Ombudsman RI dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) memiliki pendapat yang berbeda perihal efektivitas harga eceran tertinggi atau HET beras untuk menstabilkan komoditas tersebut.
Kebijakan HET beras terbukti tidak bisa meredam harga beras yang terus melambung tinggi. Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menyarankan Bapanas mencabut sementara HET beras dan menggantinya dengan HET gabah di tingkat penggilingan.
Namun, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi memiliki pendapat yang berbeda. Dia menilai melonjaknya harga beras disebabkan oleh kurangnya produksi beras dan perlunya penguatan stok yang dikelola pemerintah. Dalam kondisi itu, lanjut Arief, justru HET beras semakin dibutuhkan sebagai patokan pengendalian harga.
Tanpa patokan harga, pemerintah akan kesulitan untuk mengetahui kapan mereka mesti melakukan intervensi harga beras. Intervensi yang dia maksud adalah dengan meningkatkan produksi beras, penguatan cadangan beras, serta operasi pasar.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia atau Sekjen DPP Ikappi Reynaldi Sarijowan tampaknya justru sependapat dengan Ombudsman. Menurutnya, selama ini HET beras seolah tidak pernah berfungsi di lapangan. Sebab penjual dan pembeli di pasar, terutama pasar tradisional, lebih banyak mengacu pada kondisi ketersediaan barang dalam transaksi mereka. HET beras itu tak melulu menjadi patokan di pasar tradisional. Karena itu HET beras tidak akan efektif untuk mencegah harga beras meroket di pasar.
Menurut Reynaldi, cara paling efektif untuk mengendalikan harga beras di pasar adalah dengan membanjiri pasar dengan beras pemerintah. Jika pasokan beras melimpah, maka secara otomatis harga beras akan terkendali.
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan Khudori, dalam opininya yang terbit di Koran Tempo pada Rabu kemarin, menyebut kenaikan harga beras merupakan konsekuensi atas kenaikan harga gabah.
HET beras menggunakan patokan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di petani sebesar Rp 5.000 per kilogram dan di penggilingan Rp 5.100 per kilogram. Sedangkan HPP gabah kering giling (GKG) di penggilingan sebesar Rp 6.200 per kilogram dan di gudang Bulog Rp 6.300 per kilogram. Saat ini, harga GKG di tingkat petani sudah di atas Rp 7.000 per kilogram, bahkan menyentuh Rp 7.400 kilogram di beberapa wilayah.
Tingginya harga gabah akan secara otomatis mendorong kenaikan harga.
"Ketika harga gabah sebagai bahan baku (input) naik, dengan sendirinya harga beras sebagai output produksi juga naik," ujar Khudori.
Menurut dia, HET beras akan lebih mudah dipatuhi jika harga gabah tidak berpotensi melonjak. Tapi, mematok harga gabah secara tetap, seperti penerapan HET gabah, tidak adil bagi petani. Sebab, biaya produksi petani (tenaga kerja, bibit, sewa lahan, pupuk, dan lain-lain) tidak murah dan juga sering kali tidak tetap.
Menurut Khudori, HET beras tetap dibutuhkan, Namun HET beras tidak bisa dijadikan satu-satunya mekanisme pengendali harga beras.
Video: ANTARA
Naskah: tempo.co
Editor: Ridian Eka Saputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini