Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para ahli virus dunia mendapat tantangan baru. Kali ini bukan dari kasus flu burung di Cina atau sindrom saluran pernapasan akut (SARS) di Hong Kong. Tantangan itu berasal dari Timur Tengah, tepatnya di Semenanjung Arab. Adalah Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV), virus penyebab flu Arab, yang kini polahnya makin ganas.
Sejak pertama kali dideteksi pada September 2012, MERS-CoV telah menginfeksi lebih dari 530 orang hingga pekan ini. Nyaris sepertiganya tewas. Sebagian besar kasus dijumpai di Arab Saudi dan negara-negara di sekitarnya. Dua di antara korban terinfeksi adalah warga Indonesia. Para peneliti berkejaran dengan waktu karena korban terus berjatuhan dalam beberapa bulan terakhir.
Secercah harapan datang dari Cina dan Hong Kong. Tim peneliti gabungan dari Tsinghua University, Sichuan University, dan The University of Hong Kong sukses mengisolasi dua antibodi monoklonal yang berfungsi spesifik untuk menetralisasi virus MERS. Kedua antibodi itu, MERS-4 dan MERS-27, terbentuk dari rantai tunggal fragmen antibodi non-imun manusia.
"Efek gabungan dari dua antibodi monoklonal itu ampuh melawan aktivitas MERS-CoV tipe liar atau mutan selama infeksi dan penyebaran," begitu tim peneliti menulis dalam artikel yang dimuat di jurnal Science Translational Medicine edisi 28 April 2014.
Antibodi adalah protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh. Ia mengenali virus dan bakteri asing yang dianggap mengancam kesehatan. Di antara beragam antibodi itu, terdapat antibodi penetral, yang tidak hanya mengenali virus tertentu, tapi juga mencegahnya menginfeksi sel tubuh.
Menemukan antibodi penangkal MERS-CoV menjadi urusan krusial. Sebab, kuman anggota kelompok Betacoronaviridae yang memicu penyakit pernapasan akut parah ini belum ada vaksinnya. Namun, dari sejumlah penelitian sebelumnya, diketahui bahwa infeksi virus MERS, seperti virus jenis lain, sangat ditentukan oleh perlekatannya dengan sel tubuh manusia.
Liwei Jiang, anggota tim peneliti, menyatakan perlekatan virus MERS bergantung pada area ikat reseptor (RBD) pada selubungnya yang berupa glikoprotein berbentuk duri. Infeksi terjadi ketika RBD pada selubung virus mengikat reseptor dipeptidyl peptidase 4 (DPP4) pada permukaan sel manusia.
Nah, dalam percobaan di laboratorium, MERS-4 dan MERS-27 terbukti ampuh menghalangi perlekatan virus sehingga mencegah terjadinya infeksi. MERS-4, khususnya, mampu menghambat pembentukan syncytia yang disebabkan oleh interaksi antara selubung glikoprotein virus dan reseptor DPP4. Syncytia adalah penggabungan sel-sel menjadi sel berukuran besar dengan banyak inti sebagai akibat dari infeksi virus. HIV juga memicu syncytia terhadap sel yang diserangnya.
Tak hanya itu, analisis mutagenesis menunjukkan MERS-4 dan MERS-27 mengenali segmen yang berbeda pada RBD virus. Adapun analisis biokimia menunjukkan MERS-4 mengikat RBD virus 45 kali lipat lebih kuat daripada DPP4 milik sel target. "Ini berarti antibodi MERS-4 dan MERS-27 berpotensi dikembangkan menjadi vaksin MERS," ucap Jiang.
Harapan lain muncul dari Negeri Abang Sam. Tim peneliti dari Dana-Farber Cancer Institute, bekerja sama dengan ilmuwan dari University of North Carolina, telah menemukan tujuh antibodi yang juga berfungsi sebagai penetral virus MERS. Tujuh antibodi itu dipetik dari 27 miliar antibodi manusia yang disimpan di lemari pendingin di laboratorium Dana-Farber, semacam "perpustakaan antibodi" terbesar di dunia. Para peneliti menggunakan sampel virus untuk menyaring antibodi itu.
Pemimpin penelitian, Wayne Marasco, dalam artikel yang dimuat di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, mengatakan antibodi temuan timnya mampu mencegah duri virus MERS menancap ke permukaan sel manusia. "Bisa dikembangkan untuk imunoterapi, terutama bagi petugas kesehatan yang rawan tertular virus," tuturnya.
Salah satu antibodi, berlabel 3B11, terpilih sebagai kandidat terkuat untuk dikembangkan sebagai vaksin. Marasco mengatakan 3B11 telah diproduksi dalam jumlah yang cukup untuk diuji coba pada primata nonmanusia dan tikus. Mereka ingin mengetahui apakah antibodi itu cukup ampuh melindungi hewan uji dari serangan MERS-CoV, virus yang diduga kuat berasal dari kelelawar dan unta.
Ilmuwan di Tanah Air tidak mau ketinggalan. Ketua Pusat Riset Flu Burung Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom, mengatakan virus MERS tak jauh berbeda dengan virus flu burung. Tempat perlekatan kedua virus itu terdapat di sel-sel organ pernapasan bagian bawah, seperti saluran bronkial dan paru-paru. Virus akan masuk, memperbanyak diri, lalu naik ke organ pernapasan bagian atas.
"Gejala yang ditimbulkan mirip flu musiman," ujarnya kepada Tempo. Padahal serangan virus MERS sudah banyak merusak sel paru-paru. Ini ditunjukkan dengan pneumonia berat dan akut. "Gaya menyerang" ini agak berbeda dengan virus SARS, yang melekat pada sel-sel organ pernapasan bagian atas.
Virus MERS dan SARS, meski berkerabat, memiliki perbedaan penting. Sementara virus MERS melekat pada reseptor DPP4, virus SARS menempel pada angiotensin-converting enzyme 2. Perbedaan lain adalah virus MERS ternyata memerlukan suatu enzim protease untuk mendongkrak efektivitas memasuki sel. "Kami menyiapkan antiprotease sehingga virus tidak mudah masuk ke sel," kata Nidom.
Nidom mengakui tidak mudah membuat antivirus MERS. Sebab, struktur genomnya sekitar 35 ribu pasang basa, terbilang besar dibanding virus flu burung (H5N1), yang hanya 13 ribu pasang basa. Namun itu bukan berarti tidak ada harapan. Ia mencontohkan penemuan vaksin untuk varian coronavirus penyebab penyakit avian infectious bronchitis pada ayam. "Pada prinsipnya, MERS atau SARS bisa dibuat vaksinnya, hanya butuh teknik yang tepat dan spesifik," ujarnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menyambut baik munculnya beragam riset pencarian antibodi penangkal virus MERS. Namun itu bukan berarti vaksin dapat diproduksi dalam waktu dekat. Ia mengatakan tidak semua penyakit bisa dengan mudah ditemukan penawarnya. "Banyak penyakit yang lebih tua daripada MERS belum ada antinya," katanya.
SARS, yang menginfeksi lebih dari 8.000 orang pada 2003 dan menewaskan 12 persen di antaranya, hingga kini belum ditemukan vaksinnya. Hal serupa bisa menimpa MERS. Tjandra membenarkan, Balitbang Kementerian Kesehatan belum memulai riset vaksin untuk flu Arab. Sebab, sampai saat ini, pihaknya belum memperoleh sampel isolat virus dari pemerintah Arab Saudi. Isolat virus berfungsi bak cetakan untuk memancing antibodi yang akan dikembangkan menjadi vaksin.
Memperoleh isolat virus dari negara lain tidak bisa sembarangan karena terikat dengan Standard Material Transfer Agreement, ketentuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tentang alih-tangan sampel organisme antar-organisasi atau negara. Meski begitu, Indonesia, bersama Thailand dan India, menjadi negara di kawasan Asia Tenggara dan Selatan yang mampu mendeteksi virus MERS.
Tjandra mengatakan, sembari menunggu riset vaksin, flu Arab akan ditangani lewat beberapa cara. Di antaranya mengisolasi dan merawat penderita, mencegah sepsis atau penyebaran virus ke organ lain, serta menguji coba beberapa obat, seperti ribavirin dan interferon-gamma. Namun, sejauh ini, khasiat obat itu belum memuaskan.
Ada pula pendekatan convalescent plasma, yaitu mengambil darah dari penderita flu Arab yang telah sembuh, mengolahnya, lalu mentransfusikannya ke pasien lain. "Karena di dalamnya sudah ada antibodi," ujarnya. Cara ini ampuh untuk menangani wabah SARS lebih dari satu dasawarsa lalu.
Pemerintah tentu patut waspada terhadap flu Arab. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia akan selalu berhubungan dengan Arab Saudi. Saban tahun jutaan warga Indonesia mengunjungi Tanah Arab untuk menjalani umrah dan haji. "Bayangkan jika MERS mencapai tingkat keganasan seperti SARS. Apa yang terjadi pada jemaah yang berkumpul di lokasi dan waktu yang sama?" kata Nidom.
Mahardika Satria Hadi
Data dan Fakta tentang MERS
MERS-CoV pertama kali diidentifikasi pada 2012 di Arab Saudi, Yordania, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, Kuwait, dan Yaman. Belakangan, MERS-CoV telah menyebar ke Prancis, Italia, Tunisia, Inggris, Mesir, Malaysia, Filipina, Yunani, hingga Amerika Serikat.
MERS-CoV diketahui berasal dari kelelawar, berkerabat dekat dengan strain virus corona lain pada kelelawar yang diisolasi dari Cina (BtCoV-HKU4 dan BtCoV-HKU5), Belanda (BtCoV/VM314/2008), dan Afrika Selatan.
Belakangan, virus ini juga diduga berasal dari unta, setelah para ilmuwan menemukan beberapa subtipe MERS-CoV pada DNA unta ternyata identik dengan yang menginfeksi manusia.
60-70% dari total pasien yang terjangkit flu Arab memiliki penyakit lain, seperti diabetes, gagal ginjal, dan sakit jantung.
MERS-CoV
Membran sel manusia --> Anti-bodi anti DPP4 --> Reseptor DPP 4
MERS-CoV
Orang-orang yang terinfeksi MERS-CoV mengalami gejala pneumonia.
Batuk --> Menggigil --> Sesak napas dan nyeri dada --> Demam --> Puncaknya radang paru-paru parah yang berlanjut pada disfungsi pernapasan akut yang bisa berujung pada kematian.
Jika ada isolat virus yang menginfeksi warga Indonesia, vaksin akan dibuat dengan teknologi reverse genetic, cara yang sama untuk membuat vaksin flu burung. Jika tidak ada isolat virus, pembuatan vaksin dengan teknologi knockout vaccine seed atau virus like particle.
WHO, CDC, PLOS, NATURE, Balitbang Kemenkes, AIRC Unair
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo