Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria bernama lengkap Yohannes Christian John itu gagal mendulang cukup suara saat maju sebagai calon legislator dari Partai NasDem di daerah pemilihan Jawa Tengah IX—meliputi Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal—dalam Pemilihan Umum 2019. Menurut petinju kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, ini, sabuk juara dunia belumlah cukup. “Perlu modal lebih banyak, ha-ha-ha...,” katanya kepada Tempo, Selasa, 18 Juni lalu.
Chris, 39 tahun, kini kembali berfokus ke ring. Dia menjadi promotor lewat PT Chris John Indonesia dan membina petinju berbakat lewat Chris John Foundation. Petinju legendaris ini menilai tinju Indonesia sedang mati suri. “Perlu dibangkitkan dengan menggelar pertandingan secara rutin,” ujarnya.
Dia akan menggelar kejuaraan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, awal Juli nanti. Sembari menunggu laga tersebut, ia berkonsentrasi mendampingi dua putrinya, Maria Luna Ferisha, 13 tahun, dan Maria Rosa Christiani, 10 tahun, yang akan mewakili Jawa Timur dalam Kejuaraan Nasional Wushu Piala Presiden di Pangkalpinang, Bangka Belitung, pekan ini. Sebelum menggeluti tinju, Chris muda adalah atlet wushu. Begitu juga istrinya, Anna Maria Megawati. “Anak-anak enggak ada yang mau tinju, he-he-he...,” kata Chris.
Nafa Urbach. TEMPO/Nurdiansah
Dibawa ke Zaman Keraton
NAFA Indria Urbach, 39 tahun, masih ingat betul pengalamannya blusukan kala berkampanye sebagai calon anggota legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah VI, yang meliputi Kabupaten Purworejo, Magelang, Wonosobo, dan Temanggung serta Kota Magelang. Nafa kerap diajak berlesehan dengan para petani sembari minum kopi tubruk. “Mereka juga merokok dengan tembakau linting. Jadi bau tembakaunya begitu kuat,” ujar Nafa, Rabu, 19 Juni lalu.
Di daerah pemilihannya, perempuan kelahiran Magelang ini juga kerap menjumpai orang yang masih percaya pada berbagai ritual kejawen. Tak jarang warga mengajaknya mengunjungi tempat wisata yang juga digunakan untuk mempraktikkan ritual tersebut.
Saat berkunjung ke daerah pemilihannya, Nafa pun mesti menyapa warga memakai bahasa Jawa krama inggil (bahasa Jawa halus). “Jadi saya merasa seperti dibawa ke zaman keraton,” tutur penyanyi yang namanya melambung sejak 1995 ini. Beruntung, sejak Nafa kecil, ibunya membiasakan dia berbicara dengan bahasa Jawa. “Walaupun sebenarnya, kalau inggil banget, aku mboten ngertos, he-he-he…,” kata perempuan berdarah Belanda-Jerman-Jawa ini.
Nafa menuturkan, meski akhirnya gagal menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ia ingin lebih aktif di partainya, NasDem. Apalagi, menurut Nafa, ketua umum partainya pernah mengatakan ia memiliki potensi besar berkecimpung di dunia politik. “Politik memang sudah menjadi passion aku sejak dulu. Lagian bosan jadi artis terus,” ucapnya, diikuti derai tawa.
Giring Ganesha. TEMPO/Jati Mahatmaji
Berfokus Membesarkan Partai
GIRING Ganesha Djumaryo tak berlama-lama kecewa setelah gagal terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mantan vokalis grup musik Nidji ini langsung tancap gas membenahi Partai Solidaritas Indonesia, partai yang mengusungnya, bersama kawan-kawannya. “Kami menyiapkan strategi baru,” ujarnya, Rabu, 19 Juni lalu.
Sejak PSI diketahui tak mencapai ambang batas parlemen yang sebesar 4 persen, Giring dan teman-teman mengevaluasi partai mereka. Mereka pun mengidentifikasi demografi pemilih potensial PSI, seperti usia dan kecenderungan bermedia sosial. “Dulu kami belum tahu,” katanya.
Giring, 35 tahun, maju sebagai calon anggota legislatif dari PSI untuk daerah pemilihan Jawa Barat I, yang meliputi Kota Bandung dan Kota Cimahi. Ia memperoleh 47.069 suara. Tapi, lantaran PSI hanya mendapat 1,79 persen suara secara nasional, ia gagal melenggang ke Senayan.
Giring belum tahu apakah akan maju lagi dalam pemilihan umum lima tahun mendatang. Hingga kini, ia hanya ingin berfokus pada keluarga; media online yang dirintisnya, Kincir.com; dan PSI. “Yang jelas mau nggedein PSI dulu,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo