Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHKAMAH Konstitusi rupanya bukan tempat yang aman bagi para pencari keadilan. Sangat disayangkan kalau tempat yang seharusnya steril itu ternyata dikotori ulah sekelompok orang yang melakukan tindakan anarkistis. Para pelaku yang diduga anggota Front Pembela Islam itu enteng saja memukuli tim advokasi Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
Kejadian tercela ini berlangsung pada Rabu pekan lalu. Kedua pihak berada di kantor Mahkamah ketika lembaga itu membahas uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan Aliansi. Suasana setiap sidang uji materi ini selalu gegap-gempita dan panas karena kehadiran kedua kubu.
Menyadari potensi kekerasan yang bisa muncul sewaktu-waktu, mestinya polisi disiagakan dalam jumlah memadai. Namun aparat penegak hukum yang cuma segelintir itu hanya bisa diam terpaku. Mereka tak berdaya meski tindakan brutal itu terjadi di depan mata, di tengah rehat sidang. Para tersangka pelaku tindak pidana ini tak boleh didiamkan, melainkan harus segera diproses secara hukum berdasarkan kesaksian dan bukti kekerasan yang mereka lakukan.
Kekerasan atas nama agama dan sikap polisi yang hanya mendiamkan kejadian ini sekali lagi tak boleh terulang. Peristiwa pertama di antara kedua kubu yang berselisih paham dan keyakinan itu terjadi pada Juni 2009. Saat itu puluhan anggota FPI memukuli dan menganiaya anggota Aliansi yang tengah unjuk rasa di Monumen Nasional, memperingati Hari Kelahiran Pancasila.
Meski terlambat, hukum ditegakkan sesudah peristiwa Monas itu. Setelah Presiden Yudhoyono memerintahkan, polisi lalu mencokok sejumlah anggota FPI di basis kegiatan mereka di kawasan Petamburan, Jakarta. Rizieq Shihab, sang pemimpin, bersama sejumlah anggotanya dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Anehnya, vonis penjara ternyata tak membuat mereka jera. Mereka masih saja mengulangi tindak kekerasan terhadap pihak lain yang berseberangan keyakinan.
FPI lupa bahwa Indonesia adalah negeri dengan seribu perbedaan. Sudah berabad kita hidup damai dengan pelbagai agama dan keyakinan, suku bangsa, budaya, serta bahasa. Bahkan di sejumlah tempat, seperti Maluku—sebelum konflik pada akhir dekade 1990—ada budaya bakubae, kaum muslim bahu-membahu membangun desa dan rumah ibadah, baik masjid maupun gereja. Kaum muslim hidup berdampingan dengan umat Kristen atau Hindu seperti di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, atau di Nusa Tenggara Barat.
Konstitusi jelas menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Setelah konstitusi diamendemen, pasal 28 bahkan diperluas dengan menjamin hak asasi manusia dalam berbagai bidang, termasuk hak atas rasa aman dari ketakutan atau penyiksaan yang merendahkan derajat martabat manusia. Konsekuensinya, tak ada toleransi sedikit pun terhadap kekerasan satu orang atau kelompok terhadap orang atau kelompok yang lain.
Negara tak boleh kalah oleh organisasi massa apa pun yang memakai kekerasan untuk melaksanakan misi dan tujuannya. Sikap tegas aparat, disusul proses hukum terhadap para pelaku tindak anarkistis ini, tak boleh surut sejengkal pun. Hanya dengan cara inilah, negara betul-betul menjamin bahwa memperjuangkan perbedaan keyakinan dan beragama di negeri ini bukan saja hak setiap warga negara, tapi juga tak akan berisiko gawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo