Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAWAT Badar membahana di ruang Aula Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sabtu sore pekan lalu, ketika nama Kiai Haji Sahal Mahfudz akhirnya didaulat menjadi Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat, ini dipercaya muktamirin untuk kembali menduduki kursi tertinggi elite ulama organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Salatullah salamullah ala thaha Rasulillah....
Ribuan muktamirin di arena luar aula ikut pula menyambut kabar gembira itu dengan pekik takbir dan tahmid. Inilah puncak acara muktamar yang pertama kalinya digelar di kawasan timur Indonesia, Sulawesi Selatan, yang selama ini menjadi basis NU politik di luar Jawa. Muktamar ini juga penting karena digelar sepeninggal Kiai Haji Abdurrahman Wahid, figur berpengaruh kaum nahdliyin, yang pernah menjadi Ketua Umum Tanfidziyah NU selama tiga periode dan belakangan menjadi Presiden RI.
Muktamar juga mengembuskan kecemasan baru: lunturnya tradisi takzim di kalangan para ulama terkemuka organisasi itu. Kiai Sahal, 73 tahun, berkukuh maju kembali menjadi rais am. Di kubu sebelah, ada sang penantang, mantan Ketua Tanfidziyah yang sudah menjabat dua periode, Hasyim Muzadi, yang ngotot maju, bahkan aktif berkampanye. Saat voting pencalonan, Sahal meraup 272 suara, sedangkan Hasyim didukung 180 suara. Keduanya sama-sama memenuhi syarat untuk maju ke babak berikutnya.
Menyadari selisih suara itu, Hasyim akhirnya menyatakan ”tidak bersedia dicalonkan”, sebagaimana ia tulis dalam secarik kertas yang dibacakan pemimpin sidang. ”Pak Hasyim legowo dan menyerahkan kepada Mbah Sahal dengan takzim,” kata seorang pendukungnya. Pengasuh Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, itu akhirnya meninggalkan arena muktamar. Ia beristirahat sejenak di rumah kerabatnya yang dijadikan posko tim sukses, bertemu dengan Khofifah Indar Parawansa, Ketua Muslimat NU, dan menemui sejumlah pendukungnya di hotel-hotel tempat mereka menginap.
Ajang untuk memperebutkan posisi Ketua Umum PB NU, biasa disebut Tanfidziyah, juga tak kalah seru. Di sepanjang jalan menuju Asrama Haji, bertebaran spanduk, poster, baliho, dan umbul-umbul para kandidat tak ubahnya suasana pemilihan kepala daerah. Di lembaga eksekutif NU ini bertarung ketat Said Aqil Siradj dengan Slamet Effendy Yusuf. Keduanya jauh mengungguli kandidat lainnya, seperti Salahuddin Wahid, Achmad Bagdja, Masdar F. Mas’udi, dan Ali Maschan Musa. Dalam putaran kedua, Kiai Said akhirnya unggul atas Slamet Effendy. Said, ahli tasawuf dari Universitas Ummul Qura, Arab Saudi, memperoleh 294 suara, sedangkan Slamet, mantan politikus Golkar, mendapat 201 suara.
KEDIAMAN Kiai Sanusi Baco di Jalan Kelapa Tiga, Makassar, mendadak ramai, Jumat pekan lalu. Puluhan mobil berderet di tengah cuaca gerah menyelimuti kota daeng. Para ulama sepuh melakukan pertemuan tertutup di rumah Rais Am NU Sulawesi Selatan itu. ”Ada hal penting yang harus dibicarakan menyangkut perjalanan NU ke depan,” kata Sanusi. Ketua Majelis Ulama Sulawesi Selatan itu keberatan menerangkan tujuan pertemuan. ”Ini demi kemaslahatan umat.”
Sumber Tempo memastikan bahwa pertemuan itu berupaya mencari jalan keluar dari krisis menjelang pemilihan rais am syuriah. Para ulama sepuh gelisah. Pemicunya: Ketua Umum Tanfidziah NU demisioner, Hasyim Muzadi, ngotot mencalonkan diri sebagai rais am. Ini sikap yang dinilai muktamirin tak lazim dalam sejarah nahdliyin. ”Rais am dituntut saleh, alim, dan fakih, menyangkut dunia akhirat, Pak Hasyim belum mencapai tataran itu,” kata sumber Tempo yang hadir dalam pertemuan itu.
Hadir para elite ulama ormas Islam berlambang bintang sembilan itu. Tampak Kiai Sahal Mahfudz (rais am demisioner) serta Kiai Mustofa Bisri dan Kiai Maemun Zubair, keduanya dari Rembang, Jawa Tengah. Ada Habib Luthfi bin Ali Yahya, pemimpin organisasi thariqah NU, dari Pekalongan, Jawa Tengah, plus Kiai Ma’ruf Amien, Ketua Komisi Fatwa MUI, yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Hadir pula mantan Menteri Agama Tholhah Hasan dan Maftuh Basyuni. Namun Hasyim Muzadi dan kiai-kiai pendukungnya absen.
Pertemuan dengan suguhan coto Makassar itu mentok. Rencananya akan membahas usulan agar rais am dipilih berdasarkan ahlul halli wal aqdi—penunjukan langsung oleh sembilan ulama terkemuka. Bukan pemilihan langsung seperti pemilihan Ketua Tanfidziah. Para ulama yang hadir sedianya akan menagih janji Hasyim Muzadi yang akan mundur sebagai kandidat rais am jika Kiai Maemun Zubair bersedia dicalonkan. ”Namun janji itu hingga Jumat malam tak dipenuhi,” kata sumber Tempo. ”Kiai Maemun membantah isu itu, dan Pak Hasyim akan maju sebagai rais am,” kata Asnawi Latif, bekas pengurus NU yang hadir dalam pertemuan itu.
Bursa rais am makin panas. Masing-masing pendukung mengusung jargon ABH (asal bukan Hasyim) dan ABS (asal bukan Sahal). Di kubu Hasyim ada Khofifah, calon Gubernur Jawa Timur; Kiai Muchit Muzadi dari Jember; Kiai Ali Tulangan, Sidoarjo; dan hampir semua pengurus Tanfidziyah di Jawa Timur dan Jakarta. Adapun dalam tim sukses Kiai Sahal berjajar Saifullah Yusuf, Ketua GP Ansor, lembaga di bawah NU, yang kini Wakil Gubernur Jawa Timur; dan anak-anak muda NU lainnya, seperti Nusron Wahid, Yahya Staquf, serta Ulil Abshar Abdalla.
Dalam tradisi jam’iyyah NU, rais am syuriah bukan posisi yang diperebutkan. Ulama yang ditunjuk selalu berebut menolak. Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Chasbullah pernah menolak menjadi rais akbar, istilah lama rais am, karena saat itu masih ada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, figur sentral pendiri NU yang juga kakek Gus Dur dan Gus Sholah. Ketika Kiai Hasyim wafat, keduanya tetap menolak. Belakangan Kiai Wahab bersedia, dengan syarat istilah rais akbar diganti menjadi rais am.
Ketika Wahab Chasbullah sakit, muktamirin menunjuk Mbah Bisri. Namun dia menolak. Kiai Bisri baru bersedia menjabat rais am setelah Wahab wafat. Kiai As’ad Syamsul Arifin bahkan pernah menolak posisi itu dengan alasan belum pantas. Ketika dipaksa, dia berkata, ”Meskipun malaikat Jibril turun dari langit, saya tetap menolak,” katanya. ”Yang pantas adalah Kiai Machrus Ali.” Mendengar namanya disebut, kiai asal Kediri, Jawa Timur, itu langsung berujar, ”Jangankan malaikat Jibril, malaikat Izrail turun memaksa saya pun, saya tak bersedia.”
”Sangat aneh tiba-tiba Pak Hasyim Muzadi mencalonkan diri sebagai rais am. Itu bukan tradisi NU,” kata Nabil Haroen, Mustasyar Pengurus Cabang Istimewa NU Taiwan. Pun, dalam sejarah, belum pernah Ketua Tanfidziyah langsung naik pangkat menjadi rais am. ”Seharusnya Pak Hasyim masuk syuriah dulu, kalau sudah mumpuni, baru maju sebagai rais am,” kata seorang kiai sepuh. Ada pula catatan buruk. Meski muktamirin menerima laporan pertanggungjawaban PBNU 2005-2010, pengurus wilayah Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan Maluku Utara menorehkan catatan kritis.
Hasyim juga dinilai terlalu politis, termasuk ketika menyeret warga NU dalam pusaran politik saat menjadi kandidat wakil presiden mendampingi Megawati yang akhirnya kalah dalam Pemilihan Umum 2004. Secara keilmuan, dia juga dianggap kurang fakih. ”Waktu baca teks pidato bahasa Arab di Timur Tengah, sering keliru,” kata sumber Tempo. ”Bukan maqam-nya Muzadi memaksakan diri (menjadi rais am),” ujar Kiai Habib Thoha, tokoh thariqah NU. Pun Hasyim dinilai royal menawari umrah gratis, tiket pulang-pergi ke muktamar. ”Saya menolak, karena itu riswah (suap),” kata salah seorang muktamirin.
Sebaliknya, pendukung Hasyim mencium aroma amis politik uang dan intervensi Istana. ”Banyak daerah yang mengaku diberi uang saku Rp 10-20 juta agar tak memilih Pak Hasyim,” kata seorang tim sukses Hasyim kepada Tempo. Ia lalu menunjuk adanya sejumlah menteri kabinet Presiden Yudhoyono dan petinggi lainnya yang terjun langsung ke Makassar. Di muktamar, hadir Menteri Pendidikan Muhammad Nuh, Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, dan Menteri Kelautan Fadel Muhammad. ”Sementara dulu NU diintervensi kekuasaan dan tentara, kini dilakukan memakai pejabat yang berasal dari kultur dan berbaju nahdliyin,” kata seorang pengurus Tanfidziyah pro-Hasyim.
Hasyim Muzadi pernah digandeng Megawati dalam pemilihan presiden 2004. Adapun Susilo Bambang Yudhoyono berduet dengan Jusuf Kalla. Dalam pemilihan presiden 2009, Hasyim menyerukan agar kaum nahdliyin memberikan suara untuk Kalla sebagai calon presiden yang bersanding dengan Wiranto. Yudhoyono menang dan terpilih lagi sebagai RI-1. ”Kami menduga, setelah sukses memecah belah partai politik, dendam itu terus menggumpal hingga Hasyim harus dirontokkan dari NU,” kata seorang bekas pengurus NU yang juga politikus Partai Kebangkitan Bangsa.
Dwidjo U. Maksum, Irmawati, Abd Azis, Wahyu Muryadi (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo