BIASANYA, pembicaraannya berkisar pada soal-soal filsafat,
kesusasteraan atau politik. Jean-Paul Sartre dikenal sebagai
filosof eksistensialis yang juga menulis drama dan novel. Tahun
1964 ia menolak hadiah Nobel untuk kesusasteraan. Usianya kini
73 tahun, dan berikut ini ia bicara tentang wanita kepada
majalah Playboy, Januari 1978.
"Sungguh, saya selalu senang wanita. Mereka selalu jadi pusat
pemikiran saya. Tanpa ragu-ragu, hanya wanitalah yang paling
banyak saya fikirkan. Semenjak saya kecil, dewasa dan tua
sekarang ini." Sebabnya? "Karena keluarga saya hampir semuanya
terdiri dari wanita."
Dia diurus dan dibesarkan di bawah naungan kakeknya, Charles
Schweitzer, paman Dr. Albert Schweitzer. "Ibu saya, nenek saya
dan teman-teman mereka, semuanya wanita," tambahnya, "dan saya
ingin seperti kakek saya yang selalu dikelilingi wanita. Wanita
adalah bahan impian saya."
Sartre mengaku bahwa di masa kecil dia seorang sovinist pria.
Laki-laki yang bangga akan kelaki-lakiannya. "Karena saya selalu
dibayangi wanita-wanita di rumah, di luar, yang mencoba mengatur
atau berurusan dengan saya. Saya kemudian memandang mereka
kurang bermutu dan tentu saja diri saya lebih jempolan. Tapi
sikap saya terhadap mereka sayabikin sejajar."
Kekaguman akan kakeknya tetap dikenangnya. Hubungan kakek dan
nenek berjalan baik, cuma mereka tidak lagi mengadakan hubungan
seks seperti lazimnya suami-isteri. Katanya: "Kakek kemudian
melarikan diri pada murid-murid wanita yang sudah matang dalam
kelas Bahasa Jerman kakek." Pernah ketika Sartre berusia 11
tahun, dia bercerita kepada teman-temannya di La Rocheffe.
Bahwa dia punya seorang simpanan dan mereka sering pergi ke
hotel untuk begituan. "Tentu saja tak ada seorang pun yang
percaya bualan saya ini. Bahkan cerita saya jadi bahan bualan
mereka," katanya.
Ketika Playboy menanyakan apa Sartre termasuk laki-laki yang
ngganteng, jawabnya: "Saya punya rambut pirang yang indah
sekali. Panjangnya sampai ke bahu dan hampir menutupi seluruh
muka. Muka saya jelek, tapi bagusnya rambut saya bisa mengurangi
kejelekan muka." Sampai pada suatu hari, orang seluruh rumah
memvetonya agar rambutnya dicukur. "Tanpa konsultasi saya dulu,
rambut saya harus dipotong."
"Saya tidak tergolong pemuda ngganteng, itu memang menyakitkan
hati." Apa ini jadi halangan untuk merayu wanita? "Ah.
Omong-omong di pantai, di bawah sinar bulan, tidak ada
sangkutpautnya dengan muka jelek atau gagah. Apalagi kalau
omong-omongnya cukup asyik.
Apakah anda setia kepada hanya seorang wanita? "Tidak pernah
hal itu terjadi. Saya lahir sebagai seorang poligamis. Kehidupan
seks saya berlipat ganda. Di situlah, saya seorang sovinis
laki-laki. Tidak mungkin satu wanita saja dalam hidup saya."
Sartre mengaku telah jatuh cinta pertama kali pada usia 16
tahun, di Paris, tahun 1921. Dia tidak menyebut nama gadis
tersebut, cuma yang diingatnya ialah, gadis itu anak seorang
penjaga gedung.
Perkawinan tidak pernah menggoda benaknya, biarpun pada usia 23
tahun Sartre pernah bertunangan untuk kemudian putus. Sartre
menentang lembaga perkawinan yang dianggapnya terlalu berbau
borjuis, sampai dia berkenalan dengan seorang mahasiswi dalam
satu fakultas di Sorbonne, Simone de Beauvoir.
Persahabatan keduanya merupakan puncak segala-galanya. "Pada
mulanya saya tidak tertarik kepadanya," ujar Sartre. "Dia
cantik, tapi cara berpakaiannya buruk. Lama-lama, setelah
berkali-lali mengadakan kencan, kami menjadi terbiasa sekali
untuk saling berdekatan." Dan itu tetap dilakukannya hingga
sekarang, walaupun ayah de Beauvoir puluhan tahun lalu pernah
melarang hubungan Simone - Jean-Paul. "Pokoknya saya tidak
menyesal telah berkenalan dengannya," kata Sartre.
Simone de Beauvoir kini usianya 70 tahun. Penulis bergaya ilmiah
lincah ini menjadi terkenal lewat bukunya Le Deuxieme Sexe
(1953). Bersama Sartre Simone de Beauvoir kemudian menerbitkan
majalah bulanan Les Temps Modernes, sebuah majalah wadah bebas
untuk pemikiran yang kekiri-kirian. Dan Sartre menjadi lebih
"kiri" lagi ketika dia diangkat jadi ketua untuk gerakan Lord
Bentrand Russel, Vietnam War Crime Tribunal di tahun 1967.
Pendapat Sartre waktu itu: "Saya akan membela Rusia untuk
intervensi di Vietnam bagian utara, biarpun hal itu bisa
menimbulkan perang dunia ketiga."
Simone de Beauvoir--yang tidak seekstrim Sartre tentang
komunisme-dalam bukunya The Coming of Age, pernah menulis
tentang Sartre bahwa hubungan mereka tidak pernah menjadi asing
lagi. "Juga tidak pernah salah satu dari kami menyia-nyiakan
pihak yang lain," tulis de Beauvoir. Pendapat de Beauvoir itu
disokong sepenuhnya oleh Sartre. Cinta dan,persahabatan mereka
tidak pernah terwujud dalam suatu perkawinan, tapi menurut
mereka merupakan persahabatan murni.
"Tapi ini bukan berarti saya, atau dia, tidak pernah bergaul
dengan wanita atau pria lain," tambahnya. "Dia berpendapat bahwa
sebaiknya hubungan wanita dengan pria tidak hanya dengan seorang
saja." Cuma, teman pria atau wanita yang lain jadi sekunder.
"Banyak memang wanita yang tidak senang akan kelas sekunder,"
kata Sartre, "tapi sebelumnya saya beri pengertian kepada wanita
itu: bahwa ada seorang wanita yang saya nomor satukan dalam hal
perasaan, namanya Simone de Beauvoir."
"Dan saya memang tidak bisa lepas dari lingkungan wanita. Saya
senang mengamati mereka, mendengar pembicaraan mereka, biarpun
kadang-kadang tidak menyenangkan bahkan mengatakan hal-hal yang
bodoh. Saya senang bahwa mereka lebih halus perasaannya dan
lebih mengerti."
Playboy bertanya: kalau anda berumur 20 tahun kembali, apakah
anda ingin puny hidup yang sama? Jawab Sartre spontan: "Ya,
mengapa tidak. Dan saya pasti tidak akan melepaskan Simone de
Beauvoir lagi. Itu pasti."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini