KATA pepatah, air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Artinya, kalau Ibunya Retno Maruti dan ayahnya Sentot Sudiharto, maka Rury Nostalgia, sang anak, pastilah akan sulit menjadi pembalap. Pelimbahan mereka itu sudah jelas juntrungannya: tari. Ibu, ayah, dan anak tunggal ini menari bersama di Gedung Kesenian Jakarta pekan lalu, dalam fragmen Sekar Pembayun. Retno, selain penata tari, adalah pemeran Sekar Pembayun, putri Senapati. Di atas pentas, ia membujuk seorang pemberontak dengan cinta dan kelemahlembutan. Ki Ageng Mangir, pemberontak itu, akhirnya mengawini Sekar Pembayun tapi akhirnya dibunuh justru ketika menghadap Senapati dalam status menantu. Coba, kalau Mangir tak dibunuh, dan pasangan ini sampai punya anak putri, pastilah klop. Pentas dan luar pentas bisa mirip, karena Mangir itu diperankan Sentot. Karena cerita tak bisa dipelesetkan -- ini bukan dagelan seperti Teater Koma -- maka Retno cuma bisa menjadikan Rury dayang-dayang. "Tapi ini dayang-dayang bermutu. Sejak kecil biasa menari," kata Retno. Rury, gadis 17 tahun yang masih di kelas 2 SMA, cuma tersenyum. Sebagai ahli waris bakat orangtuanya, Rury sangat ketat berlatih tari. Hari Minggu ia belajar tari Jawa dari ibunya. Hari lain ia belajar tari Minang dan tari Betawi. "Dia boleh belajar tarian apa saja. Tapi nomor satu yang harus dia kuasai adalah tari Jawa," ujar Retno lagi sambil menunjuk Rury. Dayang-dayang itu kembali cuma tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini