradara: Lasya F. Susatyo
Skenario: Sinar Ayu Massie
Pemain: Alex Komang, Adinia Wirasti, Nungki Kusumastuti, Fauzi Baadila
Produksi: Cangkir Kopi
Ketika jendela terbuka, pagi merayap masuk. Dan kita selalu berharap akan ada sesuatu yang baru. Itulah pagi bagi Yan (Alex Komang), hening, bersih, murni, hingga beberapa detik kemudian hari itu akan dikotori oleh keringat siang yang gerah dan berdaki.
Sosok seperti Yan adalah prototipe pejabat pemerintah yang mencoba menjaga hari-harinya tetap bersih dan tenteram, yang berhati lurus, dan jenis yang sekarat di Indonesia. Di rumahnya, bersama Ratna (Nungki Kusumastuti) dan ibundanya (Maria Oentoe) serta anak-anaknya, Yan selalu mencoba membuka sebuah pagi yang baru. Ibunya membuka hari dengan menitipkan roti buatannya di toko roti; putranya, Satria (Fauzi Baadila), sudah merancang geraknya melobi kiri-kanan untuk proyek perusahaan kontraktornya; putri bungsunya, Dian (Adinia Wirasti), berlari pagi sembari mempersiapkan diri untuk hari pernikahannya dengan Hasan (Ibnu Jamil), anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Hanya dalam beberapa menit, kita segera disadarkan bahwa pagi yang segar itu segera saja rusuh karena kedatangan putra sulung Yan (Teuku Rifnu Wikana) dengan menggotong koper karena baru saja memutuskan berpisah dengan istrinya.
Kesan pertama dari potret keluarga ini mengembalikan kita pada kerinduan terhadap film-film Teguh Karya, seperti Di Balik Kelambu (1983), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1989), yang lazim bercerita tentang keluarga dengan berbagai persoalan yang dihadapi anak-anaknya. Tapi ini keluarga tahun 2014, pascareformasi. Problem keluarga sudah jauh lebih rumit dan modern.
Pada masa Teguh Karya, problem yang dihadapi Ibunda Rakhim (Tuti Indra Malaon) adalah masalah putranya yang sudah berkeluarga (juga diperankan Alex Komang) yang tidur dengan nyonya produser. Dalam film arahan Lasya, pasangan Yan dan Ratna menghadapi aneka persoalan berat: anak sulung yang baru bercerai dan kehilangan pekerjaan; anak kedua yang merancang ambisinya dengan cara yang salah: meminta Bapaknya memberikan kontrak pembangunan pelabuhan kepada perusahaannya; dan anak bungsunya yang cantik yang tengah merenda hari depan dengan anggota DPR yang berwajah tampan tapi serakah bukan kepalang. Artinya, problem orang tua masa kini adalah menghadapi anak manja seperti Satria yang kepinginnya disodori tender oleh orang tua dan meraih sukses instan (mobil mewah selalu menjadi lambang kemakmuran bangsa ini, rupanya).
Sutradara Lasya F. Susatyo akhirnya berhasil menunjukkan sinarnya. Kali ini dia didampingi penulis skenario Sinar Ayu Massie. Film ini menyajikan cerita tentang keluarga biasa dengan problem yang tidak sederhana: soal benar atau salah; soal bantu-membantu dalam keluarga; soal sejauh apa anggota keluarga kita boleh dibantu dan di mana kita meletakkan garis moral untuk menentukan apa yang disebut korupsi dan gratifikasi. Dengan plot yang cerdas, seni peran yang meyakinkan, dan dialog yang menggambarkan keseharian, Sebelum Pagi Terulang Kembali adalah sebuah film bermisi tanpa berkhotbah. Lasya dan Ayu Massie berhasil menjalin cerita tentang tiga anak yang memiliki probÂlem tapi akhirnya terpaut oleh masalah korupsi yang sama.
Lasya tampak memilih bersikap antisentimental. Pilihan yang bisa dipahami, karena ada hiperbolisme ribuan sinetron (yang menular ke industri film) yang memeras air mata. Tapi sang sutradara tetap wajib memberi ruang kepada perdebatan batin Yan. Di dalam film ini, dia hanya digambarkan mondar-mandir sebelum memutuskan masa depan Satria yang manja itu. Kita perlu mengetahui apa perasaan Yan ketika karier dan situasi finansial Satria mendadak melesat seperti meteor; apa pula perasaan sang Bapak ketika akhirnya mundur dari tempatnya bekerja. Lasya seolah-olah memperlakukan tumpukan emosi itu seperti lemak yang perlu diiris dan dibuang sehingga para tokohnya menjadi sosok-sosok rasional, antisentimental, yang mengubur emosinya sedalam mungkin. Karena itu, Yan memang tidak menjadi Si Mamad (Sjumandjaja, 1973), sosok sederhana, lurus, dan kisahnya berhasil menyentuh kita hingga ke tulang sumsum.
Di luar itu, Lasya masih tetap menunjukkan tokoh-tokohnya adalah orang-orang yang bisa bergurau. Dialog yang lucu—"Cepet ganti mobil, pake mobil karatan gini lu bisa tetanus, tau," kata anggota DPR, Sigit (Joko Anwar), yang aktif sekali mencari proyek ke departemen tempat Yan bekerja—justru asyik ditonton. Karakter pendukung film ini, trio sohib yang berkolusi, yakni anggota DPR-pengusaha yang diperankan Joko Anwar, Ibnu Jamil, dan Richard Oh, membuat kita seperti sedang membaca koran sehari-hari. Mereka tampak seperti trio badut peraup duit rakyat yang ingin kita cekik dengan jaket oranye itu, jaket KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang menjadi hit sebagai benda yang jadi simbol bulan-bulanan.
Film ini didukung Transparency International Indonesia, yang sebelumnya juga membantu pembuatan film omnibus Kita Vs Korupsi, yang mempunyai pernyataan yang sama: moral antikorupsi selalu dimulai dari unit terkecil, yaitu keluarga. Jika orang tua Anda koruptor, kemungkinan sangat besar anak-anak Anda jadi terbiasa dengan jalan pintas menjadi kaya raya dan menganggap korupsi bukan tindak kriminal.
Menurut saya, Lasya dan tim film ini berhasil bercerita dengan baik. Kita tetap terhibur dan melanjutkannya dengan diskusi dan perdebatan sejauh apa keluarga memiliki tanggung jawab moral terhadap anak-anaknya, bahkan setelah mereka tumbuh dewasa. Melalui film ini, Lasya membuka perdebatan itu. Tapi Lasya juga ingin kita bersikap optimistis seperti Yan, seperti saat dia membuka jendela menyambut pagi.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo