Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Tidak Mungkin Saya Tidak Percaya Polri

Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa:

22 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jenderal Andika Perkasa. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLARISASI antara pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden lalu ikut menyeret Tentara Nasional Indonesia, khususnya Angkatan Darat. Sebagian pendukung menuding tentara memihak pada calon inkumben. Sebagian lain menganggap militer mendukung sang penantang, yang juga mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Alih-alih menguap, isu miring seputar Angkatan Darat malah menguat selepas pemilihan presiden. Seusai kerusuhan 22 Mei lalu—setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang pemilihan presiden—polisi menangkap Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen, Kepala Staf Kostrad 1998-2000, atas dugaan rencana pembunuhan pejabat negara dan Mayor Jenderal Purnawirawan Soenarko, Komandan Jenderal Kopassus 2007-2008, atas dugaan kepemilikan senjata api ilegal. Penahanan tersebut dikabarkan menimbulkan gejolak di kalangan prajurit.

Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa menolak semua tudingan tersebut. Ia mengungkapkan, memang ada sejumlah kecil prajurit yang melanggar asas net-ralitas, tapi mereka sudah menjalani persidangan dan dijatuhi sanksi. “Bagi kami, tidak ada posisi selain netral dalam pemilihan umum,” katanya.

Andika, 54 tahun, mengatakan kasus hukum yang menjerat para purnawirawan tidak mempengaruhi prajurit. Komandan Pasukan Pengamanan Presiden 2014-2016 ini juga yakin Angkatan Darat memegang teguh garis komando kepada Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. “Saya tidak melihat ada kemungkinan mereka bergerak atau digerakkan dari luar,” ujar lulusan Akademi Militer pada 1987 tersebut.

Kamis, 20 Juni lalu, Andika menerima wartawan Tempo, Arif Zulkifli, Reza Maulana, Raymundus Rikang, dan Angelina Anjar, di Markas Besar TNI Angkatan Darat di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Ini adalah wawancara khusus perdananya sejak menjabat delapan bulan lalu. Wawancara satu setengah jam tersebut berlangsung penuh tawa. Andika menjawab lugas semua pertanyaan, dari soal netralitas, banyaknya perwira tinggi tanpa jabatan di Angkatan Darat, sampai kegemarannya pada olahraga angkat beban. Namun sang Jenderal mengunci mulut rapat-rapat saat disinggung ihwal peluangnya menjadi Panglima TNI.

Bagaimana TNI, khususnya Angkatan ­Darat, memposisikan diri dalam pemilihan presiden?

Dalam pemilihan umum, tidak mungkin ada posisi selain netral. Itu doktrin dari masa ke masa. Banyak peran yang harus saya mainkan di TNI Angkatan Darat karena kami memiliki personel yang sangat banyak, mencapai 348 ribu pegawai negeri sipil dan tentara. Itu tidak mudah. Tapi inilah yang bisa kami lakukan. Kami tidak mau menutup diri atau mengklaim apa pun. Jadi, apa pun kesan dari masyarakat, saya harus terima.

Fenomena keunggulan suara Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno di ­banyak perumahan tentara menunjukkan gejala ketidaknetralan?

Yang memilih kan bukan TNI. Sudah jelas bahwa kami tidak memberikan suara. Jadi itu tidak ada hubungannya dengan TNI aktif. Komitmen prajurit aktif bisa dipegang.

Faktanya, sejumlah prajurit aktif terbukti melanggar asas netralitas....

Penindakan pelanggaran yang terjadi selama proses kampanye sampai pemilihan itu merupakan bukti komitmen netralitas kami. Begitu kami temukan pelanggaran, kami tindak.

Berapa banyak?

Sedikit sekali. Apalagi kalau dibandingkan dengan total personel Angkatan Darat. Pelanggarannya sebenarnya kecil-kecil, seperti berfoto dengan simbol tangan. Tidak ada yang sampai nyata-nyata memerintahkan memilih A atau B.

Angkatan Darat dilibatkan dalam pengamanan unjuk rasa terhadap pengumuman hasil pemilihan presiden. Mengapa sampai terjadi kerusuhan?

Soal itu jangan tanya saya. Kami memang dilibatkan dalam pengamanan, tapi Kepolisian RI yang memutuskan di mana kami dilibatkan.

Kopassus sudah disiagakan, mengapa ­tidak diturunkan?

Kopassus dilibatkan secara resmi. Ada 350 prajurit yang sudah stand by di Markas Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur. Namun ada penahapannya. Polri yang memegang komando dan memutuskan kapan dan di mana TNI muncul. Jadi, selama di­namika situasi keamanan masih bisa dihadapi komando daerah militer, kekuatan siaga dari pusat, dalam hal ini Kopassus, belum diturunkan.

Mereka akan diturunkan dalam kondisi seperti apa?

Itu kewenangan Panglima TNI. Beliau yang memutuskan. Dalam situasi 21-22 Mei lalu, mereka belum diperlukan.

Benarkah Kopassus tidak diturunkan karena ada indikasi keterlibatan eks anggotanya dalam kerusuhan tersebut?

Saya tidak pernah mendengar itu. Walaupun operasi pengamanan menjadi kewenangan Markas Besar TNI, bukan saya, saya yakin bukan itu penyebabnya. Itu murni pertimbangan operasi.

Sebagai mantan anggota baret merah (Kopassus), menurut Anda seperti apa psikologi prajurit saat mantan komandannya terjerat hukum?

Selama saya di sana, tidak ada insiden seperti itu. Jadi saya tidak tahu bagaimana kami akan bersikap. Tapi saya yakin insiden itu sama sekali tidak berpengaruh pada sikap resmi kami. Sikap resmi kami sesuai dengan perintah komandan satuan. Perintah komandan satuan pun pasti berasal dari komando di atasnya.

Termasuk yang melibatkan eks Komandan Jenderal Kopassus?

Sama sekali tidak berpengaruh. Saya tidak melihat ada kemungkinan mereka bergerak atau digerakkan hanya karena ada yang meminta dari luar. Itu bisa saya pastikan.

Adakah pengaruh penangkapan kedua purnawirawan itu di kalangan perwira?

Menurut saya, beliau-beliau adalah senior yang sudah selesai melaksanakan tugas di TNI. Dengan tingkat kedewasaan, pengetahuan, dan pengalamannya, mereka seharusnya tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jadi itu sudah menjadi tanggung jawab mereka. Dalam kegiatan sehari-hari pun, misalnya soal perintah, kami tidak banyak berhubungan dengan mereka yang berada di luar struktur komando. Jadi, kalau mengganggu, jelas ­tidak.

Benarkah Anda bermalam di Markas ­Kopassus pada 21-22 Mei demi menjaga prajurit agar tidak bergerak?

Tidak benar. Saya terakhir ke Cijantung H-2, 20 Mei. Mekanisme kami sudah jelas. Tidak mungkin ada yang melakukan tindakan di luar garis komando.

Mengapa pada hari penangkapan ­Soenarko, 21 Mei, Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal TNI I Nyoman Cantiasa mengeluarkan maklumat bahwa prajurit Kopassus tidak boleh bertindak di luar garis komando?

Saya tidak tahu karena saya tidak memberikan perintah apa pun. Mungkin itu dilakukan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat yang ragu. Tapi memang tindakan seperti itu tidak ada sama sekali. Indikasi pun tidak ada.

Angkatan Darat mendukung ­Polri ­mengenai kasus yang menjerat dua purnawira­wannya?

Tidak mungkin saya tidak percaya Polri. Kami punya tugas pokok yang berbeda. Tugas polisi bukanlah hal yang kami tahu. Mereka pun sudah sangat lama menggeluti tugasnya itu. Jadi saya percaya, bahkan sangat percaya. Sama halnya dengan saya yang ingin mereka juga percaya kepada Angkatan Darat untuk melakukan tugas pokok kami.

Mengapa Anda menekankan perlunya kepercayaan Polri kepada Angkatan Darat?

Kalau juga melakukan tugas yang kami lakukan, mereka baru bisa mengukur kami. Begitu juga kami. Kami harus percaya polisi karena mereka sudah tahu detail tugas pokok mereka. Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak percaya Polri.

Jenderal Andika Perkasa bersama istri, Diah Erwiany, setelah dilantik menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat di Istana Negara, Jakarta, akhir November 2018. TEMPO/Amston Probel

Banyak pihak menyebutkan ada ketidakpuasan di kalangan prajurit TNI, khususnya Angkatan Darat, karena merasa Polri lebih mendapat prioritas. Tanggapan Anda?

Sama sekali tidak benar. Itu tidak tecermin dalam pelaksanaan tugas pokok kami. Dalam pengamanan pasca-pemilu kan bisa dilihat, kami terus bekerja sama. Begitu pula dalam pengamanan Lebaran. Kami memang saling membutuhkan. Jadi kami terus saling membantu dan melengkapi.

Isu ketimpangan anggaran, misalnya, menjadi salah satu sorotan dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dengan sejumlah sesepuh TNI pada 31 Mei lalu....

Saya belajar kebijakan publik. Semua instansi pemerintah pasti menginginkan anggaran. Tapi kita harus sadar anggaran negara terbatas. Nah, prioritas itu ditentukan pemerintah. Saya lebih berfokus berbuat semaksimal mungkin dari anggaran yang kami dapat. Di samping itu, kami juga terus memperjuangkan kenaikan anggaran.

Relasi TNI dengan Polri sempat tegang pada masa Panglima TNI Jenderal Gatot ­Nurmantyo, terutama saat pembelian 5.000 senjata pada Oktober 2017. Anda melihat hubungan membaik sejak Marsekal Hadi Tjahjanto menjadi panglima?

Saya tidak bisa berkomentar atas pernyataan beliau (Jenderal Gatot) saat itu. Sejauh ini, saya melihat TNI dan Polri saling membutuhkan dalam melakukan tugas keseharian.

Saat ini ratusan perwira tinggi dan mene­ngah TNI tidak punya jabatan. Bagaimana Anda mengatasi hal itu di Angkatan Darat?

Itu salah satu tugas terbesar saya. Saya sudah membuat proposal yang solusinya adalah membuat tempat bagi mereka di Angkatan Darat. Penambahan itu dibuat serealistis mungkin, tidak membutuhkan pangkalan baru, seperti kantor, kompleks perumahan, dan sebagainya, karena membutuhkan waktu panjang dan biaya tinggi. Jadi penambahan itu dilakukan dengan biaya seminim mungkin dan waktu secepat mungkin. Kantornya sama, tinggal menyelipkan di ruangan yang ada.

Contohnya?

Saya tidak bisa menyebutkan jabatannya. Tapi kami menaikkan jabatan-jabatan yang ada. Misalnya jabatan tadinya ditempati bintang satu, ada beberapa yang kami naikkan menjadi bintang dua. Jabatannya sama, tapi kami naikkan kualifikasi­nya. Dengan begitu, ada ruang di bawahnya yang bisa kami tambah.

Berapa pos baru yang Anda usulkan?

Kami mengajukan 232 pos untuk bintang satu, bintang dua, dan bintang tiga. Itu belum termasuk perwira yang berada di bawahnya. Saat ini ada 476 kolonel tanpa jabatan dan 67 perwira bintang satu, bintang dua, bintang tiga tanpa jabatan. Ini memang sangat dirasakan oleh Angkatan Darat. Di Angkatan Udara dan Angkatan Laut juga ada, tapi tidak sebanyak di sini.

Berapa perkiraan kenaikan anggaran ­dengan penambahan jabatan tersebut?

Menurut hitungan kami, akan ada tambahan sekitar Rp 500 miliar per tahun. Tapi, dalam membuat proposal ini, saya enggak ngarang. Saya mempelajari angkatan bersenjata Amerika Serikat, Australia, Thailand, dan sebagainya. Sebagai contoh, Kepala Staf Angkatan Darat Amerika itu bintang empat. Wakil Kepala Staf Angkatan Darat-nya pun bintang empat. Lalu, semacam Panglima Kostrad, Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan Angkatan Darat-nya juga bintang empat. Bukan berarti saya mengusulkan seperti itu, tapi menyesuaikan kebutuhan organisasi saja. Saat jumlahnya makin besar, itu bukan suatu hal yang ­berlebihan.

Proposal sudah dikirim ke Panglima TNI?

Ya, lalu dilanjutkan ke Kementerian Pertahanan dan presiden. Menunggu presiden mengeluarkan peraturan presiden dan keputusan presiden.

Mengapa bisa ada perwira tanpa jabatan?

Dulu tidak ada perwira yang tidak punya jabatan, kecuali dia melakukan pelanggaran sehingga harus melepas jabatannya. Menurut saya, salah satu penyebabnya adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengubah usia pensiun perwira dari 55 tahun menjadi 58 tahun, sehingga perwira yang seharusnya pensiun di tahun itu tidak jadi pensiun. Sementara itu, tidak ada penyesuaian regulasi untuk masuk TNI. Jumlah jabatan pun tetap. Jadinya menumpuk. Maka kita harus punya solusi yang bisa membuat mereka produktif kembali dengan memberi mereka jabatan. Di sisi lain, kita harus mulai mengurangi input. Nah, ini bukan masalah yang akan selesai dalam satu-dua tahun.

Anda pernah berada di posisi tersebut?

Saya pernah merasakan tidak punya jabatan selama satu setengah tahun, sekitar 2008 sampai akhir 2009, saat baru pulang dari sekolah di Amerika Serikat. Setiap hari di rumah karena tidak punya kantor. Jangankan sama teman-teman, sama keluarga saja malu. Bagaimana menjawab setiap kali anak-anak bertanya, “Daddy kok enggak ngantor?” Tanpa jabatan, pendapatan juga berbeda. Itu menjadi tekanan tersendiri.

Saat menjadi Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Anda menyelipkan alat fitness di ruang kerja. Sekarang Anda menggusur area parkir VIP untuk pusat kebugaran. Seberapa perlu prajurit berolahraga?

Ha-ha-ha…. Dulu kan saya punya atasan. Enggak mungkin saya gelar di luar. Saya yakin semua prajurit membutuhkan pusat kebugaran. Saya ingin semua prajurit berolahraga, apa pun bentuknya, minimal satu jam sehari. Fitness center itu buka sampai pukul 9 malam dan ada instrukturnya. Jadi waktu latihan bisa fleksibel.

Betulkah Anda mengenal fitness dari ­mertua, Jenderal TNI Purnawirawan ­Abdullah Mahmud Hendropriyono?

Ya. Waktu awal menikah, pada 1992, saya tinggal di rumah mertua sekitar enam bulan. Di rumahnya ada alat fitness. Saya coba-coba. Waktu itu badan saya masih ceking, ha-ha-ha…. Sejak itu saya rutin berlatih, tapi tidak bisa setiap hari karena masih bawahan. Makin senior, makin bisa mengatur waktu latihan.

Tidak bosan main besi setiap hari?

Sebenarnya, setiap kali bangun tidur, saya selalu mencari alasan untuk tidak berlatih pada hari itu. Tapi itu sudah menjadi kebutuhan. Sebab, kalau tidak berlatih, harus mulai dari nol lagi. Tenaga hilang, badan sakit-sakit. Saya tidak mau mengalami itu lagi. Jadi paksa saja.

Anda juga makan putih telur seperti atlet binaraga?

Yang dibutuhkan orang fitness adalah protein tinggi. Telur mengandung protein paling kecil, 3 gram. Dengan tubuh segini, saya butuh 140 gram protein. Artinya butuh lebih dari 40 butir telur setiap hari. Repot juga, ha-ha-ha…. Jadi saya banyak makan ikan, ayam, dan daging sapi.

Seberapa banyak?

Saya makan lima potong ayam untuk makan siang tadi. Sudah lama saya tidak makan nasi. Sumber karbohidrat saya ganti dengan oatmeal dan roti.

 


 

Andika Perkasa

Tempat dan tanggal lahir: Bandung, 21 Desember 1964

Pangkat: Jenderal TNI

Pendidikan, di antaranya:  Akademi Militer (lulus 1987), Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat, The Military College of Vermont, Amerika Serikat,  National War College, Amerika Serikat,  The Trachtenberg School of Public Policy and Public Administration, The George Washington University, Amerika Serikat

Karier, di antaranya: Kepala Staf TNI Angkatan Darat (November 2018-sekarang), Panglima Komando Strategis TNI Angkatan Darat (Juli-November 2018),  Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan TNI Angkatan Darat (Januari-Juli 2018), Panglima Komando Daerah Militer Tanjungpura (2016-2018), Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (2014-2016), Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (2013-2014), Komandan Batalion Kopassus (2002), Komandan Peleton Kopassus (1987)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus