Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=brown><B>Martin van Bruinessen:</B></font><BR />Ini Mirip Pemilihan Kepala Daerah

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang sejarahnya, Nahdlatul Ulama, yang berdiri pada 31 Januari 1926, dikenal sangat lentur mengikuti pasang-surut situasi politik di Indonesia. Didirikan sebagai organisasi keagamaan, NU sempat bergabung dengan partai Islam, Masyumi, walaupun kemudian berpisah jalan pada 1952.

Dalam pemilihan umum pertama di Indonesia pada 1955, sebagai salah satu partai politik, NU ternyata berhasil meraup 18,4 persen suara dan menduduki posisi ketiga. Hanya beda tipis dengan Masyumi, yang mendapat 20,9 persen suara. "Kiai NU sendiri terheran-heran bisa meraih suara sebanyak itu," kata Martin van Bruinessen, guru besar kajian Islam di Universitas Utrecht, Belanda.

Pada awal Orde Baru, pemerintah "memaksa" NU melebur ke Partai Persatuan Pembangunan bersama beberapa organisasi Islam lainnya. Kecewa dengan kepemimpinan H.J. Naro, Muktamar NU ke-27 di Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Asem Bagus, Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, memutuskan NU kembali ke Khittah 1926: mundur dari politik dan bercerai dengan PPP.

Kendati tak lagi menjadi organisasi politik, NU tak pernah benar-benar lepas dari politik. Bahkan Achmad Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Besar NU, sempat mendampingi Megawati Sukarnoputri dalam pemilihan presiden 2004 sebagai calon wakil presiden, walaupun akhirnya kalah. Puncak keberhasilan politik NU, lewat "anak biologis" politiknya, Partai Kebangkitan Bangsa, adalah mendudukkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia, sepuluh tahun lalu.

Sejak 1982, Martin tekun mengikuti dinamika organisasi kaum Islam yang dianggap tradisional ini. Dia juga amat karib dengan Gus Dur. Sembari sesekali menyeruput kopi hitam kental panas tanpa gula, Martin menjawab rupa-rupa pertanyaan Irmawati dan Abdul Azis dari Tempo, di sela-sela Muktamar NU ke-32 di Makassar, Kamis pekan lalu.

Sejak berdiri, apa yang sudah berubah di NU?

NU didirikan sebagai organisasi ulama tradisional dan reaksi terhadap gerakan pemurnian agama seperti Muhammadiyah serta perkembangan wahabisme di Jazirah Arab. Jadi tujuan utama NU adalah mempertahankan tradisi Islam seperti mazhab dan ziarah. Dan yang kedua, mempertahankan kepentingan kelompok pendirinya. Di antara para pendiri NU, selain kiai, ada pedagang di Surabaya. Jadi, dari awal, aspek keagamaan dan kepentingan ekonomi itu sudah ada.

Tapi NU kemudian malah menjadi organisasi politik?

Setelah Indonesia merdeka, NU berubah dari organisasi ulama menjadi partai politik. Dalam pemilihan umum pada 1955, NU mendapat 18 persen suara. Kiai NU sendiri terheran-heran bisa meraih suara sebanyak itu. Mereka tidak sadar jumlah pengikutnya begitu banyak. Tapi pengikut itu tidak pernah terorganisasi. Mereka merasa punya ikatan batin dengan NU, tapi bukan anggota yang disiplin membayar iuran dan semacamnya. Dalam sistem politik ini lahir elite politik NU. Kebanyakan elite politik NU ini bukan kiai, melainkan mereka yang dekat dengan lingkungan kiai, pedagang, kemudian politikus profesional. Jadi ada dua kelompok pemimpin NU, yakni kiai dan pemimpin politik yang juga punya pendidikan agama yang tinggi. Kedua kelompok itu sering bersaing soal siapa sebenarnya yang harus menentukan langkah politik NU.

Pada 1984 NU memutuskan kembali ke Khittah 1926, tapi tetap berpolitik?

Pada 1984, NU mengambil keputusan tidak akan menjadi partai politik dan kembali ke Khittah 1926. Di situ ditekankan, NU merupakan jam'iyyah, berarti persekutuan kemasyarakatan dan keagamaan, bukan partai politik. Orang NU boleh berpolitik dengan partai mana pun, tapi tidak boleh merangkap jabatan di NU. Dari segi bobot politik, pengaruh NU mungkin berkurang karena bukan partai politik lagi. Tapi, pada masa Orde Baru, pemain politik lain juga tidak punya pengaruh yang besar. Sebab, yang punya pengaruh hanya tentara dan Soeharto.

Lalu apa dampak signifikan dari keputusan 1984 itu?

Waktu NU memutuskan keluar dari politik praktis dan lebih banyak aktif di LSM, mengkritik pemerintah dari luar, justru sebetulnya membuat NU jauh lebih penting dalam menentukan agenda demokratisasi Indonesia. Pada 1990-an, Gus Dur sedikit bersinggungan dengan Soeharto. Walaupun ketika itu NU bukan lagi partai politik, pengaruhnya sangat besar. Dalam Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1994, posisi Gus Dur begitu kuat, sehingga banyak orang yang merasa, di Indonesia hanya satu orang yang mampu mengimbangi Soeharto, yakni Gus Dur. Ketika Orde Baru berakhir, tiba-tiba banyak partai politik yang didirikan. Warga NU ikut mendirikan PKB.

Apakah keputusan mendirikan partai itu langkah yang tepat?

Saya sedikit menyesalkan, karena saya lihat dedikasi yang dulu dicurahkan untuk perkembangan pemikiran dan keagamaan, sehingga ajaran Islam lebih relevan untuk masalah-masalah terkini, memperjuangkan kepentingan warga NU dan masyarakat pedesaan, tiba-tiba beralih untuk urusan politik. Mereka yang dulu aktif di LSM, aktif menulis dan berdiskusi tentang masalah keagamaan, tiba-tiba lebih tertarik pada urusan politik. Perkembangan pemikiran di NU hampir-hampir berhenti. Dalam sepuluh tahun terakhir ini NU sedikit berubah. Jika terjadi perdebatan masalah keagamaan, jika ada ide yang sedikit progresif, sudah langsung dicap liberal. Liberal ini satu kata yang kurang dihormati (di NU-Red.).

Di NU ada kiai yang getol berpolitik, ada yang tekun mengurus pondok.

Dalam tubuh NU, sebagian besar kiai sekarang berpikir sangat politis. Semangat berpolitik mereka sangat tinggi dibanding dulu. Mungkin pada masa Orde Baru mereka juga punya semangat politik. Tapi, karena sistem Orde Baru yang sangat otoriter, mereka tidak berhasil memainkan peran politik.

Jadi ada tiga kelompok di NU, yakni ulama, birokrat organisasi yang menjadi pengurus NU, dan massa nahdliyin. Dan saya melihat, antara pemimpin NU dan warga nahdliyin ada jarak yang cukup besar. Dalam banyak hal, kepentingan massa NU tidak mendapat banyak perhatian.

Belakangan Gus Dur pun lebih intens berpolitik?

Saya merindukan sosok Gus Dur pada 1980-an dan 1990-an. Dalam masa terakhir hidupnya mungkin Gus Dur terlalu banyak berpolitik. Tapi pemikiran yang banyak mengilhami generasi muda itu adalah pemikiran yang dilontarkannya pada 1980 hingga 1990-an. Misalnya pemikiran Gus Dur tentang Ahmadiyah. Gus Dur menghormati kebebasan orang beragama. Walaupun tidak setuju, dia membela hak mereka untuk punya keyakinan sendiri. Dalam hal ini dia selalu konsisten. Memang dalam banyak hal dia tidak konsisten, tapi dalam hal penting seperti ini dia selalu konsisten.

Para kandidat ketua umum tidak lagi mengakar kuat pada tradisi pondok. Apakah ini sinyal modernisasi dari NU?

Saya sedikit heran dengan prosesnya yang berbeda dengan tradisi NU. Biasanya, dalam pemilihan ketua umum atau rais am, selalu banyak negosiasi. Tapi kenapa sekarang permainannya sangat tinggi. Saya juga tidak pernah melihat ada rais am yang mencalonkan diri seperti saat ini. Saya sedikit heran melihat itu.

Apa tantangan utama bagi ketua umum yang bakal terpilih?

Tantangan bagi NU sekarang itu bagaimana NU bisa membantu massa nahdliyin menghadapi perubahan masyarakat yang sangat cepat.

Bagaimana Anda melihat persaingan di antara para kandidat?

Seperti semua orang bilang, ini mirip pemilihan kepala daerah, lengkap dengan spanduk-spanduknya. Ada suasana seperti pesta demokrasi.

Bukankah lebih bagus keterbukaan seperti itu?

Saya kira yang lebih penting, kita lihat atas pertimbangan apa, para pemilih atau pengurus cabang. Dengan alasan apa mereka memilih suatu kandidat. Ini, menurut saya, suatu ukuran dari demokrasi. Kalau pertimbangannya murni karena kebijaksanaan sang calon, itu pertanda bagus.

Bagaimana Anda melihat kualitas kandidat ketua umum?

Kita harus realistis. Ada kandidat yang punya ide bagus tapi tidak punya dukungan cukup kuat. Ada juga calon yang punya dukungan cukup kuat tapi saya tidak tahu bagaimana pelaksanaannya. Salah satu calon yang kuat, Said Agiel Siradj, dia sering melontarkan ide menarik dan ada satu kesegaran ide di dalamnya. Tapi saya belum tahu bagaimana dia sebagai pengelola organisasi. Gus Solah punya pengalaman manajemen, tapi dalam pemikiran keagamaan dia tidak begitu alim. Tapi, dari segi kesegaran pemikiran dan kesadaran akan tantangan zaman, saya kira Masdar dan Ulil, walaupun sangat berbeda satu dengan yang lainnya, barangkali yang paling cocok. Tapi mereka punya kelemahan dalam dukungan massa. Masdar punya pengalaman dalam berorganisasi dan sebagai pemikir dia cemerlang, tapi saya kira itu tidak cukup.

Seberapa besar pengaruh Gus Dur sekarang?

Ini sulit sekali diukur. Banyak orang masih merasa sangat mencintai dia.

Apa sebenarnya peninggalan Gus Dur yang paling penting di NU?

Mungkin organisasi NU itu tidak begitu rapi, bahkan sedikit kacau. Gus Dur juga sedikit kacau dalam mengelola organisasinya. Tapi ada banyak orang muda NU yang diilhami Gus Dur yang punya pemikiran sangat maju. Meski Gus Dur sudah meninggal, pemikirannya tetap hidup.

Pesantren sepertinya tidak lagi menjadi lembaga pendidikan yang cukup diminati?

Ya. Pesantren sekarang berubah. Hampir tidak ada lagi pesantren yang tidak ada sekolahnya. Semua pesantren punya pendidikan tradisional pesantren, tapi pagi hari mereka sekolah. Mau tidak mau pesantren mulai memodernisasi diri. Mereka harus bersaing dengan sekolah modern dan sekolah yang berafiliasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah atau madrasah yang berafiliasi salafi. Ada beberapa pesantren yang terpinggirkan, tapi juga tetap ada beberapa pesantren yang akan terus bertahan. Perubahan itu normal. Dulu santri harus menghafal hadis dan selalu membanggakan orang yang menghafal 10 ribu hadis. Sekarang ada cakram rekaman, sehingga setiap orang dengan gampang bisa memutar ulang. Jadi keistimewaan kiai bisa terancam perkembangan teknologi.

Di mana posisi kiai sekarang?

Akses terhadap ilmu pengetahuan yang dulu merupakan monopoli kiai sekarang sudah gampang didapat masyarakat umum. Dulu, di desa, kiai barangkali satu-satunya orang yang pernah lama belajar di luar negeri. Walaupun apa yang mereka pelajari itu hanya sedikit, dia datang dari luar negeri dengan pengetahuan yang jauh lebih tinggi daripada penduduk sekitarnya, sehingga dia dikultuskan oleh masyarakat. Tapi sekarang banyak orang yang pergi belajar apa saja, di mana saja.

Apakah karena keistimewaan berkurang, kepatuhan terhadap kiai juga bergeser?

Mungkin saja. Memang ada beberapa kiai karismatik atau kiai-kiai khos yang punya kelebihan yang tidak bisa ditiru teknologi. Unsur itu bisa jadi lebih penting daripada teknologi.

Hasyim Muzadi gagal meraup suara pada 2004, dan tahun lalu, dukungan para kiai NU gagal memenangkan JK-Wiranto di Jawa Timur. Menurut Anda, apa yang terjadi?

Biasanya pemimpin organisasi, apabila mencalonkan diri sebagai presiden atau jabatan politik lain, harus melepas posisi sebagai pemimpin organisasi. Saya terus terang tidak tahu bagaimana anggaran dasar NU, tapi itu sesuatu yang sangat aneh dan tidak sehat untuk organisasi.

Apakah itu bukti bahwa kiai kurang didengar lagi oleh santrinya?

Saya tidak tahu.

Jadi sebaiknya NU tidak usah berpolitik?

Jangan sebagai organisasi NU mendukung salah satu aliran politik suatu gerakan, suatu kepentingan politik. NU terlalu besar untuk itu. NU mewakili umat yang sangat besar, jangan dipakai mendukung kepentingan yang sangat parsial.

Apa mungkin NU sepenuhnya kembali ke Khittah 1926?

NU keluar dari politik praktis berarti bebas memilih. Sebelum 1984, kiai yang menyeberang ke Golkar dihakimi dan diadili oleh NU. Setelah 1984, mereka boleh ke PDI, PPP, ataupun Golkar. Dalam prakteknya, banyak kiai beralih ke Golkar karena pesantrennya diperbaiki dan diperindah.

Martin van Bruinessen

Tempat dan tanggal lahir: Schoonhoven, Belanda, 10 Juli 1946

Pendidikan:

  • BA, Teori Fisika dan Matematika, Universitas Utrecht, Belanda (1971)
  • PhD., Kajian Islam, Universitas Utrecht (1978)

Pekerjaan:

  • Guru besar dan peneliti kajian Islam di Universitas Utrecht, Belanda (1994)
  • Dosen tamu di Institute of Ethnology, Free University, Berlin, Jerman (1996)
  • Chairman Institute for the Study of Islam in the Modern World (1999).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus