Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah tak mau tergelincir dengan target seperti pada 2009. Ada 16 ribu barel minyak meleset. Realisasi lifting hanya 944 ribu dari target 960 ribu barel per hari. Padahal melesetnya realisasi 10 ribu barel akan membuat potensi penerimaan pajak penghasilan dan penerimaan negara bukan pajak berkurang. Alhasil, setiap penuÂrunan target 10 ribu barel minyak berisiko membuat defisit anggaran membengkak sekitar Rp 3 triliun.
Produksi minyak di dalam negeri memang sedang seret. Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Priyono mengatakan hasil minyak semakin berkurang akibat kebocoran pipa PT Transportasi Gas Indonesia di Riau. Lapangan minyak Duri, Riau, pun belum pulih dan berkurang 30 ribu barel.
BP Migas sudah berusaha menggenjot produksi minyak melalui sumur-sumur berkapasitas kecil. Priyono berharap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh segera menanggapi permohonan agar lapangan kecil itu bisa beroperasi, meskipun hanya menghasilkan ratusan barel per hari. Dia membuka semua celah yang memungkinkan untuk menggenjot produksi minyak. "Istilahnya, sudah dikoreti," kata dia.
Saat bertandang ke kantor Tempo, Selasa pekan lalu, Priyono, yang didampingi Deputi Lambok H. Hutauruk, Haposan Napitupulu, dan anggota staf lainnya, bercerita panjang-lebar tentang sengkarut minyak dan gas bumi di Indonesia. Dia menyinggung pula kisruh pengangkatan Deputi Operasi BP Migas.
Produksi minyak menjadi sorotan karena masih di bawah target, sehingga harus direvisi. Apakah ketersediaan sekarang kisarannya memang hanya 900 ribu barel per hari?
Produksi sekarang 900 ribu barel itu sudah maksimal. Itu membuat kami senewen. Dengan target 970 ribu barel per hari, kami melihat pengelolaan minyak menjadi pengurasan. Lapangan dengan ratusan barel, bukan hitungan ribu barel, dikuras supaya cepat menghasilkan. Jadi roda ekonomi daerah berputar dan menambah angka lifting.
Bagaimana upaya menggenjot produksi minyak?
Sekarang agak berat karena pipa PT Transportasi Gas Indonesia bocor, sehingga mempengaruhi kegiatan produksi minyak. Lapangan minyak Duri, Riau, belum pulih dan berkurang 30 ribu barel. Kalau Duri tak bermasalah, produksi agak lumayan. Tapi produksi minyak secara keseluruhan tetap, karena dibukanya lapangan baru.
Apakah ada kendala untuk mengeksploitasi lapangan kecil itu?
Kami minta Pak Menteri segera merespons permohonan supaya lapangan kecil cepat beroperasi. Saya sebagai pengawas dan pengendali inginnya cepat. Segera produksi tanpa melihat cadangannya dulu, put on production. Kami ingin Pak Menteri setuju. Nanti dihitung bagian pemerintah. Pokoknya ada dan menghasilkan dulu. Surat menteri bisa menjadi payung hukum. Begitu dapat, langsung produksi walaupun hanya 500 barel atau seribu barel. Kami sangat desperate meningkatkan produksi.
Surat menteri sudah cukup sehingga tak perlu menunggu peraturan menteri, yang memakan waktu lama?
Kami mengajukan sejak Januari. Kalau memang tujuannya mempermudah, peraturan menteri bisa menjadi payung semua wilayah kerja. Bukan setiap wilayah kerja.
Bagaimana investor menghitung skala ekonomi lapangan minyak?
Mereka sekarang melihat harga minyak US$ 100 per barel. Kalau 500 barel saja sudah bisa diangkut, lumayan, sudah bisa jadi uang.
Berapa potensi dari lapangan-lapangan kecil itu?
Cukup banyak. Kalau dijumlahkan, mungkin bisa 3.000-4.000 barel. Sekarang kita bilang 4.000 barel itu banyak. Sekarang, istilahnya, dikoreti.
Penerimaan negara terpenuhi karena harga minyak dunia naik. Sayangnya, produksi minyak tak bisa mencapai target....
Penerimaan negara sudah terpenuhi sampai kuartal pertama tahun ini. Produksi memang di bawah rencana anggaran pendapatan dan belanja negara, tapi harga minyak dunia lebih tinggi. Ada yang berpandangan, tanpa produksi penuh, penerimaan negara sudah terpenuhi. Jadi buat apa kita habis-habiskan? Itu pandangan environmentalist. Apakah kita harus menyimpan minyak ini untuk anak-cucu atau meÂnguras habis. Tapi, kalau produksi tak tercapai, artinya impor naik. Antara hulu dan hilir selalu menjadi perdebatan menarik dan sering tak ketemu.
Mengapa sedikit sekali perusahaan nasional yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumur minyak?
Di Blok Semai tak ketemu apa-apa dalam waktu empat bulan. Hilang US$ 205 juta. Beberapa lokasi mengalami hal yang sama. Ini yang publik tak tahu, ada risiko tinggi dalam bisnis minyak. Tak mungkin ada perusahaan nasional berani. Jangankan di laut dalam, di onshore saja tak berani. Jadi memang bukan permainan nasional, karena risiko sangat tinggi. Pernah ada cukong datang meminta blok. Saya jelaskan risikonya. Satu triliun rupiah bisa hilang tak bersisa dalam tiga bulan. Dia mundur.
Berapa modal yang dibutuhkan untuk membuat sumur?
Kalau di Blok Semai kehilangan US$ 205 juta, berarti satu sumur memerlukan dana sekitar Rp 2 triliun di lepas pantai atau offshore. Sedangkan onÂshore US$ 40 juta, bergantung pada kedalaman dan lokasi.
Bagaimana supaya sumur-sumur yang sudah ada sekarang bisa menghasilkan?
Bisa dengan enhanced oil recovery (EOR), yaitu teknik lanjutan untuk mengangkat minyak jika berbagai teknik dasar sudah dilakukan. Mungkin perlu insentif dan perubahan kebijakan. Jadi, untuk meningkatkan produktivitas, bukan hanya dari sisi kerja keras. EOR pasti lebih mahal daripada teknik dasar yang sederhana. Kalau pembagiannya sama, misalnya 80-20, mungkin dia tak mau karena biayanya lebih tinggi.
Kecenderungan produksi minyak menurun, tapi produksi gas meningkat?
Penerimaan negara yang kita jual adalah energi: minyak dan gas. Mengapa selalu dihitung minyak, tapi gas tak dihitung? Jadi ganjil. Penerimaan negara asumsinya minyak, ketika cost recovery minyak dan gas. Era minyak bumi sudah lewat. Terbukti, dalam sepuluh tahun terakhir, lebih banyak penemuan gas daripada minyak. Dalam dua tahun ini, dari sembilan proyek besar, hanya satu proyek minyak, yaitu di Cepu. Proyek yang ada di kontrak karya kerja sama di luar Pertamina selalu yang ketemu gas.
Sumur-sumur Pertamina masih cukup baik?
Pertamina, kalau perumahan, itu ibarat Pondok Indah karena eks Belanda dan tak perlu eksplorasi yang susah. Minyak sudah ketemu meskipun dulu menggunakan cara primitif dibandingkan dengan sekarang. Seharusnya bisa dengan cepat disedot. Sumur-sumur masih ada. Tinggal dilengkapi, kemudian direvitalisasi. Istilahnya daerah proven, bukan virgin area, yang masih harus menebak dapat atau tidak.
Dulu Humpuss tak menghasilkan banyak di Cepu?
Ketika Cepu diambil Humpuss, kami berpikir seperti berburu di kebun binatang. Merem, lalu dor, pasti dapat. Tapi nyatanya tidak. Humpuss selama enam atau tujuh tahun tak dapat. Begitu Exxon masuk, sumur yang sama diperdalam sekitar 200 meter dan mendapatkan besar. Ini faktor hoki dan teknologi. Pada akhirnya manusianya jugalah yang menentukan bisa mendapatkan minyak itu. Tak sesederhana yang kita duga.
Sumur peninggalan Belanda, seperti Cepu, bukankah di luar Jawa juga ada?
Daerah seperti Cepu itu banyak di Sumatera. Jadi bagaimana kita membangunkan Pertamina. Saya berharap Direktur Hulu Pertamina yang baru punya cukup ketabahan. Saya bilang ketabahan karena tak mudah mengubah budaya kerja. Teknologi bisa dibeli asalkan ada uang. Tapi budaya kerja ini bukan hal sederhana. Saya mencoba mengubah budaya kerja di BP Migas juga perlu waktu. Padahal BP Migas jauh lebih kecil daripada Pertamina.
Budaya kerja seperti apa?
Dulu Pertamina memegang semua kontrak karya kerja sama sebelum ada Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. Pertamina memegang 1,6 juta barel dan sudah merasa nyaman. Orang lain yang bekerja, tapi memakai nama Pertamina. Begitu dipisah, ini menjadi berat. Peningkatan produksi sangat bergantung pada eksplorasi. Mata rantai minyak bumi adalah eksplorasi, cadangan, lalu produksi. Perusahaan sekelas Pertamina seharusnya bisa lebih banyak melakukan eksplorasi. Kalau cadangan diambil terus, lama-lama habis. Eksplorasi inilah yang kita uber terus.
Ketika kegiatan eksplorasi tersendat, cadangan minyak kita tak bertambah?
Penambahan cadangan ada tapi kalah dengan pengurasan. Sekarang kita lagi stagnan karena eksplorasi tahun ini biayanya baru mendekati 9 persen. Sebelumnya di bawah 5 persen.
Jadi kegiatan sekarang lebih banyak menyedot saja?
Pemerintah belum sadar substansi eksplorasi. Setiap satu barel yang dihasilkan seharusnya sebagian kembali ke eksplorasi untuk penyediaan data. Jadi dari minyak masuk ke anggaran, lalu dikembalikan ke minyak. Pemerintah menyiapkan data semuanya sehingga mengurangi risiko. Investasi makin menarik kalau risiko semakin kecil. Ini tak terjadi di Indonesia karena murni diserahkan kepada perusahaan minyak.
Apakah perbankan nasional cukup membantu pembiayaan untuk menunjang kegiatan perminyakan, termasuk eksplorasi?
Saya ingin Bank BNI, BRI, dan Mandiri menjadi pintu gerbang pembiayaan minyak dan gas bumi. Sewaktu krisis ekonomi dunia 2008, secara psikologis perbankan kita masih kering, tapi perminyakan tak ada masalah. Ini kan ada gap. Jadi pindahkan saja transaksi minyak dan gas bumi ke perbankan nasional sehingga basah terus. Saya kira itu akan membuat sehat bank kita.
Sekarang berapa total transaksi yang melalui perbankan nasional?
Sudah mencapai US$ 6 miliar. Sekitar 60 persen klien Citibank sudah pindah ke bank nasional. Saya didatangi Direktur Bank Exim Amerika dan memprotes pembiayaan melalui bank nasional. Saya menjelaskan perminyakan di Indonesia menganut bagi hasil dan, kalau ketemu, dibayar pemerintah. Jadi kita punya hak mengatur bagaimana uang itu berputar. Bank Amerika tetap bisa, tapi bergabung dengan bank di sini. Sekarang perusahaan minyak sudah percaya dengan memberikan cash management ke bank nasional. Kalau tak dikasih kesempatan, kapan lagi.
Ada kisruh pengangkatan Deputi Operasi di BP Migas setelah pejabat sebelumnya mundur pada April lalu. Bagaimana mengisi kekosongan?
Bergantian di antara deputi yang ada menjadi penjabat sementara. Jadi tidak kosong blong.
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengangkat deputi baru sudah terbit Mei lalu. Mengapa Anda belum melaksanakannya?
Dalam kondisi produksi begitu rendah, sangat berisiko menaruh orang keuangan di operasi. Sebab, deputi bukan hanya manajemen, tapi memberikan inspirasi kepada komunitasnya. Kalau feeling-nya belum ada, risikonya tinggi. Pak Maman (Wibowo Suseso) profesionalismenya di bidang keuangan. Dulu saya mengusulkan deputi keuangan diisi orang keuangan, yaitu Pak Maman. Biasanya deputi operasional itu dari teknik perminyakan. Jadi semua sesuai dengan tempatnya. Saya tak berlebihan.
Apakah keputusan menteri itu tak mengikat BP Migas?
Memang keputusan menteri, tapi ada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang belum dicabut. Saya kira peraturan pemerintah lebih tinggi daripada keputusan menteri. Beban saya sebagai pejabat publik, sehingga tak melaksanakan keputusan menteri itu. Kalau saya melanggar peraturan pemerintah, rasanya sudah tak pantas lagi. Ini ditonton semua investor. Kami menunggu arahan Presiden.
R PRIYONO Tempat dan tanggal lahir: Pati, Jawa Tengah, 12 September 1956 Pendidikan: Sarjana Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, 1976 Karier: Kepala BP Migas, 2008-sekarang l Direktur Pembinaan Usaha Hulu, Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006-2008 l Kepala Subdirektorat Pengelolaan Wilayah Kerja, Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2003-2006 l Kepala Subdirektorat Eksplorasi, Direktorat Jenderal Migas, 2001-2003 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo