Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Cinta untuk Diri

Mencintai diri sendiri menentukan kualitas relasi dengan siapa pun di sekeliling kita. Kampanyenya makin ramai belakangan ini.

22 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cinta untuk Diri/ The Golden Space Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jenny Jusuf, 35 tahun, berkali-kali terlibat dalam hubungan percintaan. Penulis naskah film ini sering berkencan, bahkan sempat bertunangan dengan pria asal Prancis. Tapi sebagian hubungannya tak berjalan menyenangkan. “Saya berkali-kali terlibat dalam hubungan yang abusif,” ujarnya, Sabtu, 8 Juni lalu.

Sebelumnya, ia tak begitu peduli pacarnya melakukan kekerasan kepadanya. Bagi Jenny, asalkan sang pacar sayang, ia merasa bahagia. Ia juga sangat peduli terhadap omongan orang lain. Ia melakukan segala hal untuk mendapatkan apresiasi dari mereka. Tapi, ketika tak mendapat balasan yang sama, ia merasa tak berharga. “Saya juga seorang tukang kritik nomor wahid dan selalu menemukan alasan untuk tidak bahagia,” kata peraih Piala Citra untuk kategori Skenario Adaptasi Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2015 lewat film Filosofi Kopi itu.

Bertahun-tahun terjebak dalam pola seperti ini, ia kemudian sadar ada yang salah dengan dirinya. Ia berusaha mengobati diri sendiri dan mendatangi terapis, sebelas tahun silam. Dari situ, Jenny menemukan akar masalahnya: ia tak cukup mencintai diri sendiri. Karena itulah ia berusaha mendapatkan cinta dari orang lain.

Pengalaman ini membuatnya sering membahas seni mencintai diri sendiri (self-love) di akun Instagramnya, setahun terakhir. Ia mendorong 81.800 pengikutnya mencintai diri dengan memiliki penerimaan dan penghargaan yang sehat terhadap diri. Jenny yakin mencintai diri adalah dasar untuk merawat dan memelihara hubungan yang sehat dengan apa pun, termasuk kesehatan dan keuangan, juga orang lain. “Kualitas relasi dengan diri sendiri menentukan kualitas relasi kita dengan apa atau siapa yang ada di sekeliling kita,” ucapnya.

Ririe Bogar, 44 tahun, punya cerita lain. Dulu ia merasa rendah diri lantaran orang di sekitarnya kerap merisaknya karena badannya yang bongsor. Mereka memanggil Ririe dengan sebutan gorila, Godzilla, badak, dan segala makhluk besar lain. Ia bisa bangkit setelah tujuh tahun belajar menerima dan menghargai dirinya.

Ririe kemudian membuat komunitas Xtra-L pada 2007 untuk merangkul orang-orang berbadan besar sepertinya dan memupuk rasa percaya diri mereka. Tapi kepercayaan diri sebagian di antaranya malah kebablasan. Mereka menganggap, asalkan pede, ukuran badan tak usah dipedulikan. Mereka bisa makan apa pun tanpa memperhatikan kesehatan. Sebagian dari mereka bertambah gemuk, jatuh sakit, bahkan ada yang meninggal karena serangan jantung. “Kok, saya jadi menciptakan monster untuk diri mereka sendiri, ya?” tutur penulis buku Cantik Itu Ejaannya Bukan K.U.R.U.S tersebut.

Demi menggeser pemahaman itu, Ririe membuat kampanye baru: “Berani Makan Berani Olahraga”. Bersama hipnoterapis Floranita Kustendro, ia pun menciptakan komunitas Body Positivity Indonesia yang diluncurkan pada Februari lalu. Selain memupuk rasa percaya diri, mereka mendorong siapa pun lebih menghargai diri sendiri, antara lain dengan cara merawat diri dan menjaga kesehatan. “Itu bagian dari mencintai diri sendiri,” ucapnya.

Kampanye mencintai diri sendiri ini mulai ramai dua tahun terakhir. Menurut psikolog Ratih Ibrahim, dorongan ini mungkin muncul lantaran banyak orang cenderung tak menghargai diri sendiri, menyiksa diri, dan mengembangkan perilaku masokhisme.

Contohnya, selain berulang kali terjebak dalam hubungan abusif atau tak peduli terhadap kesehatan, banyak perempuan menggunakan produk pemutih, obat pelangsing, atau menjalani operasi plastik demi dinilai cantik oleh orang lain. Banyak pula orang yang gampang terpropaganda politik, ideologi, agama, dan tuntutan sosial. “Ketika gampang terpropaganda, itu artinya kamu tak cukup mencintai dirimu sendiri,” ujarnya.

Mencintai diri sendiri, kata psikolog Roslina Verauli, adalah saat kita memiliki sikap tentang diri. Cinta kepada diri menumbuhkan kepedulian terhadap diri sehingga orang menjadi lebih peka atas apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan. “Apakah dampaknya baik untuk diri kita atau tidak,” ucapnya.

Vera—sapaan akrab Roslina Verauli—mengatakan kepedulian terhadap diri sendiri ini akan membuat kita mengetahui, mengakui, dan menerima diri, termasuk kelebihan dan kelemahannya. Kita tak menjadi besar kepala dengan kelebihan, tak menjadi rendah diri dengan kekurangan, serta mensyukuri apa yang dimiliki.

Menerima kekurangan bukan berarti tak melakukan apa pun. Justru karena cinta kepada diri itulah penerimaan terhadap kekurangan akan menjadi modal untuk memperbaiki diri agar lebih berkembang. Tujuannya, Vera melanjutkan, mampu mendengarkan kebutuhan diri untuk menjadi versi yang lebih baik.

Menurut psikolog Efnie Indrianie, mencintai diri sendiri bukan berarti egoistis. Penghargaan terhadap diri tersebut akan menuntun kita menghargai orang lain. Justru orang yang tak mencintai diri dan menghilangkan perasaan mereka tentang diri sendiri kepada orang lain akan cenderung bersikap egoistis, menganggap diri sendiri sebagai pusat segala sesuatu, dan tak berempati kepada orang lain. “Narsisistik. Ini termasuk kelainan kepribadian,” tuturnya.

Pengembangan diri ini akan berpusat pada kebutuhan diri sendiri, bukan membandingkan diri dengan orang lain atau mengembangkan diri supaya bisa menjadi seperti orang yang diinginkan. Ini akan membebaskan kita dari beban sosial. “Kalau masih berusaha mengembangkan diri dengan melihat orang lain, dengan kacamata orang lain, atau membutuhkan pengakuan orang lain, itu artinya kita belum mencintai diri kita,” kata Vera.

Efnie menyebutkan sikap mencintai diri sendiri punya segudang manfaat. Menerima dan menghargai diri dengan sehat akan membuat hidup lebih bahagia, damai, tenang, dan nikmat. Juga mengurangi tekanan karena kita tak memiliki terlalu banyak ekspektasi di luar kenyataan lantaran mengetahui kekuatan dan kelemahan. Pada akhirnya, ketika kita sudah merasa nyaman dengan diri sendiri, orang-orang di sekitar turut merasa nyaman dengan kehadiran kita karena kita memancarkan energi positif dari dalam diri.

Rasa nyaman ini juga akan berdampak pada fisik. Endorfin bakal meningkat ketika ada rasa nyaman dengan diri sendiri. Salah satu manfaat hormon tersebut adalah menjaga daya tahan tubuh. Karena itu, selain berbahagia, kita cenderung tak mudah sakit.

Jenny Jusuf dulu mengalaminya. Ia gampang sakit dan nyaris tak pernah keluar dari rumah tanpa tas kecil berisi obat-obatan. “Sekarang saya sudah ‘bebas obat’ selama tujuh tahun,” ujarnya.

Sebaliknya, ketika tak mencintai diri sendiri, orang cenderung lebih mudah mengalami stres dan lebih gampang sakit, dari flu sampai kanker. “Faktor stres digabungkan dengan faktor risiko lain, seperti pola makan yang tak sehat dan polusi, bisa menyebabkan kanker,” tutur Efnie.

Rasa cinta kepada diri sendiri akan lebih baik jika ditanamkan sejak dini. Efnie menganjurkan orang tua mengapresiasi anak secara wajar. Jika melakukan sesuatu yang membanggakan, pujilah dia. Namun jangan lupa memberitahukan kekurangannya yang mesti diperbaiki. “Anak perlu tahu apa yang salah dan kurang sehingga dia bisa belajar dan puji dia untuk menghargai keberadaannya,” ucapnya.

Namun, jika orang telanjur tak mencintai diri dan baru belajar mencintai ketika dewasa, ia menyarankan berguru kepada orang lain, misalnya psikolog. Juga mulai belajar menerima diri, berteman dengan orang-orang yang positif, serta menjalani gaya hidup sehat.

Selain mendapat pertolongan dari terapis, Jenny belajar mencintai diri dengan cara rutin melakukan aktivitas spiritual, seperti meditasi dan Bhakti Yoga, serta menjaga kesehatan, merawat tubuh sealami mungkin, dan berguru kepada alam. Untuk para pengikutnya di Instagram, ia membagikan kalimat afirmasi positif tiap bulan. “Bisa diucapkan dua kali sehari di depan cermin,” ujarnya.

 

Tanda Tak Mencintai Diri Sendiri

1 Merasa diri tak cukup, selalu mengkritik diri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

2 Merasa tak dicintai dan ditinggalkan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

3 Merasa sendiri dan kesepian

4 Mendahulukan orang lain dibanding diri sendiri

5 Terlalu peduli terhadap apa yang orang lain pikirkan tentang diri

6 Tak bisa mengekspresikan perasaan sebenarnya

7 Mengejar kewajiban hidup menurut tuntutan sosial ketimbang mengejar impian

8 Merasa gagal, tak memenuhi harapan

9 Dikelilingi orang berkarakter negatif dan hubungan yang negatif

NUR ALFIYAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus