Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta—dan Indonesia—kaget. Tokoh yang dikenal dengan nama Dai Sejuta Umat, KH Zainuddin Muhammad Zain, 59 tahun, meninggal pada Selasa, 5 Juli, pukul 09.20, karena komplikasi gula dan tekanan darah tinggi.
Ia meninggal mendadak karena pada Ahad, 3 Juli, masih mengisi acara. Senin malam, ia merasa kurang enak badan dan kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Keesokan harinya, ia mengembuskan napas terakhir di rumah sakit itu. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Zainuddin wafat dengan meninggalkan panggung dakwah yang sudah gemerlap. Sepeninggalnya panggung dakwah mungkin sedikit meredup. Sebab, Zainuddin adalah bintang di panggung itu. Dia adalah dai yang paling komunikatif, cerdas mengolah kata serta intonasi nada. Tuturnya jelas dan menyihir pendengarnya. Humornya datang secara tiba-tiba dan tak sengaja meluncurkan tawa pendengarnya.
Sang dai hadir pada saat yang tepat ketika panggung dakwah mulai menggeliat mencari bintang pada 1980-an. Tatkala televisi swasta mulai bermunculan, Zainuddin menjadi sosok pas. Ketika itu KH Kosim Nurzeha, KH Hasyim Adnan, dan KH Syukron Makmun dianggap tak familiar di layar kaca. Pengagum Bung Karno itu seperti mewarisi daya pukau sang proklamator dalam komando yang berbeda.
Panggung dakwah Jakarta sejak Indonesia merdeka telah menyimpan sejumlah dai. Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dan Habib Salim bin Jindan dikenal sejak 1950-an hingga akhir 1960-an. Dua tokoh yang masih keturunan Rasulullah ini berhasil memperkenalkan majelis taklim sebagai panggung dakwah yang dihadiri ratusan bahkan hingga ribuan orang di Kwitang.
Habib Ali dan Habib Salim wafat. Habib Muhammad putra Habib Ali dan Habib Nauval putra Habib Salim tak bisa melanjutkan wibawa dan nama besar ayahnya. Panggung dakwah tetap hidup di Kwitang dan beralih pada kecemerlangan KH Abdullah Syafi’i, murid Habib Ali. Kiai Abdullah Syafi’i merentangkan panggung dakwah ke majelis taklim Assyafi’iyyah di Balimatraman.
Abdullah Syafi’i meneruskan dakwah Habib Ali dan Habib Salim yang tak pernah takut menyuarakan amar makruf nahi munkar. Dua dai populer asal Yaman ini tak begitu disukai penguasa pada awal Orde Baru. Abdullah Syafi’i mengikuti jejaknya selalu kritis terhadap kebijakan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin bila kebijakan itu dianggap tak sesuai dengan ajaran Islam. Abdullah mengecam ide Sadikin mengkremasi warga Jakarta yang mati. Namun, pada akhirnya, keduanya bersahabat baik. Dakwah Abdullah Syafi’i banyak ditunjang radio Assyafi’iyyah.
Zainuddin, santri Darul Maarif dan lulusan IAIN Jakarta, tidak muncul melalui panggung majelis taklim Kwitang dan Balimatraman. Dia cerdik memanfaatkan media kaset yang mulai merebak. Dari sini kemudian beberapa radio memutar ceramah Zainuddin.
Pendengar radio tak harus rajin menyimak radio Kayu Manis, radio Assyafi’iyyah, radio Attahiriyah, dan radio PTDI (Pendidikan Tinggi Dakwah Islam). Beberapa radio mulai memutar kaset Zainuddin M.Z. Dalam waktu singkat nama Zainuddin dikenal di panggung dakwah. Gaya khasnya telah melahirkan bentuk baru dakwah sehingga banyak ditiru dai muda di mana-mana. Kaset Zainuddin diputar di radio di hampir seluruh Indonesia.
Era dakwah layar kaca membuat Zainuddin melejit tak terkira. Sayang, ia kemudian terjerembap pada nafsu politik dengan bergabung pada sebuah partai dan kemudian menghanyutkannya untuk membuat partai sendiri. Jargonnya yang amat terkenal, tak di mana-mana tapi ada di mana-mana, ia ingkari sendiri. Maka umat pun berpaling. Kotornya politik akhirnya juga mendepak Zainuddin untuk kembali ke dunia dakwah pada 2006.
Panggung dakwah ternyata masih merindukan Zainuddin. Â Harus diakui, dia memiliki tempat tersendiri di hati umat. Belum ada dai yang bisa mengemas ajaran Islam dalam bingkai sederhana dan menarik sebaik Zainuddin.
Namun, pekan ini, panggung dakwah itu sepi sejenak, seolah memberi jalan Dai Sejuta Umat kembali ke haribaan Ilahi. Tak lama panggung itu akan bergairah lagi. Para dai muda harus belajar banyak dari almarhum. Allah yarham wa yaghfir.
Musthafa Helmy (Wartawan, tinggal di Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo