Geng kriminal Haiti mengelola sekolah, klinik, dan yayasan ketika pemerintah negara tersebut semakin absen, menurut temuan dari laporan komprehensif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diterbitkan pada Rabu, 18 Oktober 2023. Di sisi lain, aksi kriminal mereka membantu para pemimpin geng mengumpulkan dana dan membeli rumah-rumah mewah di negara termiskin di dunia tersebut.
“Geng-geng semakin kuat, kaya, bersenjata lebih baik, dan lebih otonom,” menurut laporan setebal 156 halaman dari panel pakar PBB. Laporan tersebut menyinggung perdagangan senjata yang menguntungkan, sebagian besar dari Amerika Serikat, yang menyediakan persenjataan mematikan bagi para gangster.
Panel tersebut mengecam embargo senjata PBB yang “tidak efektif” dan mencatat bahwa hanya sedikit negara yang menanggapi permintaan untuk melacak senjata api yang disita.
Di Haiti, geng-geng telah berkonsolidasi, bersatu di ibu kota melalui aliansi G9 dan G-Pep, sementara pertempuran meningkat di lahan pertanian utama di utara.
Laporan menyimpulkan bahwa geng-geng tersebut kerap menggunakan pemerkosaan untuk meneror dan memeras korban, meminta uang dan mengendalikan persediaan makanan. Mereka juga disalahkan karena melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu dan ratusan penculikan, serta menuntut uang tebusan sebesar US$500 ribu (setara Rp7,9 miliar) dari orang asing dan tokoh terkemuka.
Beriringan dengan aktivitas kriminalnya, para pemimpin geng telah menggunakan yayasan sosial untuk menggambarkan citra positif. Mereka menggunakan media sosial untuk memamerkan gaya hidup mewah, namun juga untuk menanamkan teror dengan video penyiksaan dan mutilasi, menurut laporan tersebut.
Kepolisian nasional Haiti yang kekurangan dana juga “sangat kekurangan staf” serta “tidak memiliki perlengkapan dan pelatihan yang memadai”.
Di tengah absennya polisi, gerakan vigilante atau main hakim sendiri yang dikenal sebagai Bwa Kale telah mengeksekusi ratusan tersangka anggota geng sejak April, dan laporan tersebut juga menyalahkan gerakan itu karena melakukan kejahatan dan justru berubah menjadi geng baru.
Geng-geng di negara Karibia itu telah memperluas pengaruhnya secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, mendorong migrasi massal dan pengungsian internal, serta menyebabkan jutaan orang mengalami kelaparan parah.
PBB baru-baru ini meratifikasi pengerahan pasukan internasional untuk mendukung polisi Haiti atas permintaan pemerintah, namun hanya sedikit negara yang telah mengirimkan personel dan hal ini belum terwujud.
Kenya telah mengusulkan untuk memimpin pasukan tersebut dan menawarkan 1.000 petugas polisi, sementara Bahama, Jamaika, dan Antigua dan Barbuda juga menjanjikan personel.
Pembunuhan Moise
Negara-negara lain masih berhati-hati dalam memberikan dukungan mereka kepada pemerintahan Perdana Menteri Ariel Henry yang tidak melalui pemilihan umum, yang mengambil alih kekuasaan setelah pembunuhan Presiden Jovenel Moise pada Juli 2021 dan pemerintahannya diprotes lantaran dianggap korup oleh banyak warga Haiti.
Haiti telah berada dalam kekacauan sejak pembunuhan Moise di tangan tentara bayaran Kolombia yang tidak diketahui pemberi bayarannya. Awal 2023, masa jabatan 10 senator Haiti yang tersisa secara resmi telah berakhir, sehingga negara Karibia tersebut tidak memiliki satu pun pejabat pemerintah terpilih.
Kematian Moise dan gempa bumi yang menyusul pada bulan berikutnya hanya memperparah situasi yang sudah memprihatinkan — sejak 2019, Haiti belum menyelenggarakan pemilu lagi, dan negara ini berada dalam kondisi rapuh sejak gempa bumi tahun 2010 yang menewaskan hingga 300.000 orang.
Selain karena pemerintahan yang rapuh, negara-negara juga waswas mengingat pelanggaran yang terjadi selama intervensi internasional sebelumnya di Haiti. Misi MINUSTAH PBB pada 2004-2017 memicu skandal pelecehan seksual dan epidemi kolera yang menewaskan lebih dari 9.000 orang.
Foto: reuters
Editor: Ridian Eka Saputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini